Kaidah Ushuliyyah: Mutlaq dan Muqoyyad

MUTLAQ DAN MUQOYYAD

I.        Pendahuluan
Pada masa kerasulan, kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh ummat Islam belum seperti apa yang dialami pada masa-masa setelahnya. Segala permasalahan yang dihadapi yang membutuhkan penetapan hukum sesuai syariat, baik yang menyangkut iba>dah maupun mu’a>malah dapat diselesaikan dengan penjelasan langsung dari Rasulullah atau Sahabat yang memahami hukum-hukum Islam secara konprehensif.
Keadaan ini berbeda pada masa sahabat dan tabi’i>n. Ijtiha>d sudah mulai marak dilakukan dengan jalan istinba>t} dalam permasalahan-permasalahan tertentu yang tidak ditemui pada masa kerasulan. Namun, urgensi istinba>t} ini belum diikuti oleh aturan-aturan tentang istinba>t} itu sendiri, sebagaimana mereka juga belum memerlukan kaidah-kaidah untuk mengetahui bahasa mereka sendiri (baca, Arab). Hal ini disebabkan karena para sahabat dan tabi’i>n memiliki pengetahuan yang cukup mendalam tentang bahasa al-Qur’an dan bahasa Arab serta mengetahui sebab-sebab turunnya, rahasia-rahasia syariat dan tujuannya yang didapatkan langsung dari bimbingan Rasulullah, disamping karena kecerdasan mereka sendiri.
Seiring dengan perkembangan Islam yang semakin meluas sampai ke negara-negara yang penduduknya bukan penutur bahasa Arab, maka semakin beragam pula interpretasi mereka dalam memahami bahasa al-qur’an.  Disamping itu, semakin kompleksnya permasalahan hidup yang dihadapi, baik dalam tataran iba>dah maupun mu’a>malah yang membutuhkan kejelasan hukum, maka dipandang perlu merumuskan kaidah-kaidah hukum sebagai baya>n (penjelasan) terhadap alfa>z} al-qur’a>n yang masih bersifat ijma>l (global). Lalu, bagaimana memahami alfa>z} al-qur’a>n  yang bersifat mut}laq tanpa adanya ikatan dan alfa>z} al-qur’a>n  yang mengandung keterikatan sesuatu?. Makalah ini akan membahas kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan mut}laq dan muqoyyad dengan segala derivasinya. Namun, sebelum membahas hal tersebut, terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian ushul fiqh secara singkat sebagai salah satu bagian dari ijtiha>d yang merupakan sumber hukum Islam.
II.     Pengertian Ushu>l Fiqh.
Para ulama telah menyepakati bahwa segala tindakan manusia baik yang berupa ucapan maupun perbuatan yang berkenaan dengan iba>dah dan mu’a>malah, dalam syariat Islam semua hal itu masuk dalam wilayah hukum. Hukum-hukum itu sebagian telah dijelaskan secara jelas dalam nas}-nas} al-qur’a>n dan al-sunnah, sedangkan sebagian yang lain masih berupa isyarat atau tanda-tanda.[1] Hukum Islam yang telah jelas itu disebut dengan al-nus}u>s} al-muqoddasah atau wahyu murni.[2]  Adapun untuk hukum-hukum yang masih bersifat umum dan belum dijelaskan secara rinci, baik dalam al-qur’a>n maupun al-sunnah, maka para mujtah}idlah yang melakukan pengkajian mendalam melalui media dari isyarat dan tanda-tanda dari dalil-dalil, yang kemudian meghasilkan ketetapan dan penjelasan tentang hukum-hukum yang masih bersifat global tersebut.
Ilmu yang digunakan untuk mengetahui hukum-hukum syara’ tentang perbuatan orang mukallaf, [3] seperti hukum wajib, haram, mubah, sah atau tidaknya sesuatu perbuatan dan lain-lain itulah yang disebut ilmu fiqh.[4] Jadi, definisi ilmu fiqh menurut istilah syara’ adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syariat Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil secara rinci.[5]Adapun ushul fiqh  menyelidiki keadaan dalil-dalil syara’ dan bagaimana cara dalil-dalil tersebut menunjukkan hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf.[6]
Ushul fiqh berasal dari dua kata, yaitu ushul yang merupakan bentuk jamak dari kata as}l dan kata fiqh. As}l secara etimologi diartikan sebagai “pondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.[7] Dalam ungkapan lain, al-Dawalibi seperti yang dikutip Muhlish Usman,[8] mengatakan:
أَلْأَصْلُ: مَايُبْنَى عَلَيْهِ ذلِكَ الشَّيْئُ.
Terjemah:
“Sesuatu yang dijadikan dasar atas sesuatu yang lain.”
Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa ushul fiqh merupakan sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh. Adapun secara terminology, Rahmat Syafe’i menjelaskan, [9] bahwa kata as}l mempunyai beberapa pengertian sebagai berikut:
1.      Dali>l, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama us}u>l bahwa as}l dari wajibnya shalat adalah firman Allah swt, (QS. Al-Baqoroh [2]: 43).
وَأَقِيمُوا الصَّـــلاةَ...
Terjemah:
“Dan dirikanlah Shalat…”[10]
2.      Qa>’idah, yaitu dasar atau pondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad saw:
بُنِيَ اْلإِسْــلاَمُ عَلىَ خَمْسَــةِ أُصُـــوْلٍ
Terjemah:
“Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau pondasi).”
3.      Ra>jih, yaitu yang terkuat, seperti ungkapan para ahli us}u>l fiqh:
أَلْأَصْلُ فِى اْلكَـلاَمِ الحَقِيْــقَــةُ
Terjemah:
“Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”
4.      Mustas}h}ab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya.
5.      Far’u, atau cabang, seperti perkataan ulama us}u>l fiqh:
أَلْوَلَــدُ فَرْعٌ لِلْأَبِ
Terjemah:
“Anak adalah cabang dari ayah.”
Dari kelima pengertian kata as}l diatas, pengertian yang paling sering digunakan dalam merujuk kata as}l ini adalah dalil, yaitu dalil-dalil fiqh. Adapun pengertian fiqh secara etimologi adalah pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengerahan potensi akal. Sedangkan secara terminologi, yaitu pengetahuan tentang hukum syariah Islamiyyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat dan diambil dari dalil yang terinci. Pengertian tersebut seperti yang dikemukakan oleh para ahli fiqh terdahulu, yaitu:
أَلْعِلْمُ بِااْلأَحْكَامِ الشَّرْعِــيَّةِ اْلعَمَلِــيَّةِ اْلمـُكْتَسَبَــةِ مِنْ أَدِلَّتِــهَاالتَّفْصِيْلِــــيَّةِ
Terjemah:
“Ilmu tentang hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliyyah) yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci.”[11]
Dari definisi kedua kata tersebut, dapat dikatakan bahwa definisi ushul fiqh adalah pengetahuan tentang kaidah dan penjabarannya yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum syariat Islam mengenai perbuatan manusia, dimana kaidah tersebut bersumber dari dalil-dalil agama secara rinci dan jelas.[12] Dilain pihak, Abu Zuhrah dalam Alaiddin Koto,[13] mengatakan bahwa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang menjelaskan kepada mujtah}id tentang jalan-jalan yang harus ditempuh dalam mengambil hukum-hukum dari nas} dan dari dalil-dalil lain yang disandarkan kepada nas} itu sendiri. Definisi tersebut senada dengan rumusan yang dikemukakan oleh sebagian besar ulama ushul fiqh, sebagaimana yang dikutip oleh A. Basiq Djalil,[14] yaitu:
إِدْرَاكُ اْلقَـوَاعِدِ الَّتِى يَتَوَصَّـلُ بِهَا إِلىَ اسْتِنْـبَاطِ اْلأَحْــكَامِ الشَّرْعِيَّــةِ اْلفَرْعِـيَّةِ عَنْ أَدِلَّـتِــهَاالتَّفْــصِيْلِــيَّةِ.
Terjemah:
“Mengetahui kaidah-kaidah yang dipakai untuk mengistinbat}kan hukum-hukum syariat yang praktis dari dalil-dalil yang terperinci.”
Dari uraian tersebut, terlihat jelas perbedaan yang nyata antara ilmu fiqh dan ushul fiqh. Kalau fiqh berbicara tentang hukum dari sesuatu perbuatan, maka ushul fiqh berbicara tentang metode dan proses bagaimana menemukan hukum itu sendiri. Oleh karena itu, fiqh lebih bercorak produk sedangkan ushul fiqh lebih bermakna metodologis.[15]
III.  Mut}laq dan Muqoyyad
Al-Qur’a>n al-Kari>m merupakan sumber hukum pertama dan utama dalam hirarki hukum Islam. Dalam al-qur’a>n, sebagian hukum tersebut terkadang muncul dengan bentuk mut}laq yang menunjuk kepada satu wujud yang umum dalam jenisnya, tanpa dibatasi oleh sifat atau syarat tertentu. Namun, terkadang pula dibatasi oleh sifat atau syarat (muqoyyad), namun hakikat individu itu tetap menjadi bagian dari jenisnya. Pemakaian lafaz} mut}laq atau muqoyyad merupakan salah satu gaya bahasa Arab yang juga merupakan bahasa dari al-qur’a>n.[16]
A.     Pengertian
1.        Mut}laq
Kata mut}laq secara sederhana berarti tiada terbatas.[17] Dalam bahasa Arab, kataمـطـلـــق  berarti yang bebas, tidak terikat.[18] Menurut al-Khudhori Biek,[19]
اَلْمُطْلَقُ مَا دَلَّ عَلىَ فَرْدٍ اَوْأَفْرَادٍشَائِــــعَـةٍ بِدُوْنِ قَـيْــــدٍ مُسْتَقِــلٍّ لَفْــــــظاً
Terjemah:
“Mut}laq adalah perkataan yang menunjukkan satu atau beberapa objek yang tersebar tanpa ikatan bebas menurut lafal.”
Dalam rumusan yang berbeda namun saling berdekatan, Amir Syarifuddin,[20] mengutip beberapa definisi para ulama ushul fiqh, sebagaimana berikut:
a.       Al-Amidi memberikan definisi:
هُوَالَّلـفْـظُ الدَّالُّ عَلىَ مَدْلُـوْلِ شَائِــعٍ فِى جِـنْـسِـــهِ.
Terjemah:
“Mut}laq ialah lafal yang memberi petunjuk kepada madlul (yang diberi petunjuk) yang mencakup dalam jenisnya.”
b.      Abu Zuhrah mengajukan definisi:
اَلَّلفْــظُ اْلمـُــطْلَـقُ هُوَالَّذِى يَـدُلُّ عَلىَ مَوْضُوْعِهِ مِنْ غَيْرِ نَظَـــرٍ اِلىَ اْلوَاحِـدَةِ اَوِ اْلجَمْــعِ اَوِ اْلوَصْفِ بَلْ يَدُلُّ عَلىَ اْلمَـاهِــيَةِ مِنْ حَيْثُ هِيَ.
Terjemah:
“Lafal mut}laq adalah lafal yang memberi petunjuk terhadap maud}u>’nya (sasaran penggunaan lafal) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.”
Contoh dari lafal mut}laq adalah dalam firman Allah swt (QS. Al-muja>dilah [58]: 3) yang menjelaskan tentang kifarat[21] bagi seseorang yang telah melakukan perbuatan z}ihar[22]  terhadap istrinya:
...فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا...
Terjemah:
“…maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur...”[23]
Kata roqobah (seorang budak) pada ayat tersebut tidak diikuti oleh kata yang menerangkan jenis budak yang disyaratkan untuk dimerdekakan sebagai kifarat z}ihar, sehingga ayat ini berlaku mut}laq. Oleh karena itu, pengertian ayat ini adalah kewajiban untuk memerdekakan seorang budak dengan jenis apapun juga, baik yang mukmin ataupun yang kafir tanpa adanya ikatan.[24]
2.         Muqoyyad
Secara sederhana, muqoyyad berarti terikat,[25] atau yang mengikat, yang membatasi.[26] Secara etimologi, muqoyyad adalah suatu lafal yang menunjukkan suatu hal, barang atau orang yang tidak tertentu (syai’ah) tanpa ada ikatan (batasan) yang tersendiri berupa perkataan.[27] Definisi ini sejalan dengan uraian yang dikemukakan oleh Imam al-Sya>fi’i seperti dikutip oleh Muhlish Usman,[28] muqoyyad adalah lafal yang menunjukkan satuan-satuan tertentu yang dibatasi oleh batasan yang mengurangi keseluruhan jangkauannya. Pembatasan tersebut dapat berupa sifat, syarat, dan ghayah.[29] Sebagai contoh adalah firman Allah swt dalam (QS. al-Nisa>’ [4]: 92), tentang kifarat bagi seseorang yang membunuh tanpa sengaja, yaitu:
فَتَحْرِيرُ رَقَبَــةٍ مُــؤْمِنـــَةٍ...
Terjemah:
“…maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin…”[30]
Dalam ayat tersebut, kata roqobah adalah kata yang berlaku muqoyyad karena ia dibatasi dengan kata mu’minah. Hal ini berarti bahwa tidak sembarang budak yang dapat dimerdekakan dalam permasalahan kifarat bagi orang yang membunuh tanpa sengaja ini, tetapi budak itu haruslah budak yang mukmin.
B.      Kaidah-kaidah Mut}laq dan Muqoyyad
Imam al-Syafi’i seperti dalam Sapiudin Shidiq,[31] menjelaskan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan mut}laq dan muqoyyad sebagaimana berikut:
1.      Hukum mut}laq. Lafal mut}laq dapat digunakan sesuai dengan kemutlakannya. Kaidahnya:
اَلْمُـطْلَقُ يَبْقَى عَلَى إِطْلَاقِهِ مَالـَـمْ يَقُمْ دَلِــْيلٌ عَلَى تَقْـِـييْدِهِ.
Terjemah:
“Mut}laq itu ditetapkan berdasarkan kemutlakannya selama belum ada dalil yang membatasinya.”
Contoh: (QS. Al-Nisa>’ [4]: 23).
...وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ...
Terjemah:
“…dan ibu-ibu dari istri-istrimu…”[32]
Ayat ini mengandung arti mut}laq karena tidak ada kata yang mengikat atau membatasi kata ibu mertua. Oleh karena itu, ibu mertua tidak boleh dinikahi, baik istrinya (anak dari ibu mertuanya) itu sudah dicampurinya atau belum.
2.      Hukum muqoyyad. Lafal muqoyyad tetap dinyatakan muqoyyad selama belum ada bukti yang me-mut}laq-kan. Kaidahnya:
اَلْمُـقَــَّيدُ باَقِىٌ عَلَى تَقْيِــيْدِهِ مَالـَـمْ يَقُمْ دَلِــْيلٌ عَلَى إِطْــــلَاقِهِ.
Terjemah:
“Muqoyyad itu ditetapkan berdasarkan batasannya selama belum ada dalil yang menyatakan kemutlakannya.”
Contoh: (QS. Al-Muja>dalah [58]: 3-4):

وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Terjemah:
“ (3) Orang-orang yang menz}ihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (4)  Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.”[33]
Ayat tersebut menjelaskan bahwa kifarat bagi seorang suami yang melakukan z}ihar terhadap istrinya adalah memerdekakan budak atau puasa dua bulan berturut-turut atau kalau tidak mampu, maka ia harus memberi makan sebanyak 60 orang miskin. Karena ayat ini telah dibatasi kemut}laqannya, maka harus diamalkan hukum muqoyyadnya.
3.      Hukum mut}laq yang sudah dibatasi. Lafal mut}laq jika telah ditentukan batasannya, maka ia menjadi muqoyyad. Kaidahnya:
اَلْمُـطْلَقُ لاَ يَبْقَى عَلَى إِطْلَاقِهِ إِذَا يَقُوْمُ دَلِــْيلٌ عَلَى تَقْـِـييْدِهِ.
Terjemah:
“Lafal mut}laq tidak boleh dinyatakan mut}laq karena telah ada batasan yang membatasinya.”
Contoh: (QS. Al-Nisa>’ [4]: 11).
...مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي...
Terjemah:
“…sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya…”[34]
Kata wasiat pada ayat ini masih bersifat mut}laq dan tidak ada batasan berapa jumlah wasiat yang harus dapat dikeluarkan. Kemudian ayat ini dibatasi ketentuannya oleh hadith yang menyatakan bahwa wasiat yang paling banyak adalah sepertiga dari jumlah harta warisan yang ada. Dengan demikian, maka hukum mut}laq pada ayat tersebut dibawa kepada yang muqoyyad. Sebagaimana hadith Nabi Muhammad saw.
فَإِنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ اَلثُّــلُثُ وَالثُّــلُثُ كَبِــــيْرٌ (رواه البخــارى ومســلم)
Terjemah:
“Wasiat itu adalah sepertiga dan sepertiga itu sudah banyak” (HR. Bukhari dan Muslim)
4.      Hukum muqoyyad yang dihapuskan batasannya. Lafal muqoyyad jika dihadapkan pada dalil lain yang menghapus ke-muqoyyadan-nya, maka ia menjadi mut}laq. Kaidahnya:
اَلْمُـقَــَّيدُ لاَ يَبْقَى عَلَى تَقْيِــيْدِهِ إِذَا يَقُوْمُ دَلِــْيلٌ عَلَى إِطْــــلَاقِهِ.
Terjemah:
“Muqoyyad tidak akan tetap dikatakan muqoyyad jika ada dalil lain yang menunjukkan kemut}laqannya.
Contoh: (QS. Al-Nisa>’ [4]: 23).
... وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ...
Terjemah:
“…dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya…”[35]
Ayat tersebut menjelaskan tentang keharaman menikahi anak tiri. Hal ini disebabkan karena anak tiri itu “dalam pemeliharaan” dan ibunya “sudah dicampuri”. Keharaman ini telah dibatasi oleh dua hal tersebut, namun batasan yang kedua tetap dipandang sebagai batasan yang muqoyyad sedang batasan pertama hanya sekedar pengikut saja, karena lazimnya anak tiri itu mengikuti ibu atau ayah tirinya. Bilamana ayah tiri belum mencampuri ibunya dan telah diceraikan, maka anak tiri tersebut menjadi halal untuk dinikahi, karena batasan muqoyyadnya telah dihapus sehingga menjadi mut}laq kembali.[36]
Pada prinsipnya, para ulama bersepakat bahwa hukum dari lafal mut}laq itu wajib diamalkan kemut}laqannya, selama tidak ada dalil yang membatasi kemut}laqannya. Begitupun dengan lafal-lafal muqoyyad yang berlaku kemuqoyyadannya. Namun, pada kasus-kasus tertentu, terdapat berbagai dalil syara’ dengan lafal yang mut}laq disatu tempat, sedang ditempat lain menunjukkan muqoyyad. Pada permasalahan seperti ini, Hamid Hakim dalam Muhlish Usman,[37] mengatakan bahwa ada empat alternatatif kaidah yang dapat digunakan, yaitu:
1.      Hukum dan sebabnya sama, maka yang mut}laq dibawa kepada muqoyyad. Kaidahnya:
اَلْمُـطْلَقُ يُحْمَـلُ عَلىَ اَلْمُـقَــَّيدِ إِذَااتَّفَــقَافِى السَّــبَبِ وَاْلحُـــــكْمِ.
Terjemah:
“Mut}laq itu dibawa pada muqoyyad jika sebab dan hukumnya sama.”
Contoh: (QS. Al-Ma>idah’ [5]: 3).
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ...
Terjemah:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi…”[38]
Pada ayat ini, kata (الـدم) atau darah adalah lafal mut}laq yang tidak diikat oleh sifat atau syarat apapun. Namun pada ayat lain, dalam firman Allah swt, (QS. Al-An’a>m [6]: 145) disebutkan:
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ
Terjemah:
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi.”[39]
Dalam ayat ini, kata الدم, atau darah diberi sifat dengan masfuh} (mengalir). Namun, hukum dalam kedua ayat ini adalah sama, yaitu sama-sama “haram”. Demikian pula sebab yang menimbulkan hukumnya juga sama, yaitu “darah”. Oleh karena itu dibawalah yang mut}laq pada yang muqoyyad, dalam artian; hukum yang dalam lafal mut}laq harus dipahami menurut yang berlaku pada lafal muqoyyad. Dengan demikian, kata “darah” pada lafal mut}laq, harus diartikan dengan “darah yang mengalir” sebagaimana yang terdapat pada lafal muqoyyad.[40] Dari kedua ayat tersebut, terlihat jelas bahwa materi dan hukumnya sama, maka selain darah yang mengalir menjadi halal, misalnya hati atau limpa.[41]
2.      Berbeda sebabnya namun sama hukumnya. Pada permasalahan ini, jumhur syafi’iyyah menyatakan bahwa yang mut}laq dibawa pada yang muqoyyad. Sedangkan golongan Hanafiyyah dan Malikiyyah mayoritas menetapkan bahwa hukum mut}laq dan muqoyyad masing-masing tetap pada posisinya.[42] Kaidahnya:
اَلْمُـطْلَقُ يُحْمَـلُ عَلىَ اَلْمُـقَــَّيدِ وَإِنِ اخْتَـــلَفـَـــافِى السَّــبَبِ.
Terjemah:
“Mut}laq itu dibawa ke muqoyyad jika sebabnya berbeda.”
Contoh: (QS. Al-Muja>dlah [58]: 3) yang menjelaskan bahwa kifarat z}ihar adalah “memerdekakan budak” tanpa ada batasan “mukmin” atau tidak. Sementara pada ayat lain, dijelaskan bahwa bagi orang yang membunuh dengan tidak sengaja, kifaratnya adalah memerdekakan budak yang mukmin. Sebagaimana firman Allah: (QS. Al-Nisa>’ [4]: 92)
...وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ...
Terjemah:
“…dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman...”[43]
Kedua ayat diatas berisi hukum yang sama, yaitu pembebasan budak, sedangkan sebabnya berlainan, yang pertama karena z}ihar sementara yang lain karena pembunuhan tidak sengaja. Al-Sya>fi’iyyah mengatakan bahwa lafal mut}laq pada kifarat z}ihar itu harus dibawa kepada yang muqoyyad tanpa memerlukan dalil lain dengan argumentasi bahwa Kalamullah itu  satu zatnya, tidak berbilang. Karena itu, jika Allah telah menentukan syarat “iman” dalam kifarat pembunuhan tidak disengaja, berarti ketentuan inipun berlaku pula pada kifarat z}ihar, yaitu membebaskan budak yang mukmin.[44] Sementara Hanafiyyah dan Ma>likiyyah mengatakan bahwa kifarat z}ihar ialah sembarang budak.[45]
3.      Berbeda hukum namun sama sebabnya, maka mut}laq dibawa pada muqoyyad. Kaidahnya:
اَلْمُـطْلَقُ لَا يُحْمَـلُ عَلىَ اَلْمُـقَــَّيدِ إِذَااخْتَـــلَفـَـــا فِى اْلحُـــــكْمِ.
Terjemah:
“Mut}laq itu tidak dibawa ke muqoyyad jika yang berbeda hanya hukumnya.”
Contoh: kata “tangan” dalam perintah wudhu dan tayammum. Membasuh tangan dalam perintah wudhu dibatasi sampai dengan siku, sebagaimana firman Allah swt, (QS. Al-Ma>idah [5]: 6).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ...
Terjemah:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”[46]
Dalam perintah tayammum, tidak dijelaskan batasan membasuh tangan, tetapi berlaku mut}laq. Firman Allah swt, dalam (QS. Al-Nisa>’ [4]: 43).
...فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ...
Terjemah:
“…maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu…”[47]
Kedua ayat diatas mengandung sebab yang sama yaitu membasuh tangan, tetapi hukumnya berbeda yaitu membasuh tangan sampai mata siku dalam wudhu dan hanya menyapu tangan secara mut}laq pada tayammum. Dengan demikian, harus diamalkan secara masing-masing karena tidak saling membatasi.[48]
4.      Berbeda sebab dan hukumnya, maka mut}laq tidak dibawa pada muqoyyad. Masing-masing berdiri sendiri. Kaidahnya:
اَلْمُـطْلَقُ لَا يُحْمَـلُ عَلىَ اَلْمُـقَــَّيدِ إِذَااخْتَـــلَفـَـــافِى السَّــبَبِ وَاْلحُـــــكْمِ.
Terjemah:
Mut}laq tidak dibawa ke muqoyyad jika sebab dan hukumnya berbeda.”
Contoh: (QS. Al-Ma>idah [5]: 6) tentang perintah wudhu. Pada ayat tersebut kata “tangan” disebutkan dengan batasan yaitu sampai siku. Sementara pada ayat lain yang menjelaskan tentang hukuman potong tangan bagi pencuri yang berlaku mut}laq tanpa menyebutkan batasan. Firman Allah swt, dalam (QS. Al-Ma>idah [5]: 38)
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا...
Terjemah:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya …”[49]
Kedua ayat diatas memiliki sebab dan hukum yang berbeda. Ayat pertama menyebutkan keharusan mencuci tangan secara muqoyyad sampai siku dalam masalah wudhu untuk melakukan shalat. Sementara ayat kedua menyebutkan keharusan memotong tangan secara mut}laq dalam sanksi hukum terhadap pencuri. Dalam hal ini, ulama bersepakat bahwa kedua ayat ini berlaku sendiri-sendiri, lafal yang mut}laq tetap pada kemut}laqannya, sementara yang muqoyyad, tetap pada kemuqoyadannya.[50]
IV.  Kesimpulan
Ushul fiqh adalah pengetahuan tentang kaidah dan penjabarannya yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum syariat Islam mengenai perbuatan manusia, dimana kaidah tersebut bersumber dari dalil-dalil agama secara rinci dan jelas. Salah satu kajian dari ushul fiqh ialah mut}laq dan muqoyyad. Mut}laq adalah perkataan yang menunjukkan satu atau beberapa objek yang tersebar tanpa ikatan bebas menurut lafal. Sedangkan  muqoyyad adalah suatu lafal yang menunjukkan suatu hal, barang atau orang yang tidak tertentu (syai’ah) tanpa ada ikatan (batasan) yang tersendiri berupa perkataan.
Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan mut}laq dan muqoyyad antara lain: (1) Hukum mut}laq, yaitu lafal yang dapat digunakan sesuai dengan kemutlakannya, (2) Hukum muqoyyad, yaitu lafal yang tetap dinyatakan muqoyyad selama belum ada bukti yang me-mut}laq-kan, (3) Hukum mut}laq yang sudah dibatasi, yaitu lafal yang jika telah ditentukan batasannya, maka ia menjadi muqoyyad, (4) Hukum muqoyyad yang dihapuskan batasannya, yaitu lafal yang jika dihadapkan pada dalil lain yang menghapus ke-muqoyyadan-nya, maka ia menjadi mut}laq.
Pada kasus-kasus tertentu, terdapat dalil syara’ dengan lafal yang mut}laq disatu tempat, sedang ditempat lain menunjukkan muqoyyad. Pada permasalahan seperti ini, ada empat alternatatif kaidah yang dapat digunakan, yaitu: (1) Hukum dan sebabnya sama, maka yang mut}laq dibawa kepada muqoyyad, (2) Berbeda sebabnya namun sama hukumnya. Pada permasalahan ini, maka yang mut}laq dibawa pada yang muqoyyad. (3) Berbeda hukum namun sama sebabnya, maka mut}laq dibawa pada muqoyyad. (4) Berbeda sebab dan hukumnya, maka mut}laq tidak dibawa pada muqoyyad. Masing-masing berdiri sendiri, lafal yang mut}laq tetap pada kemut}laqannya, sementara yang muqoyyad, tetap pada posisinya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’a>n. Penerjemah Aunur Rafiq El-Mazni. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005.
Biek, Syekh Muhammad Al-Khudhori. Ushul Fiqih. Penerjemah Zaid H. Alhamid. Pekalongan: Raja Murah,1982.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: CV. Naladana, 2004.
Djalil, A. Basiq. Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua. Jakarta: Kencana, 2010.
Hanafie, A. Ushul Fiqh. Cet. VII. Jakarta: Widjaya, 1980.
Karim, Syafi’i H.A. Fiqih-Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia, 2001
Khallaf, Abdul Wahhab. Kaidah-kaidah hukum Islam: Ilmu Ushul Fiqh. Penerjemah Noer Iskandar Al-Barsany dan Moh. Tolchah Mansoer. Cet. VI. Jakarta: PT. RajaGrafindo, 1996.
Koto, Alaiddin. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Cet. XIV. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Shidiq, Sapiuddin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2011.
Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia, 1996.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jilid 2. Ed. 1. Cet. V. Jakarta: Kencana, 2009.
Tim Redaksi Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Usman, Muhlish. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah: Pedoman Dasar dalam Istinbath Hukum Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996.
Zein, Satria Effendi M. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2008.


[1] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah hukum Islam: Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 1996), 1.
[2] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), 1.
[3] Mukallaf ialah orang yang telah dibebani oleh kewajiban hukum.
[4] A Hanafie, Ushul Fiqh  (Jakarta: Widjaya, 1980), 13.
[5] Khallaf, Kaidah-kaidah hukum Islam, 2.
[6] A Hanafie, Ushul Fiqh  (Jakarta: Widjaya, 1980), 13.
[7] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 1996), 17.
[8] Muhlish Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah: Pedoman Dasar dalam Istinbath Hukum Islam  (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), 5.
[9] Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, 17-18.
[10] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV. Naladana, 2004), 8.
[11] Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, 19.
[12] Khallaf, Kaidah-kaidah hukum Islam, 3.
[13] Koto, Ilmu Fiqih, 4.
[14] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua (Jakarta: Kencana, 2010), 13.
[15] Koto, Ilmu Fiqih, 4-5.
[16] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’a>n (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), 304.
[17] Tim Redaksi Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 990.
[18] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 862.
[19] Syekh Muhammad Al-Khudhori Biek, Ushul Fiqih, (Pekalongan: Raja Murah,1982), 239.
[20] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2009), 121-122.
[21] Kifarat adalah denda atau sangsi.
[22] Z}ihar \ialah seorang laki-laki yang mengumpamakan istrinya dengan ibunya sehingga ia diharamkan atasnya. Seperti kata seorang suami kepada istrinya: “Engkau tampak olehku seperti punggung ibuku.” Apabila seorang suami berkata demikian dan tidak diteruskannya kepada talak, maka wajib atasnya membayar kifarat dan haram baginya bercampur dengan istrinya itu sebelum dibayar kifaratnya. Lihat Syafi’i H.A. Karim, Fiqih-Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia, 2001.
[23] Departemen Agama RI, Al-Qur’an, 791.
[24] Al-Qaththan, Pengantar, 304.
[25] Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2008), 206.
[26] Djalil, Ilmu Ushul Fiqh, 94.
[27] Hanafie, Ushul Fiqh, 74.
[28] Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, 57.
[29] Sapiuddin Shidiq, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2011), 187.
[30] Departemen Agama RI, Al-Qur’an, 121.
[31] Shidiq, Ushul Fiqh, 186-192.
[32] Departemen Agama RI, Al-Qur’an, 105.
[33] Ibid, 791-792.
[34] Ibid, 102.
[35] Ibid, 105-106.
[36] Shidiq, Ushul Fiqh, 189.
[37] Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah, 59-61.
[38] Departemen Agama RI, Al-Qur’an, 142.
[39] Ibid, 198.
[40] Syarifuddin, Ushul Fiqh, 125.
[41] Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah, 59.
[42] Al-Qaththan, Pengantar Studi, 306-308.
[43] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan, 121.
[44] Al-Qaththan, Pengantar Studi, 307.
[45] Hanafie, Ushul Fiqh, 77.
[46] Departemen Agama RI, Al-Qur’an, 144.
[47] Ibid, 111.
[48] Shidiq, Ushul Fiqh, 191.
[49] Departemen Agama RI, Al-Qur’an, 151.
[50] Syarifuddin, Ushul Fiqh, 128.

Baca Juga Artikel Di Bawah Ini:

10 komentar:

  1. Best Article, Good Author
    Jangan Apatis dan Dayus dream and good Obat Sinusitis Paling Aman
    Thanks For Information

    BalasHapus
  2. Kata mut}laq secara sederhana berarti tiada terbatas. Terimakasih sangat bermanfaat Obat Telinga Bernanah

    BalasHapus
  3. Sangat keren dan jua luar biasa dari Artikelnya. Jangan lupa kunjungi pula 3 Cara Mengenal Jati Diri dan 3 Cara Untuk Move-On Lebih Cepat . Jangan lupa untuk mencari obat Cara Mengobati campak Dengan Cepat yang pastinya Baik dan sehat dan juga Obat Pneumia Pada Ibu Hamil . InsyaAllah berkah dan Luar baisa.
    Don't Forget yah.

    BalasHapus

Ayo tinggalkan jejak anda berupa komentar disini !!! karena komentar anda sangat berarti sekali demi kemajuan blog ini.

Panduan Memberi Komentar
1.Masukan komentar anda
2.Lalu pada kata 'beri komentar sebagai' , pilih account yang anda punya, bagi yang belum mempunyai account pilih Name/url, isi nama anda dan Kosongkan URL atau isi dengan alamat facebook anda(untuk mengetahui alamat facebook anda silahkan login ke facebook dan pilih profile anda, anda dapat melihat alamat Facebook anda di atas, contoh alamat Facebook punya saya http://www.facebook.com/profile.php?id=1823916177
3.dan kemudian Publikasikan
4.Selesai dan anda tinggal menunggu komentar anda muncul
Semoga bermanfa'at.

 
Selamat Datang di www.gudangmaterikuliah.blogspot.co.id(Kumpulan Materi Kuliah Jurusan PAI/Pendidikan Agama Islam). Terima Kasih Atas Kunjungannya. Kunjungi juga website kami di www.indoking.net(Kumpulan berbagai macam informasi terlengkap,terhits dan terupdates 2016)Terimakasih.