Belajar merupakan proses manusia dalam memperoleh pengetahuan atau menguasai pengetahuan melalui pengalaman, mengingat, mendapatkan informasi atau menemukan (Hilgrad & Bower dalam Baharuddin dan Wahyuni, 2007:13). Belajar juga merupakan proses berubahnya tingkah laku yang relatif permanen yang disebabkan oleh interaksi dengan lingkungannya. Proses belajar merupakan hal yang menarik untuk dibicarakan, sehingga sudah banyak ahli yang mengemukakan teori-teori dan pandangan-pandangan mereka mengenai proses belajar tersebut.
Salah satu aliran yang mempunyai pengaruh terhadap praktik belajar yang dilaksanakan di sekolah adalah aliran psikologi kognitif. Aliran ini telah memberikan konstribusi terhadap penggunaan unsur kognitif atau mental dalam proses belajar. Berbeda dengan pandangan aliran behavioristik yang memandang belajar sebagai kegiatan yang bersifat sebagai mekanistik antara stimulus dan respon, aliran kognitif memandang kegiatan belajar bukanlah sekedar stimulus atau respon yang bersifat mekanistik, tetapi lebih dari itu, kegiatan belajar juga melibatkan kegiatan mental yang ada di dalam diri individu yang sedang belajar.
Kendati pendekatan kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan behavioristik, namun pandangan-pandangan kaum behavioristik juga ada yang digunakan dalam pendekatan kognitif. Reinforcement, misalnya, yang menjadi prinsip belajar behavioristik, juga terdapat dalam pandangan kognitif tentang belajar. Namun bedanya, behavioristik memandang reinforcement sebagai elemen yang penting untuk menjaga atau menguatkan perilaku, sedangkan menurut pandangan kognitif reinforcement merupakan sebuah sumber feedback untuk melihat apakah kemungkinan yang terjadi jika sebuah perilaku diulang lagi.
2. PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Belajar Menurut Teori Kognitif
Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajarnya. Teori ini juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut. Membagi-bagi situasi/materi pelajaran menjadi komponen-komponen kecil dan mempelajarinya secara terpisah akan menghilangkan makna belajar. Teori ini juga berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan faktor-faktor lain. (Asri, 2005 : 34). Belajar adalah aktifitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Proses belajar di sini antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima (faktor eksternal) dan menyesuaikan dengan struktur kognitif yang sudah terbentuk di dalam pikiran seseorang (background knowledge) berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya (faktor internal). Teori kognitif lebih menekankan pada struktur internal pembelajar dan lebih memberi perhatian pada bagaimana seseorang menerima, menyimpan, dan mengingat kembali informasi dari perbendaharaan ingatan. Ada beberapa kelompok penganut teori kognitif, namun fokus dari penganut teori ini sama yaitu pada soal bekerjanya pikiran manusia (Mukminan, 1998:53).
Banyak ahli telah memberikan pandangan menganai Teori Kognitif. Berikut ini beberapa pengertian teori belajar menurut para tokoh aliran kognitif:
1) Teori Belajar menurut Piaget
Piaget adalah tokoh psikologi kognitif yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran para pakar kognitif lainnya. Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Semakin bertambah umur pebelajar, semakin kompleks susunan sel syarafnya dan makin meningkat kemampuannya (Asri, 2005:35). Proses peningkatan kemampuan tersebut melalui proses yang disebut adaptasi. Proses adaptasi mempunyai dua bentuk dan terjadi secara stimulan, yaitu asimilasi dan akomodasi. Tahap asimilasi adalah proses penerimaan informasi baru dan kemudian disesuaikan dengan struktur kognitif yang sudah ada dalam diri masing-masing pebelajar. Proses akomodasi adalah proses memodifikasi struktur kognitif yang sudah dimiliki dengan informasi yang diterima. Proses asimilasi dan akomodasi akan menimbulkan ketidakseimbangan antara yang telah diketahui dengan apa yang dilihat atau dialaminya sekarang. Proses ketidakseimbangan ini harus disesuaikan melalui proses ekuilibrasi. Proses ekuilibrasi ini merupakan proses yang berkesinambungan antara proses similasi dan akomodasi. Proses ini akan menjaga stabilitas mental dalam diri pebelajar dan pebelajar akan dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuannya.
Perubahan struktur kognitif yang dipengaruhi oleh proses adaptasi tersebut melalui tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya dan bersifat hirarkhis. Seseorang harus melalui urutan tertentu dan tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya. Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat yaitu (Asri, 2005 :37):
a. Tahap sensorimotor (umur 0-2 tahun)
Pertumbuhan kemampuan anak tampak dari kegiatan motorik dan persepsinya yang sederhana seperti:
- mencari rangsanganmelalui sinar lampu
- suka memperhatikan sesuatu lebih lama
- memperhatikan objek sebagai hal yang tetap, lalu ingin merubah tempatnya.
b. Tahap preoperasional (umur 2-7/8 tahun)
Tahap ini dibagi menjadi dua, yaitu preoperasional dan intuitif. Preoperasional (umur 2-4 tahun), anak telah mampu menggunakan bahasa dalam mengembangkan konsepnya, walaupun masih sangat sederhana. Maka sering terjadi kesalahan dalam memahami obyek. Tahap intuitif (umur 4-7 atau 8 tahun), anak telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang sudah abstrak. Dalam menarik kesimpulan sering tidak diungkapkan dengan kata-kata. Oleh sebab itu, pada usia ini anak telah dapat mengungkapkan isi hatinya secara simbolik terutama bagi mereka yang memiliki pengalaman yang luas.
c. Tahap operasional konkrit (umur 7 atau 8-11 atau 12 tahun)
Anak telah memiliki kecapakan berpikir logis, akan tetapi hanya dengan benda-benda yang bersifat konkrit. Operation adalah suatu tipe tindakan untuk memanipulasi obyek atau gambaran yang ada di dalam dirinya. Dalam tahap ini, anak tidak perlu coba-coba dan membuat kesalahan, karena anak sudah dapat berpikir dengan menggunakan model “kemungkinan” dalam melakukan kegiatan.
d. Tahap Operasional formal (umur 11/12-18 tahun)
Anak mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola berpikir “kemungkinan”. Model berpikir ilmiah dengan tipe hipothetico-deductive dan inductive sudah mulai dimiliki anak, dengan kemampuan menarik kesimpulan, menafsirkan dan mengembangkan hipotesa. Semakin tinggi tahap perkembangan kognitif seseorang, akan semakin teratur dan semakin abstrak cara berpikirnya. Guru seharusnya memahami tahap-tahap perkembangan kognitif murid-muridnya agar dapat merancang dan melaksanakan proses pembelajaran yang sesuai.
2) Teori Belajar menurut Bruner
Dalam memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Dengan teorinya yang di sebut free discovery learning, ia mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya. Bruner berpendapat bahwa perkembangan bahasa seseorang besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif. Pandangan Bruner ini berbeda dengan pendapat Piaget yang menyatakan bahwa perkembangan bahasa dipengaruhi oleh perkembangan kognitif.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu:
a. Tahap enaktif, yaitu seseorang melakukan aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan.
b. Tahap ikonik, seseorang memahami objek melalui gambar dan visualisasi verbal.
c. Tahap simbolik, seseorang mampu memiliki ide-ide atau gagasan abstrak yang dipengaruhi oelh kemampuan dalam berbahasa dan logika.
Gagasan yang terkenal dari Bruner adalah spiral curriculum, yaitu cara mengorganisasikan materi pelajaran dari tingkat makro (secara umum) kemudian mulai mengajarkan materi yang sama dengan cakupan yang lebih rinci. Selain itu juga, Bruner menjelaskan bahwa pembentukan konsep dan pemahaman konsep merupakan dua kegiatan yang berbeda. Dalam pemahaman konsep, konsep-konsep sudah ada sebelumnya. Sedangkan dalam pembentukan konsep tindakan dilakukan untuk membentuk kategori-kategori baru. Bruner memandang bahwa suatu konsep memiliki lima unsur, dan seseorang dikatakan memahami suatu konsep apabila ia mengetahui semua unsur dari konsep itu, meliputi :
a. Nama
b. Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif
c. Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak
d. Rentangan karakteristik
e. Kaidah
Menurut Bruner, pembelajaran yang selama ini diberikan di sekolah lebih banyak menekankan pada perkembangan kemampuan analisis, kurang mengembangkan kemampuan berpikir intuitif. Padahal berpikir intuitif sangat penting bagi mereka yang menggeluti bidang matematika, biologi, fisika, dan sebagainya, sebab setiap disiplin mempunyai konsep-konsep, prinsip, dan prosedur yang harus dipahami sebelum seseorang dapat belajar. Cara yang baik untuk belajar adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (discovery learning).
3) Teori Belajar menurut Ausubel
Teori-teori belajar yang ada selama ini masih banyak menekankan pada belajar asosiatif atau belajar menghafal. Belajar demikian tidak banyak bermakna bagi siswa. Belajar seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna bagi siswa. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa dalam bentuk struktur kognitif.
Advance organizers yang oleh Ausubel merupakan penerapan konsepsi tentang struktur kognitif di dalam merancang pembelajaran. Penggunaan advance organizers sebagai kerangka isi akan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mempelajari informasi baru, maka advance organizers akan memudahkan siswa mempelajari materi pelajaran yang baru, serta hubungannya dengan materi yang telah dipelajarinya.
4) Teori Belajar menurut Gagné
Menurut Robert M. Gagné belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan, melewati pengolahan informasi, dan menjadi kapabilitas baru (Syaiful, 2007:17). Gagné berpendapat bahwa belajar bukan hanya disebabkan oleh proses pertumbuhan saja, namun juga disebabkan oleh perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia yang terjadi setelah belajar secara terus menerus. Gagné berkeyakinan bahwa belajar dipengaruhi oleh faktor dalam diri dan faktor luar diri dimana keduanya saling berinteraksi. Komponen-komponen belajar dalam proses belajar menurut Gagné merupakan situasi yang memberi stimulus yang menghasilkan respon, namun di antara stimulus dan respon tersebut terdapat hubungan yang terjadi dalam diri seseorang yang tidak dapat diamati.
Menurut Gagné ada tiga tahap dalam belajar, yaitu:
a. persiapan untuk belajar dengan melakukan tindakan mengarahkan perhatian.
b. pemerolehan dan unjuk perbuatan untuk pembangkitan kembali, respon dan penguatan.
c. alih belajar yaitu pengisyaratan untuk memberlakukan secara umum.
Gagné mengemukakan pendapat mengenai delapan tipe belajar dari yang paling sederhana sampai paling kompleks yang disebut dengan Hirarkhi Belajar. Delapan tipe tersebut adalah :
a. Signal learning
Signal learning merupakan tipe belajar dalam bentuk pemberian respon terhadap tanda-tanda.
b. Stimulus response learning
Dalam tipe ini respon diperkuat dengan adanya imbalan. Dengan belajar tipe ini, seseorang belajar mengucapkan kata-kata dan dalam bahasa asing.
c. Chaining learning
Chaining learning terjadi jika terbentuk hubungan antara beberapa stimulus-respon. Sebab yang satu terjadi setelah yang satu lagi. Sebagai contohnya adalah setelah pulang kantor, ganti baju, makan, dan sebagainya.
d. Verbal association
Tipe ini bersifat asosiatif tingkat tinggi karena fungsi nalar yang menentukan. Sebagai contohnya bila anak melihat gambar bentuk bujur sangkar dan dia bisa mengatakan bahwa gambar tersebut adalah bujur sangkar.
e. Discrimination learning
Tipe ini menghasilkan kemampuan membeda-bedakan berbagai gejala seperti siswa bisa membedakan manusia satu dengan yang lain.
f. Concept learning
Belajar konsep adalah corak belajar yang dilakukan dengan menentukan ciri-ciri yang khas yang ada dan memberikan sifat tertentu pada berbagai objek. Dengan menguasai konsep, ia dapat menggolongkan manusia menurut hubungan kekeluargaan, dll.
g. Rule learning
Tipe belajar ini terjadi dengan cara mengumpulkan sejumlah sifat kejadian yang kemudian tersusun dalam macam-macam aturan. Misalnya, aturan seperti logam jika dipanaskan akan memuai, angin berhembus dari daerah maksimum ke daerah minimum.
h. Problem solving
Tipe belajar ini adalah yang paling kompleks. Dalam tipe belajar ini diperlukan proses penalaran yang kadang-kadang memerlukan waktu yang lama.
5) Teori Belajar menurut Gestalt
Berbeda dengan teori-teori yang dikemukakan oleh para tokoh behaviorisme, terutama Thordike, yang menganggap bahwa belajar sebagai proses trial and error, teori Gestalt ini memandang belajar adalah proses yang didasarkan pada pemahaman (insight). Karena pada dasarnya setiap tingkah laku seseorang selalu didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi di mana tingkah laku tersebut terjadi. Dengan kata lain, teori Gestalt ini menyatakan bahwa yang paling penting dalam proses belajar individu adalah dimengertinya apa yang dipelajari oleh tersebut. Oleh karena itu, teori belajar Gestalt ini disebut teori insight.
Proses belajar yang menggunakan insight mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Suryabrata, 1990) :
a) Insight tergantung pada kemampuan dasar.
b) Insight tergantung kepada pengalaman masa lampau yang relevan.
c) Insight tergantung kepada pengaturan situasi yang dihadapi.
d) Insight didahului dengan periode mencari dan mecoba-coba.
e) Solusi problem dengan menggunakan insight dapat diulangi dengan mudah, dan akan berlaku secara berlangsung.
f) Jika insight telah terbentuk, maka problem pada situasi-situasi yang lain akan dapat dipecahkan.
Konsepsi dasar mengenai struktur kognitif inilah yang dijadikan landasan teoritik dalam mengembangkan teori-teori pembelajaran. Dari kelima tokoh aliran kognitif tersebut, beberapa pemikiran ke arah penataan isi bidang studi atau materi pelajaran sebagai strategi pengorganisasian isi pembelajaran yang berpijak pada teori kognitif, dikemukakan secara singkat sebagai berikut (Degeng dalam Asri, 2005:46):
a) Hirarkhi belajar
Dalam hirarkhi belajar, Gagné menekankan pada aspek penataan urutan materi pelajaran dengan prasyarat belajar yang dituangkan dalam struktur isi.
b) Analisis Tugas
Cara lain yang dipakai untuk menunjukkan keterkaitan isi bidang studi adalah information-processing approach to task analysis. Hubungan ini memerikan urutan dalam menampilkan tugas-tugas belajar.
c) Subsumptive sequence
Ausubel mengemukakan gagasan mengenai cara membuat urutan isi pengajaran yang dapat menjadikan pengajaran lebih bermakna bagi yang belajar, dengan mengurutkan materi dari umum ke rinci.
d) Kurikulum spiral
Bruner memberikan gagasan mengenai kurikulum spiral yang menyusun urutan pengajaran dari umum, kemudian mengajarkan isi yang sama dengan cakupan lebih rinci.
e) Teori skema
Teori ini memandang proses belajar sebagai perolehan pengetahuan baru dalam diri seseorang dengan cara mengkaitkannya dengan struktur kognitif yang sudah ada.
f) Webteaching
Webteaching merupakan suatu prosedur penataan urutan isi bidang studi yang dikembangkan dengan menampilkan pentingnya peranan struktur pengetahuan yang telah dimiliki seseorang. Pengetahuan baru yang akan dipelajari secara bertahap harus diintegrasikan dengan struktur pengetahuan yang telah dimilikinya.
g) Teori Elaborasi
Teori ini mengintegrasikan sejumlah pengetahuan tentang strategi penataan isi pelajaran yang sudah ada untuk menciptakan model yang komprehensif tentang cara mengorganisasi pengajaran.
2.2. Aplikasi Teori Belajar Kognitif dan Pemprosesan Informasi dalam Desain Pesan Pembelajaran.
Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktifitas belajar yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perseptual, dan proses internal. Dalam merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran tidak lagi mekanistik sebagaimana pada teori behavioristik namun dengan memperhitungkan kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar agar belajar lebih bermakna bagi siswa.
Karakteristik dari proses belajar ini adalah:
a. Belajar merupakan proses pembentukan makna berdasarkan pengetahuan yang sudah dimiliki melalui interaksi secara langsung dengan obyek.
b. Belajar merupakan proses pengembangan pemahaman dengan membuat pemahaman baru.
c. Agar terjadi interaksi antara anak dan obyek pengetahuan, maka guru harus menyesuaikan obyek dengan tingkat pengetahuan yang sudah dimiliki anak.
d. Proses belajar harus dihadirkan secara autentik dan alami. Anak dihadirkan dalam situasi obyek sesungguhnya dan harus sesuai dengan perkembangan anak.
e. Guru mendorong dan menerima otonomi dan insiatif anak.
f. Memberi kegiatan yang menumbuhkan rasa keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan ide dan mengkomunikasikannya dengan orang lain.
g. Guru menyusun tugas dengan menggunakan terminologi kognitif yaitu meminta anak untuk mengklasifikasi, menganalisa, memprediksi.
h. Guru memberikan kesempatan kepada anak untuk merespon proses pembelajaran.
i. Guru memberi kesempatan berpikir setelah memberi pertanyaan.
DAFTAR PUSTAKA
Asri Budiningsih. 2007. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
_____________. 2003. Desain Pesan Pembelajaran. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruz Media.
Mukminan,dkk. 1998. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta.
Nana Sudjana. 1990. Teori-Teori Belajar untuk Pengajaran. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Syaiful Sagala. 2007. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Woolfolk, Anita E. dan Lorraine McCune-Nicolich. 1980. Educational Psychology for Teachers. New Jersey: Prentice-Hall Inc.