Pengertian
Dalil
Sebelum membahas tentang pembagian dalil kiranya
penulis akan memberikan definisi dalil menurut para ulama’:
Secara etimology bermakna
menunjukkan ataupun memberi tahu jalan. Seperti dalam hadits:
قَالَ سَأَلْنَا
حُذَيْفَةَ عَنْ رَجُلٍ قَرِيبِ السَّمْتِ وَالْهَدْىِ مِنَ النَّبِىِّ - صلى الله
عليه وسلم - حَتَّى نَأْخُذَ عَنْهُ فَقَالَ مَا أَعْرِفُ أَحَدًا أَقْرَبَ
سَمْتًا وَهَدْيًا وَدَلاًّ بِالنَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - مِنِ ابْنِ أُمِّ
عَبْد
Artinya: “Sewaktu kami bertanya pada sahabat
Hudzaifah ra tentang sosok manusia yang jelas maksudnya dan petunjuknya yang
dekat dengan Rasulullah SAW sehingga kami bisa belajar darinya, Hudzaifah ra
berkata: “Saya belum pernah melihat seseorang yang jelas maksud, petunjuk dan
pengarahannya dari Nabi Saw selain dari Fatimah ra.”.
Sedangkan dalil
secara
terminology:
“ما يمكن التوصل بصحيح النظر فيه إلى مطلوب خبري”
artinya: “Sesuatu yang memungkinkan untuk sampai (pada maksud) melalui
pandangan yang benar dalam menetapkan hukum Islam”.
Maksudnya adalah sesuatu yang memungkinkan
untuk sampai pada masuknya dalil yang belum diperhatikan oleh mujtahid dalam
menemukan hukum baru. Hal ini merupakan dalil meskipun belum ditunjukkan secara
nyata, hal ini masih berbentuk kemungkinan-kemungkinan. Karena dalil adalah
sesuatu yang berhasil menghantarkan kepada maksud secara nyata.
Yang dimaksud pandangan
yang benar adalah pandangan yang tidak rusak apalagi salah sehingga bisa
menghasilkan hukum yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan.
a. Pembagian Dalil Berdasarkan Sumbernya.
Dalam semua pembahasan berkaitan dengan dalil maka
para ulama telah sepakat bahwa dalil yang disepakati oleh para ulama terdiri
dari empat dalil: Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan qiyas.Hal
itu ditegaskan oleh Imam syafi’i yang menyatakan: ”Kedudukan ilmu harus
berdasarkan kepada: Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan qiyas”.Dan ada kesepakatan ulama mengenai sumber
asal empat dalil diatas harus bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah,
dikarenakan hal ini berhubungan langsung dengan tegaknya agama Islam.
Dengan demikian
dalil-dalil baik yang disepakati maupun masih diperselisihkan yang ada dalam
syariah harus bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, apabila menetapkan hukum
tanpa terlebih dahulu menyandarkan pada kedua dalil tersebut maka harus ditolak
dan dibatalkan demi hukum. Karena kedua dalil tersebut berdasarkan atas wahyu,
dan wahyu dari Allah selalu benar dan tidak pernah bertentangan satu sama
lainnya. Dan sumber dari segala dalil adalah Al-Qur’an.
Imam Ibn Taimiyah
menyatakan: “Sumber hukum syariah adalah Rasulullah SAW, karena Al-Qur’an
disampaikan kepada Rasulullah SAW, dan As-Sunnah muncul sebagai penjelas dari
Al-Qur’an, kedudukan ijma’ dan qiyas harus disandarkan pada Al-Qur’an dan
As-Sunnah”.
Penjelasan diatas
memungkinkan kita untuk menyatakan bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan
sumber segala dalil yang disepakati keberadaannya, karena keduanya dapat
disebut sebagai dalil naqli, wahyu, syara’, nash, khabar
dan semuanya itu kebalikan dari dalil ‘aqli, pendapat, ijtihad,
istinbath hukum.
Karakteristik Dalil Al-Qur’an Dan
As-Sunnah
Dibawah ini dapat
dilihat, bahwa kedua sumber tersebut mempunyai karakteristik yang kuat dalam
syariah:
1. Semuanya berdasar atas wahyu
Allah kepada Rasulullah.
Artinya:
“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
2.
Sumber awal dari Al-Qur’an
diperoleh dari Rasulullah SAW, karena kita tidak mendapatkan wahyu langsung
dari Allah, tidak juga melalui Malaikat Jibril as, karena hanya Rasulullah yang
mendapatkan wahyu, dan beliaulah yang berkewajiban menyampaikannya kepada kita.
Artinya: “Dan Al-Quran
ini diwahyukan kepadaku supaya dengan Dia aku memberi peringatan kepadamu dan
kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya)”.
3. Allah SWT menjamin keaslian
dan kemurnian Al-Qur’an sebagai sumber hukum selamanya.
Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah
yang menurunkan Al-Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.
4. Allah SWT menurunkan Al-Qur’an
sebagai sumber hukum untuk hamba-hambanya dalam menjalankan kehidupan
sehari-hari.
Artinya: “Maha suci
Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar Dia
menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”.
5.
Kewajiban bagi umat Islam
untuk mengikuti dan berpedoman pada kedua sumber hukum tersebut selama-lamanya,
dan tidak diperbolehkan untuk meninggalkannya apalagi mengingkarinya.
Ibn Taimiyah menyatakan: “Sumber hukum
yang wajib dijadikan pedoman adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’. Semuanya
berisi kebenaran, dan tidak ada kebatilan sama sekali didalamnya. Dan umat
Islam tidak boleh meninggalkannya dalam keadaan dan alasan apapun, hal ini
disebabkan Al-Qur’an dan As-Sunnah datang dari Rasulullah SAW dan umat Islam
wajib mengikutinya, apabila meninggalkan apalagi mengingkarinya maka orang
tersebut telah menjadi kafir atau munafik”.
6. Dan lain sebagainya.
b. Dalil ditinjau dari daya kekuatannya
1. Pengertian qath’i dan dzanni
Pertama: Secara etimology qath’i
dari kata qatha’a yang bermakna memisahkan bagian tubuh dengan cara
menghilangkannya atau memotongnya. Tetapi dalam pembahasan ini kata qath’i bermakna keyakinan,
kepastian, sesuatu yang bersifat tetap.
Sedangkan secara terminology
bermakna ”Sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian
dengan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”.
Kedua: Secara etimology dzanni
bermakna dugaan, persangkaan, sesuatu yang masih membingungkan.
Sedangkan secara terminology
bermakna ”Sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling
berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.
2. Dalil qath’i dan dzanni
Pertama: Dalil qath’i adalah sesuatu yang
menunjukkan pada hukum yang bersifat pasti dan tetap tanpa ada
kemungkinan-kemungkinan yang bisa merubahnya. Atau bisa juga diartikan: ”sesuatu yang pasti baik dilihat dari segi sanad,
dalalah dan sifatnya yang tetap”. Ada yang menambahkan: “qath’i adalah sesuatu yang pasti dilihat
dari segi matan dan dalalahnya”.
Contoh:
Artinya: “Maka wajib
berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah
pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna”.
Ayat ini menunjukkan
bahwa hitungan hari untuk melaksanakan puasa tersebut wajib untuk dilakukan,
hal ini disebut sebagai dalil qath’i.
Menurut imam Syafi’i:
“Apabila ada nash Al-Qur’an yang sudah jelas dan terang hukumnya, atau apabila
ada As-Sunnah yang disepakati keberadaannya, maka keberadaan keduanya bersifat qath’i,
dan tidak diperbolehkan meragukannya, sehingga jika ada orang yang menolak
untuk menerima nash tersebut dihukumi sebagai orang yang cacat akalnya”. Maksudnya adalah apabila ada yang menolak keberadaan nash
yang qath’i maka harus dapat memilah apakah sebagian dari nash
tersebut sanadnya bersifat qath’i atau tidak? Apakah nash
tersebut dalalahnya bersifat qath’i atau tidak?. Hal ini memberikan
pemahaman bahwa penelitian dalil nash merupakan penelitian yang harus
tepat dan benar, tidak boleh mengikutkan hawa nafsunya sehingga nash tersebut
dapat dinilai qath’i atau tidak yang nantinya dapat dijadikan dalil
dalam menetapkan hukum.
Kedua: Dalil dzanni adalah sesuatu yang
menunjukkan pada hukum tetapi masih mengandung kemungkinan-kemungkinan yang
bisa merubahnya tanpa dapat dimenangkan salah satunya”. Makna lainnya adalah: ”dalalah yang ada merupakan dzahirnya nash
yang tidak qath’i”.
Contoh:
Artinya: “
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima)”.
Ayat ini mempunyai dalalah
dzahir yakni ucapan “menyebut-nyebut dan menyakiti perasaan” akan
membatalkan shadaqah dan menghilangkan pahalanya. Hal ini memunculkan
kemungkinan-kemungkinan yang tidak dapat dimenangkan salah satunya, bahwa
sadaqah tidak jadi batal kecuali berkumpulnya kedua ucapan tersebut. Sehingga
apabila hanya mengucapkan salah satunya masih diragukan status hukumnya apakah
batal atau tidak? Mendapatkan pahala atau tidak?. Inilah yang dimaksud dengan
dalil dzanni.
Apabila dilihat dari
segi pengamalannya maka tetap berhukum wajib untuk mengamalkan dalil dzanni
dalam syariah hal ini didasarkan atas kesepakatan ulama, dan tidak ada
perbedaan antara mengamalkan dan nilai ilmiah dari dalil dzanni.
Sedangkan masalah akidah bisa menjadi hukum tetap meskipun menggunakan dalil dzanni.
Imam Syafi’i
menyatakan: “Apabila dalam nash As-Sunnah terdapat perbedaan dalam segi
maknanya, maka hal ini dimungkinkan untuk di ta’wil. Atau apabila ada
hadits ahad, maka masih dapat dijadikan hujjah sehingga hadits
ini tidak tertolak, terbuang begitu saja dan tidak dimanfaatkan oleh umat
Islam”.
c. Pembagian Dalil Berdasarkan Cara Pengambilannya
Dalil dalam hukum Islam dapat dibagi menjadi dua;
dalil syar’i dan bukan syar’i:
Dalil syar’i adalah dalil yang
diperintahkan, ditunjukkan atau direkomendasikan oleh syara’.
Dalil bukan syar’i
adalah anonym dari dalil syar’i. Dalil ini dapat berupa dalil yang
unggul maupun diunggulkan, dalil shahih maupun rusak, ‘aqli maupun sam’i.
dalil yang bukan syar’i ini bisa datang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti:
berbuat, berkata dan memutuskan hukum tanpa pengetahuan.
Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”.
Ayat ini
menerangkan ketidak bolehan untuk berbuat, berbicara dan menetapkan sesuatu
tanpa mempunyai pengetahuan yang memadai.
Atau berdebat dengan masalah yang sudah
nyata kebenarannya.
Artinya: “Mereka membantahmu tentang
kebenaran sesudah nyata (bahwa mereka pasti menang)”.
Ayat ini menunjukkan ketidak bolehan
berdebat tentang kebenaran yang sudah jelas keberadaannya.
Dalil syar’i dibagi menjadi tiga:
1. Dalil yang ditetapkan oleh syara’ yang
hadir melalui pendengaran (audio) dan kutipan (migrasi), dalil ini disebut
dengan dalil sima’i (dalil yang diperoleh melalui pendengaran) dan dalil
ini tidak dapat diperoleh melalui penelitian dan logika. Contohnya adalah
berita yang datang dari malaikat dan penghuni ’Arsy, permasalahan akidah,
perintah dan larangan. Semuanya itu dapat kita ketahui melalui hadits
Rasulullah SAW saja.
2. Dalil yang keberadaannya ditunjukkan dan yang
diperingatkan oleh syara’. Dalil ini disebut dengan dalil ’aqli.
Contohnya dalam masalah perumpamaan, penetapan keNabian dan penetapan hari
kebangkitan.
Artinya:
“
Dan Sesungguhnya telah Kami buat
dalam Al Quran ini segala macam perumpamaan untuk manusia”.
Ayat ini berhubungan dengan methode
qiyas, karena berisi tentang masalah perumpamaan atau juga menganalogikan.
Artinya:
“Katakanlah: "Jikalau Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya
kepadamu dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu". Sesungguhnya
aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya. Maka Apakah kamu tidak
memikirkannya?”.
Ayat ini berhubungan dengan penetapan
keNabian Rasulullah SAW.
Artinya:
“Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang
pertama. dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk”.
Ayat ini berhubungan dengan penetapan
hari kebangkitan.
3. Dalil yang diperbolehkan dan direkomendasikan oleh
syara’. Dalil yang dimaksud disini adalah segala yang tertuang dalam
hadits Rasulullah SAW dalam bentuk ilmu kedokteran, kimia, matematika,
tehnologi dan sebagainya.
Dalil syar’i ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Dalil ini benar keberadaannya.
2. Dalil syar’i diutamakan daripada dalil yang
bukan syar’i.
3. Dalil syar’i berupa dalil sam’i dan
’aqli.
4. Dalil syar’i berbeda dengan dalil yang
bukan syar’i.
d. Dalil ditinjau dari segi asalnya
Ditinjau dari asalnya, dalil ada dua macam:
1) Dalil Naqli yaitu dalil-dalil yang berasal dari nash langsung, yaitu Alquran dan alSunnah.
2) Dalil aqli, yaitu dalil - dalil yang berasal bukan dari nash langsung, akan tetapi dengan menggunakan akal pikiran, yaitu Ijtihad.
Bila direnungkan, dalam fiqih dalil akal itu bukanlah dalil yang lepas sama sekali dari Alquran dan al-Sunnah, tetapi prinsif-prinsif umumnya terdapat dalam Alquran dan Al-Sunnah.
e. Dalil ditinjau dari ruang lingkupnya
Dalil ditinjau dari ruang lingkupnya ada dua macam, yaitu:
Dalil Kully yaitu dalil yang mencakup banyak satuan hukum. Dalil Kulli ini adakalaya berupa ayat Alquran, dan berupa hadits, juga adakalanya berupa Qaidahqaidah Kully.
Contoh berikut dari dalil kully:
Dalil ini disebut dalil kully dari Alquran karena mencakup berbagai macam kerusakan yang dilarang oleh Allah SWT.
Dalil Kully dari hadits ini, menunjukan bahwa perbuatan apapun hendahnya disertai niat, dan amal seseorang akan dilihat dari sisi niatnya.
Artinya: Kesulitan itu membawa kemudahan.
Dalil kully dari Qaidah ini, memberi arti bahwa segala sesuatu yang tadinya sulit akan menjadi mudah. Dalil kulli dari Qaidah kulliyah ini tetap kembali kepada semangat atau didasari oleh isyarat Alquran dan al-Sunnah.
1) Dalil Juz'i, atau Tafsili yaitu dalil yang menunjukan kepada satu persoalan dan satu hukum tertentu, seperti :
Ayat ini disebut dalil Juz'i, karena hanya menunjukan kepada perbuatan puasa saja.
Baca Juga Artikel Di Bawah Ini: