TUGAS MAKALAH
“HADITS DITINJAU DARI SEGI KUALITASNYA (TASHIH)”
Di ajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Studi Hadits”
DOSEN PENGAMPU :
Prof. Dr. Endang Soetari, Ad, MS.
Disusun Oleh: Kelompok 4
1. Yulia
2. Rahmat
3. Yusuf Firdaus
4. Muhammad Iqbal
Jurusan : Manajemen Pendidikan Islam
Semester: I
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS
GARUT
2017
KATA
PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Puji dan syukur (alhamdulillah wa syukur lillah)
dipersembahkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat taufik dan hidayah-Nya,
makalah ini dapat terselesaikan dan telah rampung.
Shalawat dan salam disampaikan
kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya, dengan harapan semoga
umatnya dapat mengikuti akhlak dan budi pekerti yang mulia.
Makalah ini berjudul “Hadits Ditnjau dari Segi Kualitasnya
(Tashih)” dan disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas pada mata
kuliah Studi Hadits. Pada kesempatan ini tidak lupa kami sampaikan ucapan
terima kasih kepada Prof. Dr. Endang Soetari, Ad, MS. selaku dosen
pengampu mata kuliah Studi Hadits yang senantiasa membimbing dan memberikan
ilmunya kepada kami. Kami juga berterima kasih kepada rekan-rekan yang telah
memberikan semangat dan ide yang luar biasa dalam mendukung penyelesaian
makalah ini.
Kami
juga menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kekeliruan dan masih jauh dari
kata sempurna dalam penyusunan makalah ini, oleh karena itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran kepada pembaca yang bersifat membangun.
Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat kepada penulis khususnya dan kepada pembaca guna memperkaya ilmu
pengetahuan tentang materi yang kami sampaikan dalam makalah ini.
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR……………………………………….....………. i
DAFTAR ISI …………………………………………………….…….. ii
BAB I
PENDAHULUAN………………………………………….......….. 1
A. Latar Belakang
Masalah…………….....………......................... 1
B. Rumusan
Masalah………………………………….............. 1
C. Tujuan
Makalah…………….................………...........……. 2
BAB II
PEMBAHASAN……………………………………………....... 3
A. Pembagian
Hadits Ditinjau dari segi Kualitasnya (Tashih)….... 3
B. Hadits
Shahih………………...………..………......................
3
C. Hadits
Hasan…………………………………………............ 6
D. Hadits
Dha’if………………………..…………………….…. 8
BAB III
PENUTUP…………………........……………………….......... 10
A. Kesimpulan…………………………..................................… 10
B. Saran…………………………………….....…..................….. 10
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hadist merupakan sumber ajaran agama
islam, disamping Al-qur’an. Bila dilihat dari segi periwatannya jelas berbeda
antara Al-qur’an dengan hadist. Untuk Al-qur’an semua periwayatan berlangsung
secara mutawatir, sedangkan periwayatan hadist sebagian berlangsung secara
mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahead. Berawal dari hal tersebut
sehingga timbul berbagai pendapat dalam menilai kualitas sebuah hadist
sekaligus sebagai sumber perdebatan, yang akibatnya bukan kesepakatanyang
didapatkan tetapi sebaliknya justru perpecahan.
Kemudian berawal dari sebuah
pertanyaan, “apakah hadis ini atau hadist itu dapat dijadikan hujjah atau
tidak?” salah satu kelompok dengan kuat mempertahankan pendapatnya sementara
kelompok lain dengan gigih bersikap serupa.
Mayoritas ulama’ berbeda pendapat
dalam pengkajian hadist. Hadist yang sering dijumpai tidak serta merta dapat
diterima secara langsung, hadist yang didapati perlu adanya pencarian jati diri
hadist tersebut untuk dijadikan landasan hidup.
Bertitik tolak dari hal tersebut
maka penulis tertarik untuk memuat pembagian hadist yang selama ini beredar
terutama hadist dari segi kuantitas dan kualitas sanadnya, mudah-mudahan dapat
mengurangi tingkat kekeliruan dalam memahami hadist, baik dari segi kuantitas
dan kualitas sanadnya. Penulis menyadari didalam makalah sangat jauh dari
kesempurnaan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian sangat
diharapkan sebagai kontribusi merevisi makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Adapun pokok pembahasan dalam makalah ini dirumuskan
masalah berikut ini:
1. Bagaimana
pembagain hadits dari segi kualitasnya (Tashih)?
2. Apa yang
dimaksud dengan hadits Shahih?
3. Apa yang
dimaksud dengan hadits Hasan?
4. Apa yang
dimaksud dengan hadits Dha’if?
C. Tujuan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah;
1.
Memberikan
wawasan baru terhadap penulis khususnya dan pembaca mengenai Hadits ditinjau
dari segi kualitasnya (Tashih).
2.
Makalah ini
ditulis guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Hadits
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembagian
Hadits Ditinjau Dari Segi Kualitasnya
Ditinjau
dari segi kualitas sanad dan matan-nya, atau berdasarkan kepada
kuat dan lemahnya, Hadits terbagi menjadi 2 golongan, yaitu: Hadits Maqbul
& Hadits Mardud.
Yang
dimaksud dengan Hadits Maqbul adalah hadits yang memenuhi syarat untuk
diterima sebagai dalil dalam perumusan hukum
atau untuk beramal dengannya. Hadits Maqbul ini terdiri dari Hadits Shahih
dan Hadits Hasan. Sedangkan yang dimaksud dengan Hadits Mardud
adalah Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat qabul, dan Hadits Mardud
dinamai juga dengan Hadits Dha’if.
B.
Hadits Shahih
1.
Pengertian Hadits Shahih
Kata “Shahih” menurut bahasa
berarti: sehat, selamat, sah dan sempurna. Ulama biasa menyebut kata shahih
sebagai lawan dari kata “saqim” yang bermakna sakit. Makna hadits shahih secara
bahasa adalah hadis yang sehat, selamat, benar, sah, sempurna dan yang tidak
sakit. Sedangkan menurut istilah yaitu “ Hadis yang dinukilkan (diriwayatkan)
oleh rawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat
(cacat), dan tidak syadz (janggal).”
Demikian pengertian hadis shahih menurut pendapat muhadditsin.
2. Syarat-syarat Hadis Shahih
Dari pengertian di atas bahwa suatu
hadis dapat dikatakan shahih apabila memenuhi lima syarat, yaitu:
a.
Bersambung sanadnya, maksudnya
tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang
memberinya dan tidak terdapat rawi yang gugur.
b.
Perawinya adil, terdapat
beberapa kriteria yaitu beragama Islam, dewasa, sehat jasmani dan rohani,
mukallaf, memelihara muru’ahnya, dan tidak mengikuti salah satu pendapat mazhab
yang bertentangan dengan dasar syara’.
c.
Perawinya dhabith, maksudnya
kuatnya daya ingat perawi hadis terhadap hadis yang didengar maupun menyampaikannya sebagaimana mestinya,
kapan saja ketika diperlukan. Para muhadditsin membaginya menjadi dua bagian,
yaitu:
Ø Dhabith shadr atau dhabith fu’ad yaitu
terpeliharanya semua hadis dalam hafalan, mulai dari ia menerima sampai
meriwayatkannya kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan
saja, dimana saja ia kehendaki.
Ø Dhabith kitab yaitu terpeliharanya ingatan itu
melalui tulisan-tulisan atau catatan-catatan yang dimilikinya. Ia ingat betul
hadis-hadis yang telah ditulis sejak ia mendengarnya, meriwayatkannya kepada
orang lain yang benar. Jika ditemukan adanya kesalahan tulisan dalam kitab, ia
mengetahui kesalahannya.
d.
Tanpa syadz (janggal) yaitu hadis
yang sanad dan matannya tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih
tsiqqah.
e.
Tanpa ‘illat (cacat) maksudnya
hadis yang secara lahiriyyah tidak cacat, tetapi apabila diteliti cacat itu ada
sehingga keberadaannya dapat mencacatkan keshahihannya.
3.
Macam-macam Hadis Shahih
Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua
macam, yaitu:
a. Hadis Shahih Li Dzatihi
Hadis
shahih li dzatihi adalah hadis yang
didalamnya telah terpenuhi syarat-syarat hadis maqbul atau yang memenuhi
syarat-syarat diatas secara sempurna. Akan tetapi jika kualitas daya ingat
perawi kurang sempurna, maka hadis shahih li dzatihi akan turun menjadi hadis
hasan lidzatihi, akan tetapi jika kekurangan tersebut dapat ditutupi dengan
adanya hadis lain yang kualitas daya ingatnya lebih kuat maka naiklah hadis
hasan li dzatihi menjadi hadis shahih lighairihi.
b. Hadis Shahih Li Ghairihi
Hadis
shahih li ghairihi adalah hadis yang keshahihannya dibantu oleh adanya hadis
lain. Pada mulanya hadis ini memiliki kelemahan berupa periwayatan yang kurang
dhabith, sehingga dinilai tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai
hadis shahih. Tetapi setelah diketahiu ada hadis lain dengan kandungan matan
yang sama dengan kualitas shahih maka hadis tersebut naik menjadi hadis shahih,
kata lain hadis shahih li ghairihi pada asalnya adalah hadis hasan yang karena
hadis ada hadis shahih dengan matan yang sama maka hadis hasan tersebut naik
menjadi hadis shahih. Contoh hadis hasan menjadi shahih li ghirihi:
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي
لَاَمَرْتُهَمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ. ( رواه الترمذي)
Kalau tidak
memberatkan ummatku, sungguh aku akan menyuruh mereka siwak (sikat gigi) setiap
hendak shalat. (HR TIRMIDZI)
Dalam redaksi yang sama persis,
hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Tirmizi juga Imam Bukhari. Hadis yang melalui jalur Imam Tirmidzi melalui
rawi Muhammad bin Amir yang terkenal sebagai orang yang jujur namun dinilai
kurang dhabit, maka hadis tersebut adalah hasan
li dzatihi. Akan tetapi ada hadis lain dengan redaksi dan makna yang sama melalui jalur Bukhari yang shahih, maka
hadis yang melalui jalur Tirmidzi naik menjadi hadis Shahih li ghairihi.
4. Kehujjahan Hadis Shahih
Dalam menanggapi masalah apakah
hadis shahih itu dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hokum secara
umum maka dalam hal ini para muhaddisin, sebagian ahli ushul dan ahli fiqh
bersepakat untuk menyatakan bahwa hadis shahih dapat dijadikan hujjah dan wajib
diamalkan.
Sekalipun demikian, kesepakatan
tersebut hanya terbatas pada masalah-masalah yang berkaitan dengan penetapan
status halal dan haram, bukan yang berhubungan dengan keyakinan atau aqidah,
sebab masalh keyakinan atau aqidah harus ditetapkan dengan dasar Al-Qur’an dan
hadis mutawwatir bukan dengan hadis ahadi, sedangkan hadis shahih termasuk
kedalam salah satu macam hadis ahadi jika dilihat dari sisi kualitasnya.
Dari faktor itulah, maka
stratifikasi hadis shahih tergantung pada sejauh mana kedhabitan dan keadilan para
perawinya, semakin dhabit dan adil maka semakin tinggi pula strata kualitas
hadis yang diriwayatkan.
- Hadits Hasan
1. Pengertian Hadis Hasan
Secara bahasa Hasan artinya sesuatu
yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan secara istilah menurut Ibnu
Hajar al-Asqalani adalah:
“Hadis yang diriwayatkan oleh perawi
yang adil, kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung ‘illat
(cacat), dan tidak mengandung kejanggalan (syadz)”.
Para ulama sepakat bahwa istilah
hadis hasan diperkenalkan pertama kali oleh Tirmidzi, karena sebelum beliau
pembagian hadis hanya ada shahih dan saqim atau maqbul dan mardud.
2. Macam-macam Hadis Hasan
Sebagaimana hadis shahih, demikian pula hadis hasan
juga dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Hadis hasan li dzatihi
Hadis yang memenuhi lima unsur
persyaratan hadis shahih, tetapi salah satu rawi ditengarai kurang kuat
hafalannya.
Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar, hadis
hasan li dzatihi ialah hadis yang bersambung sanadnya dengan penukilan perawi
yang ‘adil dan ringan kedhabitannya dan yang semisalnya atau dari perawi yang
lebih tinggi darinya sampai akhirnya berhentinya sanad dan bukan hadis yang
syadz, juga bukan mu’allal (yang bercacat).
b. Hadis hasan li ghairihz
Yaitu hadis dha’if yang karena didukung
oleh hadis lain yang shahih dengan matan yang sama, sehingga naik menjadi hadis
hasan li ghairihi. Hadis yang naik peringkatnya menjadi hadis hasan hanyalah
hadis dha’if yang tidak terlalu dha’if. Adapun hadis yang sangat lemah tidak
dapan menjadi hadis hasan meskipun terdapat hadis hadis dengan matan yang sama
berkualitas shahih.
Contoh hadis dha’if yang menjadi
hadis hasan li ghairihi:
حَدَّثَنَا
عُثْمَان بْنِ الهَيْتَمِ حَدّثَنَا عَوفُ عَنْ أَبِي رَجَاءٍ عَنْ عِمْرَانٍ بْنِ
حُسَيْنٍ عَنِ النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمِ قَالَ : اطَلَعْتُ فِى
الْجَنَّةِ فَرَأَيْتَ أَكْثَرَ أَهْلِهَا الْفُقَرَاءُ وَاطَلَعْتُ فِي النَّارِ
فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أهْلِهَا النِّسَاءُ. ( رواه البخارى)
Aku pergi ke
surga dan aku dapati kebanyakan penghuninya adalah orang faqir dan aku pergi ke
neraka kudapati sebagian besar penghuninya adalah wanita. (HR BUKHARI)
Hadis yang
diriwayatkan melalui jalur Bukhari menjadi dha’if karena adanya Usman bin
Haitam yang dinilai lemah, namun menjadi hasan li ghairihi karena adanya jalur
lain melalui Tirmizi yang bernilai hasan.
3.
Kehujjahan Hadits Hasan
Adapun
kehujjahan hadits hasan, para ulama’ bersepakat untuk mengatakan bahwa hadits
hasan sama dengan hadits shahih sekalipun tingkatannya tidak sama, bahkan ada
sebagian ulama yang memasukkan hadits hasan kedalam kelompok hadits shahih baik
hasan li dzatihi maupun hasan li ghairihi.
Maka dari
itu, para ahli hukum banyak beramal menggunakan dasar dari hadits hasan,
sekalipun mereka tetap berpegang pada persyaratan keafsahan hasan li ghairihi
sebagai hujjah, yaitu:
a.
Meminimalisir
kekurangan-kekurangan yang ada.
b.
Hadits
tersebut tertutup oleh banyaknya periwayatan hadits lain, baik redaksinya sama
atau hamper sama.
- Hadis Dha’if
1. Pengertian
Hadis Dha’if
Kata dha’if menurut bahasa berarti
lemah, kebalikannya adalah (ﻗﻮﻯ) yang
berarti kuat. Maka sebutan hadis dha’if secara bahasa berarti hadis yang lemah,
sakit, tidak kuat. Sedangkan pengertian hadis dha’if secara therminologi
menurut an-Nawawi dan al-Qasimi adalah:
مَا لَمْ يُوْجَدْ فِيْهِ شُرُوْطُ الصِحَّةِ وَلَا شُرُوْطُ
الْحَسَنِ
Hadis dha’if
adlah hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan
syarat-syarat hadis hasan.
Dari definisi tersebut dapat
difahami bahwa jika dalam satu hadis telah hilang satu syarat saja dari sekian
syara-syarat hadis hasan, maka hadis tersebut dinyatakan sebagai hadis dha’if.
Apalagi yang hilang itu sambai dua atau tiga syarat maka inilah yang dikatakan
sebagai hadis dha’if dan status semua hadis dha’if adalah mardud
(tertolak) dan tidak bias dijadikan
hujjah.
2. Klasifikasi Hadis Dha’if
Hadis dhaif berdasarkan tingkat
kedha’ifannya dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Dhaif muhtamal, yaitu yang bias ditahan (diterima)
atau ringan, bukan dha’if yang berat. Hal ini ketika ada hadis semisal yang
membantu tertutupnya kedha’ifan hadis tersebut dan terangkat menjadi hadis
hasan li ghairihi.
b. Dha’if syadid, yaitu dha’if yang sangat berat. Hal
ini ketika ada hadis yang semisalnya tertapi tetap tidak tertutup kedha’ifan
hadis tersebut dan tidak terangkat derajatnya.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Dalam menanggapi masalah apakah
hadis shahih itu dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum secara
umum maka dalam hal ini para muhaddisin, sebagian ahli ushul dan ahli fiqh
bersepakat untuk menyatakan bahwa hadis shahih dapat dijadikan hujjah dan wajib
diamalkan.
Adapun
kehujjahan hadits hasan, para ulama’ bersepakat untuk mengatakan bahwa hadits
hasan sama dengan hadits shahih sekalipun tingkatannya tidak sama, bahkan ada
sebagian ulama yang memasukkan hadits hasan kedalam kelompok hadits shahih baik
hasan li dzatihi maupun hasan li ghairihi.
Jika dalam satu hadis telah hilang satu
syarat saja dari sekian syara-syarat hadis hasan, maka hadis tersebut
dinyatakan sebagai hadis dha’if. Apalagi yang hilang itu sambai dua atau tiga
syarat maka inilah yang dikatakan sebagai hadis dha’if dan status semua hadis
dha’if adalah mardud (tertolak) dan tidak bias dijadikan hujjah.
- Saran
Dalam penyusunan makalah ini maupun
dalam penyajiannya kami selaku manusia biasa menyadari adanya beberapa
kesalahan oleh karena itu kami mnegharapkan kritik maupun saran khususnya dari
Dosen Pembimbing Prof. Dr. Endang Soetari, Ad, MS. yang
bersifat membantu dan membangun agar kami tidak melakukan kesalahan yang sama
dalam penyusunan makalah yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Zein, Muhammad Ma’shum.2007.Ulumul Hadits & Musthalah Hadits.Jakarta:Darul Hikmah
Yuslem, Nawir.2001.Ulumul
Hadis.Jakarta:PT. Mutiara Sumber Widya
TIM MGMP PROVINSI YOGYAKARTA.2011.Ilmu Hadits.Yogyakarta:Kementrian
Agama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Download Filenya (Word) di bawah ini:
https://drive.google.com/file/d/0BwlU1tgFh0stdS1vTC1ibWtYdEk/view?usp=sharing
Baca Juga Artikel Di Bawah Ini: