“MANTUQ & MAFHUM”
Di ajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah:
“Studi Al-Quran”
Dosen Pengampu : Dr. Masrifah, M.Si.
Disusun Oleh:
Nama: Muhammad Iqbal
NPM: 24092117049
Jurusan : Manajemen Pendidikan Islam
Semester: I
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS
GARUT
2017
KATA
PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Puji dan syukur (alhamdulillah wa syukur lillah)
dipersembahkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat taufik dan hidayah-Nya,
makalah ini dapat terselesaikan dan telah rampung.
Shalawat dan salam disampaikan
kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya, dengan harapan semoga
umatnya dapat mengikuti akhlak dan budi pekerti yang mulia.
Makalah ini berjudul “Mantuq dan Mafhum” dan disusun dalam
rangka memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Studi Al-Quran. Pada
kesempatan ini tidak lupa kami sampaikan ucapan terima kasih kepada Dr.
Masrifah, M.Si. selaku dosen pengampu mata kuliah Studi
Al-Quran yang senantiasa membimbing dan memberikan ilmunya kepada kami. Kami
juga berterima kasih kepada rekan-rekan yang telah memberikan semangat dan ide
yang luar biasa dalam mendukung penyelesaian makalah ini.
Kami
juga menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kekeliruan dan masih jauh dari
kata sempurna dalam penyusunan makalah ini, oleh karena itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran kepada pembaca yang bersifat membangun.
Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat kepada penulis khususnya dan kepada pembaca guna memperkaya ilmu
pengetahuan tentang materi yang kami sampaikan dalam makalah ini.
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ...................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah ................................................................................. 2
C. Tujuan ................................................................................................... 2
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian manthuq dan macam-macamnya ......................................... 3
B.
Pengertian mafhum dan macam-macamnya ......................................... 7
C.
Pengertian mafhum muwafaqah dan bentuk-bentuknya ...................... 9
D.
Pengertian mafhum mukholafah dan jenis-jenisnya .............................. 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 16
B. Saran
..................................................................................................17
DAFTAR
PUSTAKA ........................................................................................ 18
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kitab suci dan
sumber ajaran Islam yang pertama dan utama. Apabila diteliti dengan seksama,
maka akan ditemukan bahwa Al-Qur’an mengandung keunikan-keunikan makna yang
tiada akan pernah habis untuk dikaji dan memberi isyarat makna yang tak
terbatas. Kedudukan Al-Qur’an sebagai rujukan utama umat Islam dalam berbagai
aspek kehidupan mereka dan terbukanya untuk interpretasi baru, merupakan
motivasi tersendiri terhadap lahirnya usaha-usaha untuk menafsirkan dan menggali
kandungan maknanya.
Ketika berbicara mengenai ayat-ayat
yang terkandung dalam Al-Qur’an, sebenarnya dari semua ayat yang ada tersebut
tidak semuanya memberikan arti/pemahaman yang jelas. Jika ditelusuri, ternyata
banyak sekali ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih mendalam mengenai
hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa ternyata
ayat-ayat Al-Qur’an itu tidak hanya memberikan pemahaman secara langsung dan
jelas, tetapi juga terdapat ayat yang maknanya tersirat di dalam ayat tersebut.
Petunjuk (dalalah) lafaz
kepada makna adakalanya berdasarkan pada bunyi (manthuq, arti tersurat)
perkataan yang diucapkan itu, baik secara tegas maupun mengandung kemungkinan
makna lain, dengan takdir maupun tanpa takdir. Dan
adakalanya pula berdasarkan pada pemahaman (mafhum, arti tersirat)-nya,
baik hukum sesuai dengan hukum mantuq ataupun bertentangan.
Inilah yang dinamakan dengan manthuq dan mafhum.
Oleh karena itu, agar dapat memahami
dan mengetahui hukum atau makna yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an, dalam
makalah ini akan dipaparkan sedikit penjelasan guna menambah pemahaman pembaca.
Sebagian aspek tersebut yaitu mengenai Mantuq dan Mafhum, meliputi pengertian
dan pembagiannya serta contoh ayatnya. Semoga dapat dipahami dengan mudah lagi
bermanfaat.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian
latar belakang di atas, adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Apa
pengertian manthuq dan
macam-macamnya?
2. Apa
pengertian mafhum dan macam-macamnya?
3. Apa
pengertian mafhum muwafaqah dan
bentuk-bentuknya?
4. Apa
pengertian mafhum mukholafah dan
jenis-jenisnya?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian manthuq dan
macam-macamnya,
2.
Untuk
mengetahui pengertian mafhum dan
macam-macamnya,
3.
Untuk
mengetahui pengertian mafhum muwafaqah dan bentuk-bentuknya,
4.
Untuk
mengetahui pengertian mafhum mukholafah
dan jenis-jenisnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Manthuq dan Macam-macamnya
1. Pengertian Manthuq
Secara
etimologi manthuq berasal bahasa Arab (نطق- ينطق) yang artinya berbicara, منطوق (isim maf’ul)
berarti yang dibicarakan. Manthuq
adalah arti yang diperlihatkan oleh lafaz yang diungkapkan (yakni, petunjuk
arti tidak keluar dari unsur-unsur huruf yang diucapkan)[1][1]. Menurut Syafi’i Karim, mantuq ialah
sesuatu yang ditunjuki lafal dan ucapan lafal itu sendiri.[2][2] Dan
menurut Mudzakir, adalah suatu (makna) yang ditunjukkan oleh lafaz menurut
ucapannya, yakni penunjukkan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang
diucapkan.[3][3]
Dari
definisi ini diketahui bahwa apabila suatu makna yang ditunjukkan oleh suatu
lafaz menurut ucapan (makna tersurat), yakni menunjukkan makna yang berdasarkan
materi huruf-huruf yang diucapkan disebut pemahaman secara manthuq. Misalnya, hukum yang dipahami langsung dari teks firman
Allah pada QS. Al-Isra’ ayat 23 yang berbunyi :
فَلاَ تَقُلْ
لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا
Artinya : “Maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka”.
Dengan menggunakan pemahaman secara mantuq ayat ini menunjukkan haramnya
mengucapkan kata “ah” dan membentak kedua orang tua. Larangan atau haramnya hal
tersebut langsung tertulis dan ditunjukkan dalam ayat ini.
2.
Macam-macam Manthuq
Dalam kitab
“Zubdah al-Itqan fi Ulum al-Qur’an” karya Prof. Dr. Muhammad bin Alwi
Al-Maliki membagi mantuq atas dua
bagian, yaitu lafaz yang tidak memiliki kemungkinan lebih dari satu arti
yaitu nash, dan lafaz yang memiliki kemungkinan lebih dari satu
arti yaitu zahir dan mu’awal.
a. Lafaz yang
tidak memiliki kemungkinan lebih dari satu arti.
lafaz yang tidak memiliki
kemungkinan lebih dari satu arti atau nash, ialah lafaz yang
bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara tegas (sarih),
tidak mengandung kemungkinan makna lain.[4][4] Pengertian nash yang lain yaitu merupakan suatu
lafadz yang bentuknya sendiri telah dapat
menunjukan makna yang dimaksud secara tegas, tidak mengandung kemungkinan makna
lain.[5][5] Misalnya firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 196:
فَصِيَامُ
ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ فِى الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ
Artinya : “Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam
masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah
sepuluh (hari) yang sempurna”.
Penyipatan “sepuluh” dengan
“sempurna” telah mematahkan kemungkinan “sepuluh” ini diartikan lain
secara majaz (metafora). Inilah yang dimaksud dengan nash. Contoh
lain dalam QS. Al-Baqarah ayat 175:
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya : “Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba”.
Ayat ini menunjukkan secara jelas dan tegas tentang
kehalalan jual beli dan keharaman riba.
b.
Lafaz yang memiliki kemungkinan
lebih dari satu arti.
1)
Zahir
Zahir merupakan lafaz yang diberi
pemahaman dengan arti yang lebih diunggulkan. Zahir ialah
lafaz yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika diucapkan
tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh).[6][6] Jadi, zahir itu
sama dengan nash dalam hal penunjukkannya kepada makna yang
berdasarkan pada ucapan. Namun dari segi lain ia berbeda dengannya karena nash hanya
menunjukkan satu makna secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan menerima makna
lain, sedang zahir di samping menunjukkan satu makna
ketika diucapkanjuga disertai kemungkinan menerima makna lain meskipun
lemah. Misalnya firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 173:
… فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ
عَادٍ …
Artinya : “… tetapi barang siapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedangkan ia tidak menginginkan dan melewati
batas …”
Lafaz “bag” digunakan
untuk makna ”al-Jahil” (bodoh,tidak tahu) dan ”az-Zalim”
(melampaui batas, zalim), tetapi kemungkinan arti yang kedua lebih jelas dan
lebih umum digunakan. Contoh lain dalam QS. Al-Baqarah ayat 222 :
… وَلاَ تَقْرَبُوْهُنَّ
حَتَّى يَطْهُرْنَ …
Artinya : “…dan janganlah kamu mendekati mereka
sebelum suci …”
Lafaz “yathhurna” mempunyai
kemungkinan arti “suci dengan terhentinya haid” dan arti “suci dengan mandi
janabah dan wudu”, tetapi dari kedua arti tersebut, kemungkinan arti yang kedua
lebih jelas dan lebih umum digunakan. Kemungkinan arti yang pertama dari
contoh-contoh di atas disebut marjuh (tidak diunggulkan),
sementara kemungkinan arti kedua yang kedua disebut rajih (diunggulkan).
2)
Mu’awwal,
Mu’awwal merupakan Lafaz yang diberi pemahaman dengan arti yang tidak
diunggulkan (marjuh) karena terdapat indikasi ketidak-mungkinan diberi
pemahaman dengan arti yang diunggulkan (rajih). Mu’awwal ialah
lafaz yang diartikan dengan makna marjuh karena ada suatu dalil
yang menghalangi dimaksudkannya makna yang rajih.[7][7] Mu’awwal berbeda
dengan zahir, zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab
tidak ada dalil yang memalingkan kepada yang marjuh Misalnya firman
Allah dalam Al-Qur’an :
… وَهُوَ مَعَكُمْ
أَيْنَمَا كُنْتُمْ …
Artinya : “… Dia (Allah) akan selalu
bersama kalian di mana pun berada …”
Tidak mungkin memberikan kata
“bersama” pada ayat itu dengan “dekat” dalam pengertian tempat yang merupakan
arti rajih. Karenanya, kata itu harus diberi pemahaman dengan arti
lain yang marjuh. Yakni kekuasaan dan ilmu-Nya atau penjagaan dan
pemeliharaan yang diberikan-Nya. Contoh lain dalam QS. Al-Isra ayat 24 :
وَاحْفَضْ
لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةَ …
Artinya : “dan rendahkanlah dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh kasih sayang …”
Tidak mungkin memberikan pemahaman
kata “adz-dzulli” pada ayat itu dengan pengertian “sayap” yang merupakan
arti rajih karena pada kenyataannya memang manusia tidak
memiliki sayap. Karenanya, kata itu harus diberi pemahaman dengan arti lain
yang marjuh, yakni perlakuan yang baik terhadap kedua orang tua.
B. Pengertian Mahfum
dan Macam-macamnya
1. Pengertian Mahfum
Mafhum secara
berasal bahasa Arab (فهم – يفهم) yang artinya faham, مفهوم (isim maf’ul) berarti yang difahami. Mafhum (pemahaman) adalah arti yang tidak diperlihatkan oleh lafaz
yang diucapkan (yakni, petunjuk artinya keluar dari unsur-unsur huruf yang
dicapkan).[8][8] Menurut Syafi’i Karim, mafhum adalah sesuatu yang ditunjuk oleh
lafaz, tetapi bukan dari ucapan lafaz itu sendiri.[9][9] Dan menurut Mudzakir, ialah makna yang ditunjukkan
oleh lafaz tidak berdasarkan pada bunyi ucapan.[10][10]
Dari
definisi ini diketahui bahwa apabila sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafaz
tidak bersandar bunyi ucapan (makna tersirat) disebut pamahaman secara mafhum. Dengan kata lain, mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan
oleh suatu lafaz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman yang
terdapat pada ucapan tersebut. Misalnya, hukum yang dipahami langsung dari teks
firman Allah pada QS. Al-Isra’ ayat 23 yang berbunyi :
فَلاَ تَقُلْ
لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا
Artinya : “Maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka”.
Dengan menggunakan pemahaman secara mafhum, dimana melaluinya dapat
diketahui haram hukumnya memukul orang tua dan segala bentuk perbuatan yang
menyakiti keduanya.
2.
Pembagian Mahfum
Mafhum juga
terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.
Mafhum Muwafaqah
b.
Mafhum
Mukholafah
C. Pengertian Mahfum
Muwafaqah dan Bentuk-bentuknya
1.
Pengertian Mafhum Muwafaqah
Mafhum muwafaqah adalah suatu petunjuk kalimat yang
menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah
yang tidak tertulis, karena ada persamaan dalam maknanya. Disebut mahfum muwafaqah karena hukum yang tidak
tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis.[11][11] Mafhum Muwafaqah merupakan pemahaman yang diberikan kepada lafaz mafhum itu
selaras dengan yang dimiliki oleh lafaz manthuq, dengan kata lain
makna yang hukumnya sesuai dengan manthuq.[12][12]
2. Pembagian Mafhum
Muwafaqah
Mafhum
Muwafaqah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.
Fatwa
al-Khitab
Fatwa al-Khitab merupakan pemahaman yang diberikan kepada lafaz mafhum lebih kuat daripada yang dimiliki
oleh lafaz mantuq, yaitu apabila hukum yang dipahami dari
lafal lebih utama dari hukum yang
ditangkap langsung dari lafal itu.
Misalnya memukul, menghardik, dan meludahi orang tua yang dipahami dari
firman Allah SWT dalam surah al-Isra’(17) ayat 23 di atas, berbeda kualitasnya
dengan sekedar mengatakan “ah” atau “cis” kepada orang tua. Dari segi akibat,
memukul, menghardik dan meludahi orang tua, lebih berat dibanding hanya sekedar
mengatakan “ah” atau “cis”. Oleh sebab
itu hukum makna yang dipahami di
luar lafal itu bisa lebih utama (lebih tinggi kualitasnya) dari hukum yang
dipahami dari lafal itu sendiri.
b.
Lahnu
al-Khitab
Lahnu
al-Khitab merupakan pemahaman yang diberikan kepada lafaz mafhum itu
sama tingkatannya dengan yang dimiliki oleh lafaz mantuq. Misalnya
firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 10 :
إِنَّ
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى
ظُلْمًا …
Artinya : “sesungguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara zalim …”
Mafhum-nya, memakan
harta anak yatim sama saja dengan hukum melenyapkannya, membuang atau
membakarnya. Karena pada hakikatnya, makna-makna ini mengacu pada satu hal
yaitu menghabiskan harta anak yatim secara lalim.
D. Pengertian Mahfum
Mukholafah dan Macam-macamnya
1.
Pengertian Mafhum Mukholafah
Mafhum
Mukhalafah merupakan pemahaman yang diberikan kepada lafaz mafhum itu
tidak selaras dengan yang dimiliki oleh lafaz mantuq, dengan kata
lain makna yang berbeda hukumnya dengan mantuq.[13][13] Mafhum Mukhalafah adalah pengertian yang dipahami
berbeda dengan ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi
(meniadakan). Oleh karena itu, hal
yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan.
Seperti
dalam firman Allah swt pada QS. al-Jum’ah ayat 9:
إِذَا
نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Apabila kamu dipanggil untuk
mengerjakan sholat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakan dan
tinggalkan jual beli.”
Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa
boleh jual beli di hari jum’at sebelum adzan si mu’adzin dan sesudah
mengerjakan sholat.[14][14]
2. Pembagian Mafhum
Mukholafah
Mafhum
Muwafaqah dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
a. Mafhum
al-Washfi
Mafhum
al-Washfi (pemahaman dengan sifat) adalah petunjuk yang dibatasi oleh
sifat, menghubungkan hukum sesuatu kepada salah satu sifatnya. Dalam mafhum sifat terdapat tiga bagian, yaitu
mushtaq, hal (keterangan keadaan) dan ‘adad
(bilangan). Misalnya pada sabda Rasulullah saw.:
فِي السَّائِمَةِ زَكاَةِ
“para
binatang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat”
Mafhum mukhalafahnya adalah
binatang yang diberi makan, bukan yang digembalakan.[15][15]
Mafhum sifat dibedakan menjadi 3 macam,
yaitu:
1)
Mustaq dalam
ayat.
Contohnya
dalam QS. Al-Hujarat ayat 6:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا
قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasiq membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dapat
dipahami dari ungkapan kata ‘fasiq’
ialah orang yang tidak wajib ditelliti beritanya. Ini berarti bahwa berita yang
disampaikan oleh seseorang yang adil wajib diterima.
2) Hal (keterangan
keadaan)
Seperti fiman Allah, QS. Al-Maidah
ayat 95:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ
مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ
ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ
مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ
عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو
انْتِقَامٍ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa
diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan
binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua
orang yang adil diantara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka’bah atau
(dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makanan orang-orang miskin atau
berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan
akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu dan
barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya, Allah
Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.”
Ayat ini menunjukkan tiadanya hukum
bagi orang yang membunuhnya karena tak sengaja. Sebab penentuan “sengaja”
dengan kewajiban membayar denda dalam pembunuhan binatang buruan tidak sengaja.
3) ‘Adad (bilangan)
Seperti firman Allah dalam QS.
Al-Baqarah ayat 197:
الْحَجُّ
أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ
وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي
الألْبَابِ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan
yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan
mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasikh dan berbantah-bantahan
di dalam masa mengerjakan haji dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan,
niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal
adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.”
Mafhumnya ialah
melakukan ihram diluar bulan-bulan itu tidak syah.
b.
Mafhum Illiat
Mafhum illat adalah menghubungksn hukum sesuatu karena illatnya atau sebabnya. Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.[16][16]
c.
Mafhum
ghayah
Mafhum ghayah (pemahaman dengan batas akhir) adalah lafal yang
menunjukkan hukum sampai pada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafal
ghayah ini ada kalanya dengan “illa”
dan dengan “hatta’. Seperti
dalam firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 6:
اِذَا
قُنْتُمْ اِلىَ الصَّلَوةِ فاَغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ واَيْدِيَكُمْ أِلىَ
الْمَرَافِقِ....
“bila kamu hendak nmengerjakan
sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada siku”.
Mafhum mukhalafahnya adalah
membasuh tangan sampai kepada siku.
d.
Mahfum
laqaab
Mahfum
laqaab (pemahaman dengan julukan) adalah menggantungkan hukum kepada
isim alam atau isim fiil. Seperti firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
“Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu.” Mafhum mukhalafahnya adalah selain
para ibu.[17][17]
e.
Mafhum hasr
Mafhum hasr adalah
pembatasan. Seperti dalam firman Allah swt.:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah,
dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”
Mafhum mukhalafahnya adalah
bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak dimintai pertolongan. Oleh karrena
itu, ayat tersebut menunjukkan bahwa hanya Dia-lah yang berhak disembah dan
dimintai pertolongan.
f.
Mafhum
syarat
Mafhum
syarat adalah petunjuk lafadz yang memberi fadah adanya hukum
yang dihubungkan dengan syarat supaya dapat berlaku hukum yang
sebaliknya. Seperti dalam surat al-Thalaq ayat 6:
...وَإِنْ كُنَّ
أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ...
“...Dan jika mereka (istri-istri
yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mererka
nafkahnya.”
Mafhum
mukhalafahnya adalah istri-istri tertalak itu tidak sedang
hamil, tidak wajib diberi nafkah.[18][18]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Manthuq adalah petunjuk makna yang bersifat tekstual, yaitu petunjuk yang telah
jelas pada seluruh atau sebagian artinya berdasarkan tuturan lafadz itu
sendiri. Mantuq terbagi atas
dua bagian, yaitu :
a. Lafaz yang tidak
memiliki kemungkinan lebih dari satu arti.
b. Lafaz yang memiliki
kemungkinan lebih dari satu arti. Terbagi menjadi dua bagian, yaitu Zahir dan Mu’awwal.
2.
Mafhum adalah pemahaman terhadap makna yang tidak terdapat dalam suatu lafadz. Mafhum juga terbagi menjadi dua
bagian, yaitu:
a. Mafhum Muwafaqah.
b. Mafhum
Mukholafah
3.
Mafhum muwafaqah adalah
suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat
itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, karena ada persamaan dalam
maknanya. Mafhum muwafaqah terbagi atas dua bagian, yaitu :
a.
Fatwa
al-Khitab
b.
Lahnu
al-Khitab
4.
Mafhum
Mukhalafah merupakan pemahaman yang diberikan kepada lafaz mafhum itu
tidak selaras dengan yang dimiliki oleh lafaz mantuq, dengan kata
lain makna yang berbeda hukumnya dengan mantuq. Mafhum Mukhalafah terbagi menjadi beberapa bagian yaitu:
a.
Mafhum al-washfhi
b.
Mafhum illat
c.
Mafhum ghayah
d.
Mafhum laqaa,
e.
Mafhum hasr
f.
Mafhum syarat
- Saran
Dalam penyusunan makalah ini maupun
dalam penyajiannya kami selaku manusia biasa menyadari adanya beberapa
kesalahan oleh karena itu kami mnegharapkan kritik maupun saran khususnya dari
Dosen Pengampu Dr. Masrifah, M.Si. yang
bersifat membantu dan membangun agar kami tidak melakukan kesalahan yang sama
dalam penyusunan makalah yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Karim
Syafi’i, 1997, Fiqih – Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia
Khalaf Abdul
Wahab, 2003, Kaidah Hukum Islam, Jakarta:
Pustaka Amani
Mudzakir.
AS, 2007, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Bogor: Litera AntarNusa
Rosihon, 1999,
Mutiara Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia
Syafe’i Rahmat, 2010, Ilmu Ushul
Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia
Syaikh Manna’ Al-Qaththan , 2012, Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an , Jakarta: Pustaka Al – Kautsar
Rosihon, Mutiara Ilmu-ilmu
Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 233
Syafi’i Karim, Fiqih – Ushul
Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 177
Mudzakir. AS, Studi
Ilmu-ilmu Qur’an, (Bogor: Litera AntarNusa,2007), h. 358
Rosihon, Op.
Cit., h. 233
Syaikh
Manna’ Al-Qaththan , Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an ,
( Pustaka Al – Kautsar , Jakarta , 2012) , h.312
Mudzakir. AS, Op. Cit., h.
359
Rosihan, Op. Cit., h.
235
Syafi’i Karim, Op. Cit., h.180
Mudzakir. AS, Op. Cit., h. 362
Syafi’i Karim, Op. Cit., h.178
Rosihan, Op. Cit., h. 235
Rosihan, Op. Cit., h. 235
Rahmat syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2010) h.220
Syafi’i karim, Op. Cit., h. 183
Baca Juga Artikel Di Bawah Ini: