1. Pengertian Amr
Dari segi bahasa amr artinya suruhan. Sedang menurut istilah ialah :
“Suatu lafaz yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah untuk meminta bawahannya mengerjakan suatu pekerjaan yang tidak boleh ditolak”.
2. Bentuk-bentuk Amr
Kata yang menunjukkan kepada perintah seperti yang dimaksudkan dalam pengertian di atas mempunyai beberapa bentuk, yaitu :
a. Fi’iI Amr, seperti :
“Berikanlah maskawin (Mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”.
b. Fi’iI Mudhari’,seperti :
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat”.
c. Isim Fi’il Amr, seperti :
“Jagalah Dirimu”.
d. Masdar Pengganti Fi’il, seperti :
“Dan berbuat baiklah kepada Ibu Bapak”.
e. Jumlah khabariyah/kalimat berita, seperti :
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”.
f. Kata yang mengandung makna perintah, dan sebagai jawab syarat, dan sebagainya. Di bawah ini akan dikemukakan contoh-contohnya.
Menggunakan kata faradha :
“Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka”.
Menggunakan kata kutiba:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa”.
Menggunakan kata amara :
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanah”.
Sebagai jawab syarat :
“Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat”.
3. Kaidah-kaidah Amr
Kaidah-kaidah amr yaitu ketentuan-ketentuan yang dipakai para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum. Ulama’ Ushul merumuskan kaidah-kaidah amr dalam lima bentuk, yaitu :
Kaidah pertama :
“Pada dasarnya amr perintah itu menunjukkkan kepada wajib dan tidak menujukkan kepada selain wajib kecuali dengan qarinah, antara lain seperti berikut ini”.
1. Nadb, anjuran (sunnat), seperti :
“Hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka”.
2. Irsyad , membimbing atau memberi petunjuk, seperti :
“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli”.
Ada perbedaan Amr dalam bentuk irsyad dengan yang berbentuk nadb. Dengan nadb diharapkan mendapat pahala, sedang Irsyad untuk kemaslahatan serta kebaikan yang berhubungan dengan adat istiadat dan sopan santun etika saja.
3. Ibahah, boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, seperti :
“Makan dan minumlah”.
4. Tahdid, mengancam, atau menghardik, seperti :
“Perbuatlah apa yang kamu kehendaki”.
5. Taskhir, menghina atau merendahkan derajat, seperti :
“Jadilah kamu kera yang hina”
6. Ta’jiz, menunjukkan kelemahan lawan bicara, seperti :
“Buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an”.
7. Taswiyah, sama antara dikerjakan dan tidak, seperti :
“Masuklah kamu ke dalamnya (rasakan panas apinya) maka baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu”.
8. Takzib, mendustakan, seperti :
Katakanlah : “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”.
9. Talhif, membuat sedih atau merana, seperti :
“Matilah kamu karena kemarahanmu itu”.
10. Doa, permohonan, seperti :
“Wahai tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu”.
Kaidah Kedua :
“Perintah setelah larangan menunjukkan kepada kebolehan”.
Yang dimaksud dengan kaidah di atas yaitu apabila ada perbuatan-perbuatan yang sebelumnya dilarang, lalu datang perintah mengerjakan, maka perintah tersebut bukan perintah wajib tetapi hanya bersifat membolehkan, coba perhatikan firman Allah dalam surat Al-Jumu’ah ayat 10 :
“Apabila shalat (jum’at) telah dilaksanakan maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunianya (Rezeki) Allah”.
Ayat tersebut menerangkan bahwa setelah selesai mengerjakan shalat Jum’at diperbolehkan melakukan suatu aktivitas lain, termasuk jual beli. Padahal dalam ayat lain Allah menyuruh meninggalkan (melarang) kegiatan jual beli bila panggilan shalat Jum’at telah dikumandangkan, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Jumu’ah ayat 9 sebagai berikut :
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila telah dipanggil untuk melaksanakn shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli”.
Oleh karena itu, perintah bertebaran di muka bumi sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat 10 tidak bersifat wajib, tetapi hanya dibolehkan.
Kaidah Ketiga :
“Pada dasarnya penintah itu tidak menghendaki segera dilaksanakan”.
Misalnya tentang haji, seperti firman Allah dalam surat Al-Hajj 27 :
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, dan hadits nabi saw dinyatakan”.
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu (untuk melaksanakan) haji, maka berhajilah kamu”.
Jumhur Ulama’ sepakat bahwa perintah mengerjakan sesuatu yag berhubungan dengan waktu, maka harus dikerjakan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan tidak boleh di luar waktu. Bila dilakukan di luar waktu tanpa sebab yang dibenarkan oleh syara maka hukumnya akan berdosa.
Kaidah Keempat :
“Pada dasamya perintah itu tidak menghendaki pengulangan (berkali-kali mengerjakan perintah)”.
Contohnya perintah menunaikan ibadah haji, yaitu hanya satu kali seumur hidup. Maka seandainya ada orang yang berpendapat perintah haji tersebut dimaksudkan pengulangan (beberapa kali), maka orang tersebut harus mampu menunjukkan qarinah atau kalimat yang menunjukkan kepada pengulangan. Menurut Ulama’ qarinah itu dapat dikelompokkan menjadi tiga :
1. Perintah itu dikaitkan dengan syarat, seperti wajib mandi setiap junub.
“Jika kamu berjunub, maka mandilah”. (QS. Al-Maidah : 6)
2. Perintah itu dikaitkan dengan illat, dengan kaidah:
“Hukum itu ditentukan oleh ada atau tidak adanya illat”
Seperti hukum rajam sebab melakukan zina. Lihat surat An-Nur ayat 2:
“Wanita dan laki-laki yang berzina maka deralah masing-masing seratus kali”.
3. Perintah itu dikaitkan dengan sifat atau keadaan yang berlaku sebagai illat, seperti kewajiban shalat setiap kali masuk waktu.
“Kerjakanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir”.
Dari paparan di atas tampak jelas, bahwa berulangnya dihubungkan dengan berulangnya sebab. Dalam hal masalah ini Ulama’ menetapkan kaidah.
Kaidah Kelima
“Memerintahkan mengerjakan sesuatu berarti memerintahkan pula segala wasilahnya”.
Kaidah ini menjelaskan bahwa perbuatan yang diperintahkan itu tidak bisa terwujud tanpa disertai dengan sesuatu perbuatan lain yang dapat mewujudkan perbuatan yang diperintah itu. misalnya kewajiban melaksanakan shalat. Shalat ini tidak dapat dikerjakan tanpa suci terlebih dahulu. Karena itu, perintah shalat berarti juga perintah bersuci.
Dalam kaitannya dengan masalah ini, Ulama’ menetapkan kaidah :
“Tiap-tiap perkara yang kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka perkara itu wajib pula”.
B. Nahi
Menurut bahasa berarti larangan. Sedang menurut istilah ialah :
“Larangan ialah tuntutan meninggalkan sesuatu yang datangnya dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya".
1. Bentuk-bentukNahi
Ungkapan yang menunjukkan kepada “Nahi” (larangan) itu ada beberapa bentuk :
a) Fi’il Mudhari’ yang disertai dengan ia nahiyah
, seperti :
“Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bum”i.
b) Lafaz-lafaz yang memberi pengertian haram atau perintah meninggalkan perbuatan, seperti :
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
2. Kaidah-kaidah Nahi
Kaidah Pertama
Menurut Jumhur :
“Pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram”.
Seperti :
“dan janganlah kalian mendekati zina”.
Alasan dipakai oleh jumhur :
1. Adalah rasional Akal memahami bahwa sighat (bentuk) nahi itu menunjukkan arti yang sebenarnya, yaitu melarang.
2. Ulama’ salaf memahami bentuk nahi yang lepas dan qarinah menunjukkan larangan.
Sebagian Ulama’ berpendapat :
“Pada dasarnya larangan itu menunjukkan makruh”.
Menurut ulama yang memakai kaidah ini berdasar bahwa nahi menunjukkan bahwa sesuatu yang dilarang itu adalah tidak baik. Karena itu, ia tidak menunjukkan haram, tetapi makruh. Sebab makruhlah pengertian yang pasti.
Sighat (bentuk) nahi selain menunjukkan haram, sesuai dengan qarinahnya, juga menujukkan arti yang lain, coba perhatikan uraian berikut :
1. Karahah seperti :
“Janganlah kamu shalat di kandang onta”.
2. Doa seperti :
“ya tuhan kami janganlah engkau menyiksa kami, jika kami lupa” .
3. lrsyad memberi petunjuk, mengarahkan seperti :
Janganlah kamu menyatakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu.
4. Tahqir , menghina, seperti :
Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup.
5. Bayan Al-Aqibah, seperti :
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati”.
6. Ta’yis, menunjukkan putus asa, seperti ;
“Janganlah kamu mengemukakan udzur pada hari ini”.
7. Tahdid, seperti :
Kaidah Kedua :
“Larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya”
Seperti :
“Janganlah kamu mempersekutukan Allah”.
Larangan mempersekutukan Allah berarti perintah mentauhidkanNya.
Kaidah Ketiga :
“Pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam setiap waktu”.
Apabila ada larangan yang tidak dihubungkan dengan sesuatu seperti waktu atau sebab-sebab lain, maka larangan tersebut menghendaki meninggalkan yang dilarang itu selamanya. Namun bila larangan itu dihubungkan dengan waktu, maka perintah larangan itu berlaku bila ada sebab. Seperti :
Artinya : “Janganlah shalat sedangkan kamu dalam keadaan mabuk”.
Kaidah Keempat :
“Pada dasarnya larangan itu menghendaki fasad (rusak) secara mutlak”.
Rasulullah SAW bersabda :
“Setiap perkara yang tidak ada perintah kami, maka ia tertolak”.
Orang Tua, Kenali Gejala Penyakit Ayan Pada Anak
BalasHapus