A. Pengertian
Perbincangan tentang evaluasi, tidak bisa dilepaskan dari tiga istilah; pengukuran, penilaian, evaluasi. Pengukuran dapat diartikan dengan kegiatan untuk mengukur sesuatu. Pada hakekatnya, kegiatan ini adalah membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain[1]. Mengukur suhu badan seseorang dengan termometer, berarti membandingkan suhu badan itu dengan patokan ukuran suhu yang ada pada termometer tersebut. Mengukur jarak kota A dengan kota B, berarti membandingkan jarak kota A dan B dengan patokan ukuran meter atau kilometer. Pengukuran adalah proses kuantifikasi keadaan seseorang atau tempat kedalam angka. Karenanya, dapat dipahami bahwa pengukuran itu bersifat kuantitatif.
Maksud dilaksanakan pengukuran sebagaimana dikemukakan Anas Sudijono ada tiga macam yaitu : (1) pengukuran yang dilakukan bukan untuk menguji sesuatu seperti orang mengukur jarak dua buah kota, (2) pengukuran untuk menguji sesuatu seperti menguji daya tahan lampu pijar serta (3) pengukuran yang dilakukan untuk menilai. Pengukuran ini dilakukan dengan jalan menguji hal yang ingin dinilai seperti kemajuan belajar dan lain sebagainya[2].
Dalam dunia pendidikan, pengukuran adalah pengumpulan data melalui pengamatan empiris. Proses pengumpulan ini dilakukan untuk menaksir apa yang telah diperoleh siswa setelah mengikuti pelajaran selama waktu tertentu. Proses ini dapat dilakukan dengan mengamati kinerja mereka, mendengarkan apa yang mereka katakan serta mengumpulkan informasi yang sesuai dengan tujuan melalui apa yang telah dilakukan siswa.
Penilaian merupakan langkah lanjutan setelah dilakukan pengukuran. Informasi yang diperoleh dari hasil pengukuran selanjutnya dideskripsikan dan ditafsirkan. Menurut Djemari Mardapi penilaian adalah kegiatan menafsirkan atau mendeskripsikan hasil pengukuran[3]. Hasil pengukuran yang bersifat kuantitatif dari pengukuran, kemudian ditafsirkan dalam bentuk nilai.
Ada dua acuan yang dapat dipergunakan dalam melakukan penilaian yaitu acuan norma (norm-referenced) dan acuan kriteria (criterion-referenced).[4] Penggunaan acuan norma dilakukan untuk menyeleksi dan mengetahui dimana posisi seseorang terhadap kelompoknya. Misalnya jika seseorang mengikuti tes tertentu, maka hasil tes akan memberikan gambaran dimana posisinya jika dibandingkan dengan orang lain yang mengikuti tes tersebut. Adapun acuan kriteria dipergunakan untuk menentukan kelulusan seseorang dengan membandingkan hasil yang dicapai dengan kriteria/standar yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Acuan ini biasanya digunakan untuk menentukan kelulusan seseorang, misal dalam UN.
Pengukuran, penilaian dan evaluasi merupakan kegiatan yang bersifat hierarki. Artinya ketiga kegiatan tersebut dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan dalam pelaksanaannya harus dilaksanakan secara berurutan.
Evaluasi Menurut Suharsimi Arikunto adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan[5]. Dalam bidang pendidikan, evaluasi merupakan proses yang sistematis tentang mengumpulkan, menganalisis dan menafsirkan informasi untuk menentukan sejauhmana sebuah tujuan telah dicapai.
B. Ruang Lingkup dan Jenis Evaluasi
Anas Sudijono membagi lingkup evaluasi dalam bidang pendidikan di sekolah menjadi tiga, yaitu: (1). Evaluasi mengenai program pengajaran, (2). Evaluasi mengenai proses pelaksanaan pengajaran, (3). Evaluasi mengenai hasil belajar[6]. Pembagian ini terasa sempit, karena hanya melingkupi proses pembelajaran saja. Dalam konteks yang lebih luas A. Janan Asifuddin menilai bahwa evaluasi pendidikan mestinya tidak hanya berkutat pada masalah pengajaran saja. Menurutnya, evaluasi pendidikan juga harus mencakup masalah seperti tujuan pendidikan, metode, sarana, guru, dan lainnnya. Untuk itu, menurut Janan, dalam evaluasi pendidikan paling tidak dikenal tiga jenis evaluasi yaitu: (1). Evaluasi pendidikan, (2). Evaluasi hasil belajar, dan (3). Evaluasi kurikulum[7].
C. Sasaran Evaluasi
Yang dimaksud dengan sasaran evaluasi pendidikan ialah segala sesuatu yang dijadikan titik pusat perhatian/pengamatan. Salah satu cara untuk mengetahui objek dari evaluasi pendidikan adalah dengan jalan menyorotinya dari tiga aspek, yaitu input, transformasi, dan output[8].
1. Input
Dalam dunia pendidikan, khususnya dalam proses pembelajaran di sekolah, input tidak lain adalah calon siswa. Calon siswa sebagai pribadi yang utuh, dapat ditinjau dari segi yang menghasilkan bermacam-macam bentuk tes yang digunakan sebagai alat untuk mengukur. Aspek yang bersifat rohani setidak-tidaknya mencakup empat hal:
a. Kemampuan
Untuk dapat mengikuti program pendidikan suatu lembaga/sekolah/institusi maka calon peserta didik harus memiliki kemampuan yang sepadan atau memadai, sehingga nantinya peserta didik tidak akan mengalami hambatan atau kesulitan.
b. Kepribadian
Kepribadian adalah sesuatu yang terdapat pada diri manusia dan menampakkan bentuknya dalam tingkah laku. Dalam hal-hal tertentu, informasi tentang kepribadian sangat diperlukan, sebab baik-buruknya kepribadian secara psikologis akan dapat mempengaruhi mereka dalam mengikuti program pendidikan. Alat untuk mengetahui kepribadian seseorang disebut Personality Test.
c. Sikap
Sebenarnya sikap ini merupakan bagian dari tingkah laku manusia sebagai gejala atau gambaran kepribadian yang memancar keluar. Namun karena sikap ini merupakan sesuatu yang paling menonjol dan sangat dibutuhkan dalam pergaulan maka informasi mengenai sikap seseorang penting sekali. Alat untuk mengetahui keadaan sikap seseorang dinamakan Attitude Test.
d. Inteligensi
Untuk mengetahui tingkat inteligensi seseorang digunakan tes inteligensi yang sudah banyak diciptakan oleh para ahli. Seperti, tes Binet-Simon (buatan Binet dan Simon), SPM, Tintum, dsb. Dari hasil tes akan diketahui IQ (Intelligence Qoutient) yaitu angka yang menunjukkan tinggi rendahnya inteligensi seseorang tersebut.
2. Transformasi
Transformasi yang dapat diibaratkan sebagai “mesin pengolah bahan mentah menjadi bahan jadi”, akan memegang peranan yang sangat penting. Ia dapat menjadi faktor penentu yang dapat menyebabkan keberhasilan atau kegagalan dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan; karena itu objek-objek yang termasuk dalam transformasi itu perlu dinilai/dievaluasi secara berkesinambungan. Unsur-unsur dalam transformasi yang menjadi objek penilaian demi diperolehnya hasil pendidikan yang diharapkan antara lain:
a. Kurikulum/materi pelajaran,
b. Metode pengajaran dan cara penilaian,
c. Sarana pendidikan/media pendidikan,
d. Sistem administrasi,
e. Guru dan personal lainnya dalam proses pendidikan.
3. Output
Sasaran evaluasi dari segi output adalah tingkat pencapaian atau prestasi belajar yang berhasil diraih peserta didik setelah mereka terlibat dalam proses pendidikan selama jangka waktu yang telah ditentukan. Ranah yang biasa digunakan adalah tiga trikhotomik Benyamin Bloom, yaitu kognitif, Afektif dan psikomotor.
Sasaran di atas, merupakan obyek dari evaluasi pendidikan, evaluasi pengajaran dan evaluasi kurikulum. Akan tetapi untuk evaluasi kebijakan, sasarannya adalah kebijakan yang telah diputuskan dan diimplementasikan. Evaluasi ini meliputi dasar kebijakan, desain, implementasi, dan hasilnya[9]. Sedangkan evaluasi meta, sasarannya adalah proses atau kegiatan evaluasi itu sendiri[10].
D. Tujuan dan Fungsi Evaluasi
Menurut Anas Sudijono, tujuan evaluasi adalah, pertama, untuk mencari informasi atau bukuti-bukti tentang sejauhmana kegiatan-kegiatan yang dilakukan telah mencapai tujuan, atau sejauhmana batas kemampuan yang telah dicapai oleh seseorang atau sebuah lembaga. Kedua, untuk mengetahui sejauhmana efektifitas cara dan proses yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut[11].
Adapun fungsi evaluasi, menurut Abudin Nata adalah[12]:
Mengetahui tercapai tidaknya tujuan
Memberi umpan balik bagi guru dalam melakukan proses pembelajaran.
Untuk menentukan kemajuan belajar
Untuk mengenal peserta didik yang mengalami kesulitan
Untuk menempatkan murid dalam situasi belajar yang tepat
Bagi pendidik, untuk mengatur proses pembelajaran. Bagi peserta didik untuk mengetahui kemampuan yang telah dicapai, bagi masyarakat untuk mengetahui berhasil tidaknya pelaksanaan program.
Selain itu, ada beberapa fungsi lain yang bisa disebut, yaitu: fungsi seleksi, fungsi penempatan, fungsi pengukur keberhasilan dan fungsi diagnosis[13].
E. Validitas dan Realibilitas Evaluasi
Evaluasi berkaitan dengan apa yang dievaluasi dan apa yang digunakan untuk mencari informasi, yang kemudian disebut sebagai alat evaluasi. Penggunaan alat inilah yang memunculkan informasi-informasi tentang karakteristik apa yang dievaluasi. Maka muncul sebuah pertanyaan mendasar tentang sejauhmana informasi yang diperoleh tersebut dapat dipercaya? Untuk mengungkap aspek-aspek yang hendak diteliti, maka diperlukan alat ukur yang baik dan berkualitas. Sebuah alat yang baik sebagaimana disampaikan oleh Syaifuddin Azwar harus memiliki beberapa kriteria antara lain valid, reliable, standar, ekonomis dan praktis.
Apabila evaluasi dilaksanakan dengan menggunakan tes, maka sebuah tes dikatakan valid jika ia memang mengukur apa yang seharusnya diukur. Misal, untuk mengukur panas, alat ukurnya adalah termometer, bukan timbangan. Dengan demikian thermometer itu memang mengukur panas. Jadi benar-benar mengukur apa yang seharusnya. Validitas merupakan penilaian menyeluruh dimana bukti empiris dan logika teori mendukung pengambilan keputusan serta tindakan berdasarkan skor tes atau model-model penilaian yang lain. Menurut Allen & Yen validitas tes dapat dibagi kedalam tiga kelompok utama yaitu : (1) validitas isi (content validity), (2) validitas konstruk (construct validity) dan (3) validitas kriteria (criterion related validity)[14].
Validitas isi menunjuk pada sejauhmana isi perangkat soal tersebut mengukur apa yang seharusnya diukur. Dalam kaitannya dengan kegiatan pembelajaran adalah kesesuaian antara materi ujian dan materi yang telah dipelajari. Pengujian validitas isi tidak melalui analisis statistik melainkan analisis rasional yaitu dengan melihat apakah butir-butirnya telah sesuai dengan batasan domain ukur yang telah ditetapkan sebelumnya.
Validitas konstruk merujuk pada sejauhmana suatu tes mengukur suatu konstruk teoretik yang hendak diukurnya. Konstruk dalam pengertian ini adalah berkaitan dengan aspek-aspek psikologi seseorang khususnya aspek kognitif, afektif dan psikomotor[15].
Validitas kriteria merupakan validitas yang disusun berdasarkan kriteria yang telah ada sebelumnya. Dalam validitas kriteria, kesahihan alat ukur dilihat dari sejauhmana hasil pengukuran tersebut sama dengan hasil pengukuran alat lain yang dijadikan kriteria. Biasanya, dalam pengukuran psikologis, yang dijadikan kriteria, adalab hasil Pengukuran lain yang telah dianggap sebagai alat ukur yang baik. Validitas kriteria dibedakan menjadi dua macam yaitu berdasarkan kapan kriteria itu dapat dimanfaatkan. Jika dimanfaatkan dalam waktu dekat maka disebut validitas konkurent (concurrent validity) dan jika dimanfaatkan diwaktu yang akan datang disebut validitas prediktif (predictive validity)[16].
Reliabilitas diterjemahkan dari kata reliability. Menurut John M. Echols dan Hasan Shadily[17] reliabilitas adalah hal yang dapat dipercaya. Reliabilitas menunjukkan sejauhmana hasil pengukuran dengan alat tersebut dapat dipercaya. Kepercayaan itu dalam artian alat ukur tersebut memiliki tingkat konsistensi, keajegan dan kemantapan. Sebuah alat ukur yang ajeg, maksudnya adalah patokan ukurannya tidak berubah-ubah. Sebuah alat ukur dikatakan reliabel jika skor yang diperoleh oleh peserta relatif sama meskipun dilakukan pengukuran berulang-ulang[18].
F. Teknik Evaluasi
Teknik evaluasi adalah cara yang dilakukan untuk melakukaan evaluasi. Untuk evaluasi pendidikan yang termasuk di dalamnya evaluasi terhadap program pendidikan suatu lembaga, tujuan, sarana, efektifitas, kurikulum dan lain-lainnya bisa dilakukan dengan teknik evaluasi program. Model evaluasi program diantaranya adalah CIPP, Stake, Discrepancy, Scriven, Goal Oriented Evaluation dan Goal Free Evaluation[19].
Sebagai contoh adalah Model CIPP (Context, Input, Process dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan program pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti : karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja (performance) dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi. Model ini kembangkan oleh Stufflebeam menggolongkan program pendidikan atas empat dimensi, yaitu : Context, Input, Process dan Product. Menurut model ini keempat dimensi program tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama dan sesudah program pendidikan dikembangkan. Penjelasan singkat dari keempat dimensi tersebut adalah, sebagai berikut :
1. Context; yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan, seperti : kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.
2. Input; bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan, seperti : dokumen kurikulum, dan materi pembelajaran yang dikembangkan, staf pengajar, sarana dan pra sarana, media pendidikan yang digunakan dan sebagainya.
3. Process; pelaksanaan nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi : pelaksanaan proses belajar mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh para pengajar, penglolaan program, dan lain-lain.
4. Product; keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup jangka pendek dan jangka lebih panjang.
Sedangkan untuk evaluasi pembelajaran ada dua teknik yang sering digunakan untuk mengukur hasil belajar yaitu dengan tes dan nontes. Sebagai salah satu alat untuk mengkuantifikasi sampel prilaku, maka para ahli memberikan berbagai macam klasifikasi tes yang berbeda tergantung perspektif sang ahli tersebut. Klasifikasi tes yang lengkap disampaikan oleh Anas Sudijono yang mengklasifikasikan tes berdasarkan perspektif tertentu. Jika tes digolongkan berdasarkan fungsi sebagai alat ukur perkembangan, maka ada enam jenis tes yaitu : tes seleksi, tes awal, tes akhir, tes diagnostik, tes formatif dan tes sumatif. Berdasarkan aspek psikis yang ingin dinilai, tes dibedakan menjadi tes intelegensi, tes kemampuan, tes sikap, tes kepribadian dan tes hasil belajar. Berdasarkan banyaknya orang yang mengikuti maka tes dibedakan menjadi tes individu dan tes kelompok. Jika digolongkan berdasarkan waktu yang disediakan, maka akan ada dua jenis tes yaitu power test dan speed test. Ditinjau dari segi respon tes dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu tes verbal dan tes non verbal. Dan jika ditinjau dari cara mengajukan pertanyaan, akan ada dua tes yaitu tes tertulis dan tes lisan[20].
Teknik yang bisa digunakan dalam tes adalah tes lisan, tes unjuk kerja, tes tertulis dan portofolio. Tes tertulis bisa dalam bentuk pilihan ganda, benar-salah, menjodohkan, jawaban singkat, dan uraian bebas. Sedangkan teknik non tes meliputi ; skala bertingkat, kuesioner, daftar cocok, wawancara, pengamatan dan riwayat hidup.
G. Ihtiar Membangun Teknik Evaluasi Ideal untuk Pendidikan Islam
Dalam Pendidikan Islam ada karakteristik yang sama dengan pendidikan secara umum, akan tetapi dalam hal-hal tertentu mempunyai karakter yang spesifik. Oleh karena itu, dalam evaluasi, ada yang bisa menggunakan cara yang dipakai secara umum dalam dunia pendidikan, akan tetapi dalam hal-hal tertentu harus mengembangkan sendiri model evaluasi yang sesuai. Sebagai contoh adalah Pendidikan Agama Islam. Hasil dari pendidikan agama ini adalah kualitas keberagamaan siswa. Keberagamaan adalah agama sebagaimana diterima oleh siswa dalam pikirannya, perasaannya dan tindakannya. Gambaran keberagamaan seseorang ini secara terperinci disebut peta keberagamaan atau psikografi agama yang meliputi dimensi ideologis, ritualistik, konsekuensial, eksperiensial dan intelektual[21].
Menurut Jamaludin Ancok lima dimensi keberagamaan yang mulanya dirumuskan oleh Glock & Stark itu banyak dipakai oleh ahli psikologi dan sosiologi. Rumusan itu melihat keberagamaan tidak hanya dari dimensi ritual semata tetapi juga pada dimensi-dimensi lain. Ancok menilai, meskipun tidak sepenuhnya sama, lima dimensi keberagamaan rumusan Glock & Stark itu bisa disejajarkan dengan konsep Islam. Dimensi ideologis bisa disejajarkan dengan akidah, dimensi ritualistik bisa disejajarkan dengan syari’ah, khususnya ibadah dan dimensi konsekuensial bisa disejajarkan dengan akhlak. Akidah, syari’ah dan akhlak menurut sebagian besar pemikir Islam adalah inti dari ajaran Islam. Dimensi intelektual mempunyai peran yang cukup penting pula karena pelaksanaan dimensi-dimensi lain sangat membutuhkan pengetahuan terlebih dahulu. Sedangkan dimensi eksperiensial dapat disejajarkan dengan dimensi tasawuf atau dimensi mistik[22].
Evaluasi Pendidikan Agama tentunya berbicara tentang apa yang bisa dan harus diukur/dievaluasi dalam diri siswa sebagai hasil dari proses Pendidikan Agama.
Dimensi intelektual bisa diukur dengan teknik tes. Sebagian dimensi ritual bisa dengan tes performansi atau unjuk kerja. Tetapi tentang keaktifan dia dalam menjalani ritual sehari, tentu tidak bisa dengan teknik tes. Tapi harus dengan wawancara, observasi dan portofolio sebagaimana dimensi konsekuensial atau akhlak. Yang sulit untuk diukur tentu adalah dimensi ideologis atau akidah dan dimensi eksperiensial. Yang paling dekat dengan dimensi ini adalah domain afektif, tetapi tentu saja domain afektif tidak bisa mewakili secara persis dimensi ideologis dan eksperiensial. Teknik pengukuan non-tes adalah yang paling dekat untuk dimensi ini, tetapi perlu dikembangkan lebih jauh agar tidak terjebak sebatas apa yang digunakan dalam pengukuran afektif.
Bila evaluasi terhadap seluruh dimensi keberagamaan ini bisa berjalan secara proporsional, maka informasi tentang kualitas keberagamaan siswa tidak akan berat sebelah kepada domain kognitif atau dimensi intelektual semata, tetapi akan mencerminkan keadaan yang lebih utuh. Dalam langkah validasi, maka jika kondisi yang utuh ini bisa terwakili, bisa dikatakan bahwa validitas construct-nya bisa dipertanggungjawabkan.
Kasus Pendidikan Agama ini, secara analogis bisa dikembangkan untuk kemampuan seperti EQ dan SQ. SQ mestinya sesuatu yang penting dalam Pendidikan Islam, karena merupakan bagian inti dalam Pendidikan Islam. Pertanyaan yang dikedepankan adalah apa SQ itu? Apa indikatornya dalam diri siswa dan bagaimana cara pengukuran dan evaluasinya?
H. Kesimpulan
Evaluasi pada hakikatnya adalah upaya untuk mencari informasi apakah proses, tujuan, kebijakan, atau kondisi yang diinginkan telah dicapai. Untuk mengetahui ini perlu ditentukan apa sesungguhnya sasaran yang dievaluasi, beserta domain, dimensi serta indikator-indikatornya. Lalu bagaimana teknik yang valid dan reliable untuk bisa digunakan menggali informasi.
Pendidikan Islam merupakan sistem yang memiliki beberapa karakteristik berbeda dengan pendidikan pada umumnya, terutama karena agama (Islam) tidak sekedar menjadi mata pelajaran, tetapi paradigma yang melandasi dasar dan tujuannya. Oleh karena itu harus mengembangkan sendiri evaluasi yang sesuai dengan karakternya sendiri. Model, teknik dan instrumen evaluasi yang tidak tepat akan melahirkan informasi dan keputusan yang tidak tepat juga, sehingga tidak akan memberikan informasi yang tepat terhadap pencapaian tujuan-tujuan Pendidikan Islam yang sesungguhnya.
________________________________________
[1] Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Raja Grafindo: Jakarta, 2006), hlm. 4. Lihat juga Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), hlm.2
[2] Ibid.
[3] Jemari Mardapi, Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Nontes, (Yogjakarta: Mitra Cendekia Press, 2008), hlm 6.
[4] Ibid, hlm. 14. Lihat juga Norman E. Gronlund, How to Make Achievment Tests and Assessments, (Boston: Allyn and Bacon, 1993), hlm 12.
[5] Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, hlm 3.
[6] Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, hlm.30.
[7]A. Janan Asifuddin, Mengungkit Pilar-pilar Pendidikan, Tinjauan Filosofis, (Yogjakarta: Suka-Press, 2009), hlm. 131.
[8] Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, hlm. 25-28
[9] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kebijakan hlm. 219.
[10]Farida Yususf Thayibnapis, Evaluasi Program), hlm. 176.
[11] Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, hlm. 18
[12] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta:Logos, 2005) hlm. 188
[13] Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, hlm 10-11.
[14] Mary J. Allen & Wendy M. Yen, Introduction to Measurement Theory, (California: Cole Publishing Company, 1997). Hlm. 95.
[15] Ibid, hlm. 108
[16] Ibid, hlm. 97
[17] John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2003), hlm. 475.
[18] Saefudin Azwar, Reliabilitas dan Validitas,(Yogjakarta: Pustaka Pelajar,cet. IV 2003), hlm.4-5.
[19] H.J.X. Fernandes, Evaluation of Educational Programs, (Jakarta: National Education Planning, Evaluation and Curriculum, 1984), hlm. 7-11. Lihat juga Farida Yusuf Thayibnapis, Evaluasi Program, hlm. 13-26.
[20] Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, hlm. 17-24
[21] Roland Robertson, Sociology of Religion Selected Reading, (New York: Penguin Book, 1978), hlm. 256-258 .
[22] Jamaludin Ancok, Psikologi Islami, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 76-80