Tafsir Surat At-Tin


 
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang                                        
Manusia bila dilihat dari segi sifat atau tindakannya yang positif dan negatif, sehingga dapat dibedakan seseorang dengan yang lainnya, dinamai oleh Al Qur’an dengan insan. Kata ini berakar dari kata yang dapat berarti “lupa”, “ gerak dinamis”, “jinak”, atau “senang”. Arti-arti tersebut menggambarkan sebagian dari sifat dasar manusia. Al Qur’an berbicara tentang makhluk ini, baik secara perorangan, maupun kelompok, juga peranannya dalam pergerakan sejarah serta faktor yang dapat membawa kebangkitan dan keruntuhannya.
Manusia atau masyarakat terdiri dari unsur yang menyatu luar dan dalam. Yang luar adalah jasmaninya atau bentuk lahiriah masyarakat, sedang yang dalam adalah perpaduan antara pandangan hidup dan tekat atau kehendaknya.
Walaupun Al Qur’an menguraiakan pentingnya pembinaan kedua unsur tersebut namun ditekankannya bahwa unsur itulah yang menggerakkan sejarah manusia serta mengantarkan masyarakatnya maju ke depan atau runtuh berantakan.
Seperti ditegaskan dalam Q.S. 13 : 11, yang artinya “Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang terdapat pada (keadaan) suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang terdapat pada diri mereka”.
B. Rumusan Masalah
1.    Apa isi kandungan dari  Surat At Tiin ayat 1-6 ?
2.    Apa hakekat manusia menurut surat-surat tersebut di atas ?
3.    Hal apa saja yang membuat derajat manusia lebih tinggi dari pada makhluk lainnya ?
4.    Hal-hal apa sajakah yang membuat manusia lebih rendah derajatnya dari pada makhluk yang lainnya ?
C. Tujuan
1.    Dapat mengetahui kandungan dari urat At Tiin ayat 1-6.
2.    Dapat mengetahui hakekat dari manusia.
3. Dapat mengetahui hal-hal yang membuat manusia tinggi derajatnya dan yang       membuat derajatnya dari makhluk yang lainnya.
4.    Dapat mengambil pelajaran dari ayat-ayat tersebut di atas.

BAB II
PEMBAHASAN
A.  AL-QUR’AN SURAT AT-TIN 1-6
 () تَقْوِيمٍ أَحْسَنِ فِي الإنْسَانَ خَلَقْنَا لَقَدْ () الأمِينِ الْبَلَدِ وَهَذَا () سِينِينَ وَطُورِ () وَالزَّيْتُونِ وَالتِّينِ
() مَمْنُونٍ غَيْرُ أَجْرٌ فَلَهُمْ الصَّالِحَاتِ وَعَمِلُوا آمَنُوا الَّذِينَ إِلا () سَافِلِينَ أَسْفَلَ رَدَدْنَاهُ ثُمَّ
Artinya : Demi (buah) tin dan (buah) zaitun. Dan demi bukit sinai. Dan demi kota (Mekah) ini yang aman. Sesungguhnya kami telah menciptakan manusian dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh; maka bagi mereka pahala yang tak putus-putusnya. (QS At-Tin : 1-6)

B.  ASBABUN NUZUL
Imam Ibnu Jarir mengetengahkan sebuah hadis melalui jalur Al 'Aufi bersumber dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan firman-Nya, "Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya." (Q.S. At Tiin, 5) Ibnu Abbas r.a. menceritakan bahwa mereka yang diisyaratkan oleh ayat ini adalah segolongan orang-orang yang dituakan umurnya hingga tua sekali pada zaman Rasulullah saw., karena itu ditanyakanlah perihal mereka, sewaktu mereka sudah pikun, maka Allah menurunkan firman-Nya yang menjelaskan tentang pemaafan bagi mereka, lalu dinyatakan-Nya bahwa bagi mereka pahala dari amal baik yang dahulu mereka lakukan sebelum mereka pikun.

C.  TAFSIR SURAT AT-TIN 1-6
1.    Ayat ke-1
. . . وَالزَّيْتُونِ وَالتِّينِ
“ Demi Tin dan Zaitun,”
          Kata Tin dalam Al Quran hanya disebut satu kali, yaitu dalam surat ini. Ada ahli  tafsir  yang  menyebutkan bahwa 'tin' adalah sejenis buah yang terdapat di Timur  Tengah.  Bila  matang,  warnanya  coklat,  berbiji seperti tomat, rasanya manis,  berserat  tinggi,  dan dapat digunakan sebagai obat penghancur batu pada saluran  kemih  dan  obat  wasir.  Oleh  sebab  itu,  pada  Al  Quran terjemahan Departemen Agama, kalimat Wattiin diartikan dengan "Demi buah Tin"
          Kata  Zaitun  disebut  empat  kali  dalam Al Quran. "Zaitun" adalah sejenis tumbuhan  yang  banyak  tumbuh di sekitar  Laut Tengah, pohonnya berwarna hijau, buahnya  pun berwarna hijau, namun ada pula yang berwarna hitam pekat, bentuknya seperti  anggur,  dapat  dijadikan  asinan dan minyak yang sangat jernih. Zaitun dinamai  Al Quran sebagai syajarah mubaarakah (tumbuhan yang banyak manfaatnya).
          Tidak  semua  ahli  tafsir  sependapat  bahwa  yang dimaksud Tin dan Zaitun adalah nama buah sebagaimana dijelaskan di atas. Ada juga yang berpendapat bahwa 'Tin'  adalah  nama  bukit  tempat  Nabi  Ibrahim a.s. menerima wahyu, sedangkan 'Zaitun'  adalah  nama  bukit di dekat Yerusalem tempat Nabi Isa menerima wahyu. Jadi  'Tin'  dan  'Zaitun' adalah dua tempat yang dianggap bersejarah, karena di tempat itulah Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Isa a.s. menerima wahyu.
          Kedua  pendapat  tersebut sama-sama memiliki alasan yang kuat. Namun, kalau kita  cermati konteks ayatnya, kelihatannya pendapat terakhir lebih logis karena pada  ayat berikutnya, yaitu ayat kedua dan ketiga, Allah swt. berfirman tentang bukit Sinai dan kota Mekah.
2.    Ayat  ke-2 sampai ke-3
. . . الأمِينِ الْبَلَدِ وَهَذَا,سِينِينَ وَطُورِ
" dan demi bukit Sinai, dan demi kota Mekkah ini yang aman"
          Hampir  seluruh  ahli  tafsir  sependapat kalau yang dimaksud 'Thuur Sinin' pada  ayat  tersebut  adalah  bukit Tursina atau lebih dikenal dengan nama bukit Sinai,  yaitu  bukit  yang  berada  di Palestina, tempat Nabi Musa a.s. menerima wahyu.  Sementara  yang dimaksud 'Baladil Amiin' adalah kota Mekkah, tempat Nabi Muhammad saw. menerima wahyu.
          Dengan  ayat-ayat di atas Allah swt. bersumpah dengan empat tempat penting, yaitu  Tin, Tursina (bukit Sinai), Zaitun, dan Baladil Amin (kota Mekah), dimana pada  empat  tempat  tersebut  Nabi Ibrahim as., Musa as., Isa as., dan Muhammad saw.  menerima  wahyu  untuk memberikan bimbingan dan pencerahan hidup pada umat manusia.
          Bimbingan  yang  diberikan para nabi dan rasul ditujukan untuk menjaga agar manusia  tetap  berada  dalam  kemuliaannya  karena  manusia adalah makhluk yang diciptakan  Allah  swt. dalam bentuk yang terbaik, sehingga dijelaskan pada ayat berikutnya.
3.      Ayat ke-4
. . . تَقْوِيمٍ أَحْسَنِ فِي الإنْسَانَ خَلَقْنَا لَقَدْ
"sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dengan bentuk yang sebaik-baiknya,"
Di sini Allah berfirman bahwa demi keempat hal di atas, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.  Kata ( خلقنا ) khalaqna/ Kami telah menciptakan berasal dari kata ( خلق ) khalaqa  dan ( نا ) na yang berfungsi sebagai kata ganti nama, kata na (Kami) yang menjadi akta ganti nama itu menunjuk kepada jama’ (banyak), tetapi juga bisa digunakan untuk menunjuk satu pelaku saja dengan maksut mengagungkan pelaku tersebut. Para raja biasa menunjuk dirinya menggunakan kata kami, begitu juga Allah. Dari sisi lain penggunaan kata ganti bentuk jama’ itu (kami) yang menunjuk pada Allah mengisyaratkan keterlibatan-Nya dalam perbuatan yang ditunjuk oleh kata yang dirangkaikan dengan kata ganti tersebut. Jadi, kata khalaqna mengisyaratkan keterlibatan selain Allah dalam penciptaan manusia. Dalam hal ini yakni bapak ibu manusia. Dalam Q.S. Al Mukminun (23) : 14, Allah menegaskan bahwa Dia adalah Ahsan Al Khaliqin/ sebaik-baiknya pencipta.
Kata (  الانسان ) Al Insan/manusia yang dimaksud ayat ini, menurut Al Qutubi bahwa manusia-manusia yang durhaka pada Allah, pendapat ini bertentangan dengan para tafsir lain karena adanya pengecualian yaitu kecuali orang-orang yang beriman. Ini menunjukkan bahwa “manusia” yang dimaksut ayat ini jenis manusia pada umumnya mencakup mukmin  atau kafir, bahkan Asy Syathi merumuskan bahwa semua kata al insan  dalam Al Qur’an berbentuk definitif yaitu dengan menggunakan kata sandang ( ال ) / al berarti menegaskan jenis manusia secara umum.
Kata ( تقويم ) taqwim diartikan sebagai menunjuk suatu sesuatu memiliki (  قوم  ) qiwam  yaitu bentuk fisik yang pas dengan fungsinya.
Firman-Nya, bahwa  manusia diciptakan dalam bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, tidak harus dipahami bahwa manusia adalah semulia-mulia makhluk Allah, ini sesuai dengan Q.S. Al Isra’ (17) : 70. yang artinya:
“Kami mengutamakan mereka atas banyak, yakni bukan semua dari makhluk-makhluk yang kami ciptakan dengan pengutamaan yang besar”.
Q.S. As Sajdah (32) : 7, yang artinya :
“Dia yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah.”
Atas dasar itu penciptaan manusia dalam bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya dalam arti yang sebaik-baiknya dalam fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi, makhluk yang lainnya pun sebaik-baiknya sesuai fungsi masing-masing.
          Allah  swt.  dalam  ayat  ini menegaskan secara eksplisit bahwa manusia itu diciptakan  dalam  bentuk  yang  paling sempurna. Ar-Raghib Al-Asfahani, seorang pakar  bahasa  Al Quran menyebutkan bahwa kata 'taqwiim' pada ayat ini merupakan isarat   tentang   keistimewaan   manusia   dibanding   binatang,  yaitu  dengan dikaruniainya  akal,  pemahaman,  dan  bentuk  fisik  yang tegak dan lurus. Jadi 'ahsani taqwiim' berarti bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya.
          Kalau  kita  cermati  lebih  jauh,  sesungguhnya kesempurnaan manusia bukan hanya  sekedar pada bentuk fisik dan psikisnya saja, kedudukan manusia di antara makhluk  Allah  lainnya  pun  menempati  peringkat tertinggi, melebihi kedudukan malaikat.
          Dalam surat Al-Isra’ ayat 70 disebutkan :
الطَّيِّبَاتِ مِنَ وَرَزَقْنَاهُمْ وَالْبَحْرِ الْبَرِّ فِي وَحَمَلْنَاهُمْ آدَمَ بني كَرَّمْنَا وَلَقَدْ
تَفْضِيلا مِمَّنْ كَثِيرٍ عَلَى وَفَضَّلْنَاهُمْ خَلَقْنَا
“ Dan  sesungguhnya  Kami  telah  memuliakan  anak Adam (manusia) dan Kami angkut mereka  di  darat  dan  di laut, dan Kami melebihkan mereka atas makhluk-makhluk yang Kami ciptakan, dengan kelebihan yang menonjol.” (Q.S. Al Isra 17:70)
          Pada  prinsipnya, malaikat adalah makhluk mulia. Namun jika manusia beriman dan  taat  kepada  Allah  swt.,  ia  bisa  melebihi kemuliaan para malaikat. Ada beberapa   alasan  yang  mendukung  pernyataan  tersebut.  Pertama,  Allah  swt. memerintahkan kepada malaikat untuk bersujud (hormat) kepada Adam a.s. Saat awal penciptaan  manusia  Allah berfirman:
          "Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para  Malaikat, "Sujudlah kamu kepada Adam", maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia  enggan  dan takabur dan ia adalah termasuk golongan kafir." (Q.S. Al Baqarah 2:34)
          Kedua,  malaikat  tidak  bisa  menjawab  pertanyaan  Allah  tentang al asma (nama-nama  ilmu  pengetahuan),  sedangkan  Adam a.s. mampu karena memang diberi ilmu  oleh  Allah  swt.,  "Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian  mengemukakannya  kepada  para  malaikat,  lalu berfirman, "Sebutkanlah kepada-Ku  nama  benda-benda  itu  jika  kamu memang golongan yang benar. Mereka menjawab,  "Maha  Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau  ajarkan  kepada  kami;  sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha  Bijaksana."  Allah  berfirman:  " Hai  Adam,  beritahukanlah  kepada mereka nama-nama  benda  ini." Maka  setelah  diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda   itu,   Allah   berfirman: " Bukankah  sudah  Kukatakan  kepadamu,  bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan." (Q.S. Al Baqarah 2:31-32).
          Ketiga,  kepatuhan malaikat kepada Allah swt. karena sudah tabiatnya, sebab malaikat  tidak memiliki hawa nafsu; sedangkan kepatuhan manusia pada Allah swt. melalui perjuangan yang berat melawan hawa nafsu dan godaan setan.
          Keempat,  manusia  diberi  tugas  oleh Allah menjadi khalifah di muka bumi:
          "Ingatlah  ketika  Tuhanmu  berfirman  kepada  para  malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi..." (Q.S. Al Baqarah 2:30).
          Mencermati  analisis  di  atas,  bisa  disimpulkan  betapa Allah swt. Telah memberikan  kemuliaan yang begitu tinggi pada manusia, bukan hanya yang bersifat fisik  dan  psikis, tapi juga dari segi kedudukannya. Namun, kalau manusia tidak mampu  mengemban amanah yang begitu besar, derajatnya akan turun ke tingkat yang paling  hina,  bahkan  bisa  lebih  hina  dari  binatang  sekalipun, sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikutnya.
4.    Ayat ke-5
. . . سَافِلِينَ أَسْفَلَ رَدَدْنَاهُ ثُمَّ
"Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya,"
Kata ( هنارد ) radadnahu terdiri atas (  ردد ) radada dirangkaikan dengan kata ganti dalam bentuk jamak ( نا ) na serta kata ganti yang berkdudukan objek (  ه ) ha / -nya. Di sini menggambarkan kejatuhannya ke tempat yang serendah-rendahnya. Bahkan tidak keliru jika dikatakan bahwa keterlibatan manusia amat besar ( ردد ) radada, antara lain berarti mengalihkan, memalingkan atau mengembalikan. Keseluruhan makna tersebut disimpulkan sebagai perubahan keadaan sesuatu seperti keadaan sebelumnya. Atas dasar ini kata tersebut dapat pula diartikan menjadi kembali.
Ada beberapa pendapat tentang mengapa manusia dialihkan ke tingkat yang serendah-rendahnya :
Pendapat pertama :
Keadaan kelemahan fisik dan psikis di asat tuanya, seperti di kala ia masih bayi. Pendapat ini ditolak oleh sementara pakar, berhubungan dengan adanya pengecualian pada ayat “kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh”, karena orang beriman pun dapat mengalami keadaan serupa. Makna ini dapat diterima jika kata illa, diterjemahkan tetapi bukan kecuali.
Pendapat kedua :
Neraka dan kesengsaraan. Pendapat ini juga dipertanyakan, apakah sebelum ini manusia pernah berada di neraka. Pendapat ini bisa diterima jika kata radadnahu dipahami dalam arti mengembalikannya atau menjadikannya.
Pendapat ketiga :
Keadaan ketika ruh illahi belum menyatu dengan diri manusia. Pendapat ini lebih dapat di terima menurut Qurais Shihab seperti pada Q.S. Al Hijr (14) : 29 dan Q.S. Shad (38) : 72, Q.S. Al Mu’minun (23) : 12-14, dijelaskan tentang reproduksi tanah manusia dari saripati tanah, kemudian nutfah, kemudian ‘alaqah, kemudian mudhghat dan ‘izham, proses fisik ini kemudian “dijadikan ia oleh Allah makhluk yang berbeda dari yang lain, yakni dengan jalan menghembuskan ruh illahi kepadanya.
Manusia akan mencapai tingkat (ahsan-taqwim) apabila terjadi perpaduan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani, antara kebutuhan fisik dan jiwa. Jika hanya memenuhi kebutuhan jasmaninya saja, maka manusia akan kembali kepada proses awal sebelum ruh illahi itu menyentuh fisiknya, kembali ke asfala syafilin.
          Selain 3 pendapat diatas, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kalau  binatang menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan perut dan syahwat  biologisnya,  kita tidak bisa mengategorikannya sebagai perbuatan hina, karena binatang tidak diberi akal dan nurani. Namun, kalau manusia melakukan hal yang sama seperti binatang, kita mengategorikannya sebagai perbuatan hina karena manusia  diberi  akal  dan nurani untuk mengontrol perbuatannya. Nah, kalau kita tidak  pernah  menggunakan  akal  sehat  dan  nurani untuk mengarungi kehidupan, berarti derajat kita anjlok ke level yang serendah-rendahnya.
          Agar  tidak  turun  ke derajat yang paling rendah, Allah swt. Memerintahkan manusia  untuk  mengisi hidup dengan iman dan amal saleh, sebagaimana dijelaskan pada ayat berikutnya,
5.      Ayat ke-6
. . . مَمْنُونٍ غَيْرُ أَجْرٌ فَلَهُمْ الصَّالِحَاتِ وَعَمِلُوا آمَنُوا الَّذِينَ إِلا
  "Kecuali  orang-orang  yang  beriman dan beramal shaleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya."
          Orang  yang  tidak  akan  turun  pada  derajat  yang  paling  rendah adalah orang-orang   beriman.  Iman  secara  bahasa  bermakna  "pembenaran".  Maksudnya pembenaran   terhadap  apa  yang  disampaikan  oleh  Nabi  Muhammad  saw.,  yang pokok-pokoknya  tergambar  dalam  rukun  iman yang enam; yakni (1) keesaan Allah swt.,  (2)  malaikat,  (3)  kitab-kitab suci, (4) para nabi dan rasul Allah, (5) hari kemudian, (6) takdir yang baik & buruk.
          Peringkat iman dan kekuatannya berbeda antara satu dan saat lainnya. Begitu pula  dengan  kekuatan  iman  masing-masing  manusia, berbeda antara satu dengan lainnya.  Dalam  suatu riwayat, disebutkan bahwa 'Al immanu yaziidu wa yanqushu' (iman  itu  fluktuatif,  dapat bertambah dan bisa juga berkurang). Karena itulah kita wajib merawat iman agar tetap prima.
          Seseorang  dapat  dikatakan memiliki iman yang kuat bila memenuhi ciri-ciri sbb:
1.    memiliki jiwa muraqabah, artinya selalu merasa dilihat, ditatap, dan diawasi Allah swt.
2.    hatinya mudah tersentuh dengan nasihat-nasihat agama,
3.    berjiwa   tawakal,   pasrah   kepada   Allah   setelah   berikhtiar  dengan sungguh-sungguh,
4.    selalu berkomunikasi dengan Allah dengan shalat dan doa,
5.    memiliki kepekaan sosial, sehingga selalu menyisihkan sebagian hartanya untuk fakir   miskin.
          Ciri-ciri ini diambil dari firman Allah dalam surat al-anfal ayat 2-4 yang artinya :
"Sesungguhnya  orang-orang  yang  beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama   Allah  gemetarlah  hati  mereka,  dan  apabila  dibacakan  kepada  mereka ayat-ayat-Nya,  bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. Yaitu  orang-orang  yang  mendirikan  sholat dan menafkahkan sebagian dari rizki yang   Kami   berikan  pada  mereka.  Itulah  orang-orang  yang  beriman  dengan sebenar-benarnya.  Mereka  akan  memperoleh  beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta nikmat yang mulia." (Q.S. Al Anfal 8:2-4)
          Setelah  beriman,  yang  bisa  menyelamatkan  manusia dari kejatuhan adalah 'Amilus  shalihat'  (beramal  saleh).  Kalimat  'Amilus shalihat' dalam Al Quran disebut  hingga  52  kali.  Kata  'amiluu  berasal  dari  kata  'amalun, artinya pekerjaan  yang  dilakukan dengan penuh kesadaran. Kata 'shalihaat' berasal dari kata 'shaluha', artinya bermanfaat atau sesuai.
          Jadi,  amal  saleh  adalah  aktivitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa pekerjaan itu memberi manfaat untuk dirinya maupun untuk orang lain, serta pekerjaannya  itu  sesuai  dengan  aturan-aturan  yang  telah ditentukan. Syaikh Muhammad  Abduh  mendefinisikannya  sebagai  berikut,  "Amal saleh adalah segala perbuatan yang berguna bagi diri pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan."
          Perlu  ditegaskan,  amal  saleh  harus  dibarengi dengan poin pertama yaitu iman. Tanpa iman kepada Allah swt., amal yang dilakukan akan sia-sia belaka.

BAB III
PENUTUP

Dari uraian-uraian di atas dapat kita ketahui bahwa ayat-ayat di atas menjelaskan tentang kedudukan manusia sebagai makhluk yang tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk yang lain apabila dapat menyeimbangkan antara kebutuhan jasmani dan rohani. Akan tetapi manusia juga dapat menjadi rendah serendah-rendahnya makhluk karena ia tidak bisa mengontrol hawa nafsunya.
Namun demikian manusia bukanlah satu-satunya makhluk yang diciptakan dengan derajat yang paling tinggi, karena setiap makhluk menjadi tinggi derajatnya apabila melaksanakan apa yang menjadi fungsi dan tugasnya masing-masing.

Baca Juga Artikel Di Bawah Ini:

Komentar Facebook
0 Komentar Blogger
Twitter

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar

Ayo tinggalkan jejak anda berupa komentar disini !!! karena komentar anda sangat berarti sekali demi kemajuan blog ini.

Panduan Memberi Komentar
1.Masukan komentar anda
2.Lalu pada kata 'beri komentar sebagai' , pilih account yang anda punya, bagi yang belum mempunyai account pilih Name/url, isi nama anda dan Kosongkan URL atau isi dengan alamat facebook anda(untuk mengetahui alamat facebook anda silahkan login ke facebook dan pilih profile anda, anda dapat melihat alamat Facebook anda di atas, contoh alamat Facebook punya saya http://www.facebook.com/profile.php?id=1823916177
3.dan kemudian Publikasikan
4.Selesai dan anda tinggal menunggu komentar anda muncul
Semoga bermanfa'at.

 
Selamat Datang di www.gudangmaterikuliah.blogspot.co.id(Kumpulan Materi Kuliah Jurusan PAI/Pendidikan Agama Islam). Terima Kasih Atas Kunjungannya. Kunjungi juga website kami di www.indoking.net(Kumpulan berbagai macam informasi terlengkap,terhits dan terupdates 2016)Terimakasih.