Mawaris atau
pembagian harta warisan merupakan salah satu cabang ilmu islam yang cukup
kompleks. Hal ini mengingat betapa sensitifnya ilmu ini. Karena kekacauan
pembagian harta waris sering terjadi perselisihan antar keluarga. Untuk itulah islam
mengatur urusan ini secara mendetail. Dalam al-qur’an dasar-dasar ilmu ini
dijelaskan secara gamblang dan spesifik, tidak seperti kebanyakan ayat quran
lainnya yang berbicara secara general. Hikmah dibalik itu semua adalah adanya
penekanan akan pentingnya ilmu ini. Oleh karena itu, studislam kali ini akan
membahas mengenai ilmu ini, ilmu fiqih mawaris. Kami mengambil sumber dari buku
ustadz Ahmad Sarwat yang berjudul “Fiqih Mawaris”.
Fiqih Mawaris
FIQIH
MAWARIS oleh Ahmad Sarwat, Lc
Menurut
KBBI, kata ‘mewarisi’ adalah memperoleh warisan. Misalnya kalimat berikut :
Amir mewarisi sebidang tanah milik ayahnya, pak Ali. Artinya, Amir memperoleh
tanah yang ditinggalkan oleh pak Ali.
Sedangkan
kata ‘mewariskan’ artinya adalah memberikan harta warisan atau meninggalkan
sesuatu harta kepada orang lain. Misalnya kalimat berikut : Pak Ali mewariskan
sebidang tanah kepada anaknya. Maksudnya, pak Ali memberikan harta warisan
kepada anaknya.
Kata
‘pewaris’ adalah orang yang mewariskan, yaitu orang yang memberi harta warisan.
Contoh dalam kalimat, pak Ali adalah pewaris dari anak-anaknya. Maksudnya, pak
Ali memberi harta warisan kepada anak-anaknya.
Lawan kata
pewaris adalah ‘ahli waris’, yaitu orang yang berhak menerima warisan (harta
pusaka). Contoh dalam kalimat, Amir adalah ahli waris dari ayahnya. Maksudnya,
Amir menerima harta warisan dari ayahnya.
Di dalam
Al-Quran ada banyak ayat yang secara detail menyebutkan tentang pembagian waris
menurut hukum Islam. Khusus di surat An-Nisa’ saja ada tiga ayat, yaitu ayat
11,12 dan 176. Selain itu juga ada di dalam surat Al-Anfal ayat terakhir, yaitu
ayat 75.
Dari Ibnu
Abbas radiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabdam”Bagikanlah harta
peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak
laki-laki yang paling utama. ” (HR Bukhari)
Dari Ubadah
bin As-Shamith radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW menetapkan buat
dua orang nenek yaitu 1/6 diantara mereka. (HR. Ahmad Abu Daud dan Ibnu Majah)
Dari Ibnu
Mas’ud radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW menetapkan bagi anak
tunggal perempuan setengah bagian, dan buat anak perempuan dari anak laki
seperenam bagian sebagai penyempurnaan dari 2/3. Dan yang tersisa buat saudara
perempuan .(HR. Jamaah kecuali Muslim dan Nasai)
Ada ashabul
furudh yang sudah ditetapkan besarannya, seperti 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 hingga
2/3. Ada juga para ahli waris dengan status menerima ashabah, yaitu menerima
warisan berupa sisa harta dari yang telah diambil oleh para ashabul furudh. Dan
ada juga yang menerima lewat jalur furudh dan ashabah sekaligus.
Fardh (فرض) adalah bagian harta yang didapat oleh seorang ahli waris yang telah
ditetapkan langsung oleh nash Al-Quran, As-Sunnah atau ijma’ ulama. Fardh itu
adalah bilangan pecahan berupa 1/2, 1/3. 1/4, 1/6, 1/8 dan 2/3. Harta yang
dibagi waris itu adalah 1 lalu dipecah-pecah sesuai bilangan fardh.
Misalnya
seorang istri yang ditinggal mati suaminya sudah dipastikan mendapat 1/8 bagian
dari harta suaminya, apabila suaminya punya keturunan. Atau mendapat 1/4 bagian
bila suaminya tidak punya keturunan.
Ashabul
furudh (أصحاب الفروض) sesuai dengan namanya, berarti adalah orang-orangnya, yaitu orang-orang
yang mendapat waris secara fardh. Mereka adalah ahli waris yang punya bagian
yang pasti dari warisan yang diterimanya. Contoh ashabul furudh adalah suami,
istri, ibu, ayah dan lainnya.
Besar harta
yang diterimanya sudah ditetapkan oleh nash, tapi tergantung keadaannya.
Sebagai contoh, seorang istri yang ditinggal mati suaminya sudah dipastikan
besar harta yang akan diterimanya, yaitu 1/4 atau 1/8. Seandainya suaminya
punya anak, maka istri mendapat 1/8 dari harta suami. Tapi kalau suami tidak
punya anak, istri menapat 1/4 dari harta suami.
Begitu juga
seorang suami yang ditinggal mati istrinya, sudah dipastikan besar harta yang
akan diterimanya, yaitu 1/2 atau 1/4, tergantung keberadaan anak dari istri.
Seandainya istri punya anak, maka suami mendapat 1/4 dari harta istri. Tapi
kalau istri tidak punya anak, suami mendapat 1/2 dari harta istri.
Tapi
intinya, ashabul furudh adalah para ahli waris yang sudah punya bagian pecahan
tertentu dari harta muwarristnya.
Istilah
ashabaha (عصبة) berposisi sebagai lawan fardh, yaitu bagian harta yang diterima oleh ahli
waris, yang besarnya belum diketahui secara pasti. Karena harta itu hanyalah
sisa dari apa yang telah diambil sebelumnya oleh ahli waris yang menjadi
ashhabul-furudh.
Besarnya
bisa nol persen hingga seratus persen. Tergantung seberapa banyak harta yang
diambil oleh ahli waris ashhabul furudh. Kalau jumlah mereka banyak, maka
bagian untuk ashabah menjadi kecil, kalau jumlah mereka sedikit, biasanya
ashahabnya menjadi besar.
Misalnya,
seorang anak laki-laki tunggal adalah ahli waris ashabah dari ayahnya yang
meninggal dunia. Ibunya adalah ahli waris dari ashabul furudh, mendapat 1/8
dari harta suaminya. Sedangkan anak tersebut mendapat waris sebagai ashabah,
atau sisa dari apa yang sudah diambil ibunya, yaitu 1 – 1/8 = 7/8.
Sahm (سهم) adalah istilah untuk menyebut bagian harta yang diberikan kepada setiap
ahli waris yang berasal dari asal masalah. Atau disebut juga jumlah kepala
mereka.
Misalnya,
Nasab (نسب) adalah hubungan seseorang secara darah, baik hubungan ke atasnya seperti
ayah kandung, kakek kandung dan seterusnya. Hubugnan ke atas ini disebut
abuwwah. Bisa juga hubungan seseorang ke arah bawah (keturunannya) seperti
dengan anak kandungnya, atau anak dari anaknya (cucu) dan seterusnya. Hubngan
ini disebut bunuwwah.
Istilah (الفرع) bila kita temukan di dalam ilmu waris, maksudnya adalah anak laki-laki
atau anak perempuan dari almarhum yang akan dibagi hartanya. Termasuk juga anak
dari anaknya (cucu) baik laki-laki maupun perempuan. Bila disebut
Al-far’ul-warists maksudnya adalah anak laki-laki dan anak perempuan, atau ahli
waris anak-anak tersebut ke bawahnya.
Yang
dimaksud dengan istilah al-ashl (الأصل) adalah
ayah kandung dan ibu kandung, juga termasuk ayah kandung atau ibu kandung dari
ayah kandung (kakek). Dan kakek atau nenek yang merupakan ayah dan ibunya ayah
ini disebut juga al-jaddu ash-shahih.
Menetapkan
Kepemilikan Harta
Meski pun
bagian ini nyaris tidak kita temukan di kitab-kitab fiqih klasik, namun pada
kenyataannya, terutama di negeri kita, justru bagian ini paling rumit dari
semua urusan pembagian warisan. Pertama yang harus dilakukan adalah memilah dan
memilih mana yang merupakan harta almarhum dan mana yang harta milik orang
lain, tetapi tercampur di dalam harta almarhum.
Ada beberapa
contoh kasus yang sering terjadi dimana di dalam harta seseorang masih
tercampur hak milik orang lain, diantaranya :
a. Usaha
Bersama Suami Istri
Sepasang
suami istri sejak menikah telah membangun usaha bersama, katakanlah membuka
toko. Keduanya mengeluarkan harta benda dan tenaga untuk memajukan usaha
keluarga itu secara bersama-sama. Bisa dikatakan harta yang mereka miliki itu
menjadi harta berdua. Ketika keduanya masih hidup, barangkali tidak timbul persoalan,
lantran kedua suami istri.
Tapi akan
muncul masalah saat istri meninggal dunia. Apalagi bila suami kawin lagi. Tentu
di dalam harta berupa usaha toko itu ada hak milik istri sebelumnya. Suami
tentu tidak bisa menguasai begitu saja peninggalan itu.
Boleh jadi
akan muncul masalah dengan anak-anak. Mereka akan mengatakan bahwa ibu mereka
punya hak atas harta yang kini menjadi milik ayah dan ibu tiri mereka.
Dalam hal
ini, harus dirunut ke belakang tentang status kepemilikan usaha keluarga itu.
Berapakah besar yang menjadi milik suami dan berapa yang menjadi bagian istri,
seharusnya ditetapkan terlebih dahulu.
Kalau istri
sebagai pemilik atau pemegang saham, maka berapa besar saham istri harus
ditetapkan secara jelas. Dan kalau istri berstatus sebagai pegawai, gajinya
harus ditetapkan secara jelas juga.
Maka hanya
harta yang sudah benar-benar 100% milik istri saja yang dibagi waris, sedangkan
yang milik suami tentu tidak dibagi waris, karena dia masih hidup.
b. Suami
Memberi Hadiah Kepada Istri
Sebuah keluarga
pecah gara-gara istri almarhum dan anak-anaknya diteror oleh adik-adik almarhum
sendiri. Pasalnya, menurut adik-adik almarhum, mereka berhak mendapat harta
warisan berupa kolam pemancingan dari peninggalan harta kakak mereka, lantaran
sang kakak tidak punya anak laki-laki. Dalam hal ini, kalau almarhum tidak
punya anak laki-laki, sisa warisan jatuh kepada ashabah yang tidak lain adalah
adik-adik almarhum.
Tapi menurut
istri almarhum yang kini sudah menjanda, kolam pancing ikan yang diributkan itu
pada dasarnya bukan asset harta milik suaminya yang sudah almarhum. Karena
semasa hidupnya, almarhum telah menghadiahkan kolam pancing itu kepada dirinya
sebagai hadiah ulang tahun.
Hal itu
terbukti dari surat tanah yang memang atas nama istri. Maka harta itu tidak
bisa dibagi waris, karena statusnya bukan milik almarhum.
Maka
seberapa benar pernyataan dari masing-masing pihak, harus ditelusuri terlebih
dahulu, baik dengan menghadirkan saksi-saksi atau pun dengan surat-surat bukti
kepemilikan. Barulah setelah semua jelas, bagi waris bisa dilakukan.
c. Pinjam
atau Beli
Ini kisah
nyata. Seorang adik pinjam uang kepada kakaknya untuk naik haji. Dan sebagai
jaminannya, sepetak sawah digadaikan kepada sang kakak.
Sayangnya
sampai sekian puluh tahun kemudian, uang pinjaman ini tidak dikembalikan.
Otomatis sawah sebagai jaminan pun juga masih di tangan sang kakak.
Ketika kedua
kakak beradik ini sudah meninggal, anak dan cucu mereka bermaksud membagi harta
warisan. Muncul masalah tentang status sawah, karena para ahli waris meributkan
statusnya. Anak keturunan sang adik mengatakan bahwa sawah itu milik orang tua
mereka, karena orang tua mereka tidak pernah menjual sawah itu semasa hidupnya,
kecuali hanya menjadikannya sebagai jaminan hutang.
Sedangkan
anak keturunan sang kakak mengatakan bahwa sawah itu sudah menjadi hak orangtua
mereka, lantaran utang belum pernah dikembalikan.
Anak
keturunan si adik akhirnya bersedia mengembalikan hutang orangtua mereka,
tetapi nilainya hanya Rp. 30.000 saja, karena dulu pinjam uangnya hanya senilai
itu saja. Karuan saja keluarga sang kakak meradang, karena apa artinya uang
segitu di zaman sekarang ini. Padahal di masa lalu, uang segitu senilai dengan
biaya pergi haji ke tanah suci. Mereka meminta setidaknya uang itu dikembalikan
seharga biaya ONH sekarang, yaitu sekitar 30-an juta.
Dan masih
banyak lagi kasus-kasus di tengah masyarakat, yang intinya menuntut
penyelesaian terlebih dahulu dalam hal status kepemilikan harta almarhum.
Syarat Waris
1.
Meninggalnya Muwarrits
a. Meninggal
secara hakiki
Meninggal
secara hakiki adalah ketika ahli medis menyatakan bahwa seseorang sudah tidak
lagi bernyawa, dimana unsur kehidupan telah lepas dari jasad seseorang.
b. Meninggal
secara hukum
Meninggal
secara hukum adalah seseorang yang oleh hakim ditetapkan telah meninggal dunia,
meski jasadnya tidak ditemukan.
Misalnya,
seorang yang hilang di dalam medan perang, atau hilang saat bencana alam, lalu
secara hukum formal dinyatakan kecil kemungkinannya masih hidup dan kemudian
ditetapkan bahwa yang bersangkutan telah telah meninggal dunia.
Bagi Waris
Sebelum Meninggal
Ada fenomena
yang terjadi di masyarakat, yaitu membagi-bagi harta waris sebelum muwarritsnya
meninggal dunia. Malah, justru si muwarrits itulah yang membagi-bagi.
Padahal
dalam hukum waris Islam, tidak terjadi ahli waris mendapat harta warisan,
manakala seorang muwarrits belum lagi meninggal dunia.
Seorang
tidak mungkin membagi-bagi warisan dari harta yang dimilikinya sendiri kepada
anak-anaknya, pada saat dia masih hidup segar bugar.
Sebab syarat
utama dari masalah warisan adalah bahwa pemilik harta itu, yaitu al-muwarrist,
sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Jadi memang tidak mungkin seseorang
membagi-bagikan sendiri harta warisan miliknya kepada keturunannya.
Bila hal
tersebut dilakukannya, maka sebenarnya yang terjadi adalah hibah (pemberian),
bukan warisan. Dan hibah itu sendiri memang tidak ada aturan mainnya. Dan
siapapun pada hakikatnya boleh menghibahkan harta miliknya kepada siapa saja
dengan nilai berapa saja.
Tapi
konsekuensinya, harta yang sudah dihibahkan itu sudah pindah kepemilikan. Bila
seseorang telah menghibahkan harta kepada anaknya, maka pada hakikatnya dia
sudah bukan lagi pemiliknya, sebab harta itu sudah menjadi milik anaknya
sepenuhnya. Bahkan bila kepemilikan itu ditetapkan dengan surat resmi, si anak
berhak melalukan perubahan surat kepemilikannya.
Misalnya
seorang ayah menghibahkan sebidang tanah berikut rumah kepada anaknya, maka si
anak berhak untuk mengubah surat kepemilikan tanah dan rumah itu begitu dia
menerimanya. Dan konsekuensi lainnya, berhubung si anak telah menjadi pemilik
sepenuhnya tanah dan rumah itu, dia pun berhak untuk menjualnya kepada pihak
lain. Meski si ayah masih hidup.
Sedangkan
bila si ayah masih ingin memiliki sebidang tanah dan rumah itu selama hidupnya,
tapi berpikir untuk memberikannya dengan jumlah yang dikehendakinya kepada
anaknya setelah kematiannya, maka hal itu namanya washiyat.
Dalam hukum
Islam, seorang ahli waris seperti anak tidak boleh menerima washiat berupa
harta dari ayahnya (pewaris), sebab Rasulullah SAw bersabda bahwa tidak ada
washiyat bukan ahli waris. Maka bila hal itu dilakukan juga, hukumnya haram.
Jadi yang
dibenarkan hanya dua kemungkinan, yaitu harta diberikan ketika ayah masih hidup
dan namanya hibah. Atau diberikan setelah dia meninggal dan namanya warisan.
Dan ketika dibagi secara warisan, aturan pembagiannya telah baku sesuai dengan
nash Al-Quran dan As-Sunnah. Maskudnya, si ayah yang dalam hal ini sebagai
pemilik harta, tidak lagi berhak membagi-bagi sendiri harta warisan untuk para
ahli warisnya. Semua harus diserahkan kepada hukum warisan, setelah dia
meninggal dunia.
2. Hidupnya
Ahli Waris
Hidup yang
dimaksud adalah hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
Ini adalah
syarat yang kedua, yaitu orang yang akan menerima warisan haruslah masih hidup
secara hakiki ketika pewaris meninggal dunia.
Seorang anak
yang telah meninggal lebih dulu dari ayahnya, tidak akan mendapatkan warisan.
Meski anak itu telah punya istri dan anak. Istri dan anak itu tidak mendapatkan
warisan dari mertua atau kakek mereka. Sebab suami atau ayah mereka meninggal
lebih dulu dari kakek.
Jalan keluar
dari masalah ini ada tiga kemungkinan. Pertama, dengan washiyah wajibah, yaitu
si kakek berwashiyat semenjak masih hidup agar cucu dan menantunya diberikan
bagian harta. Bukan dengan jalan warisan melainkan dengan cara washiat.
Kedua, bisa
juga dengan cara kesepakatan di antara para ahli waris untuk mengumpulkan harta
dan diberikan kepada saudara ipar atau kemenakan mereka.
Ketiga,
dengan cara hibah, yaitu si kakek sejak masih hidup telah menghibahkan sebagian
hartanya kepada cucunya atau menantunya, sebab dikhawatirkan nanti pada saat
membagi warisan, cucu dan menantunya akan tidak mendapat apa-apa.
Dan jika ada
dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam
satu peristiwa –atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana
yang lebih dahulu meninggal– maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi
harta yang mereka miliki ketika masih hidup.
Hal seperti
ini oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal
dalam suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha
menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.
3. Ahli
Waris Diketahui
Seluruh ahli
waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing, misalnya
suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti
jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab,
dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah
yang diterima.
Misalnya,
kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris.
Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah,
atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang
berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena ‘ashabah,
ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang
tidak terhalang.
Sebab-sebab
Adanya Hak Waris
Ada tiga
sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:
3.1. Kerabat
hakiki
Yaitu
hubungan yang ada ikatan nasab, seperti ayah, ibu, anak, saudara, paman, dan
seterusnya.
Seorang anak
yang tidak pernah tinggal dengan ayahnya seumur hidup tetap berhak atas warisan
dari ayahnya bila sang ayah meninggal dunia.
Demikian
juga dengan kasus dimana seorang kakek yang telah punya anak yang semuanya
sudah berkeluarga semua, lalu menjelang ajal, si kakek menikah lagi dengan
seorang wanita dan mendapatkan anak, maka anak tersebut berhak mendapat warisan
sama besar dengan anak-anak si kakek lainnya.
3.2.
Pernikahan
Yaitu
terjadinya akad nikah secara legal (syar’i) antara seorang laki-laki dan
perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama)
antar keduanya.
Tapi berbeda
dengan urusan mahram, yang berhak mewarisi disini hanyalah suami atau istri
saja, sedangkan mertua, menantu, ipar dan hubungan lain akibat adanya
pernikahan, tidak menjadi penyebab adanya pewarisan, meski mertua dan menantu
tinggal serumah. Maka seorang menantu tidak mendapat warisan apa-apa bila
mertuanya meninggal dunia.
Demikian
juga sebaliknya, kakak ipar yang meninggal dunia tidak memberikan wairsan
kepada adik iparnya, meski mereka tinggap serumah. Adapun pernikahan yang batil
atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris. Misalnya
pernikahan tanpa wali dan saksi, maka pernikahan itu batil dan tidak bisa
saling mewarisi antara suami dan istri.
3.3. Al-Wala
Yaitu
kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-’itqi dan wala an-ni’mah.
Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan
seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan
berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-’itqi.
Orang yang
membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang
sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi
terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang
hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
Namun di
zaman sekarang ini, seiring dengan sudah tidak berlaku lagi sistem perbudakan
di tengah peradaban manusia, sebab yang terakhir ini nyaris tidak lagi terjadi.
hujub hirman
dan hujub nuQShan. Hujub hirman yaitu
penghalang yang menggugurkan seluruh hak waris seseorang.
Misalnya,
terhalangnya hak waris seorang kakek karena adanya ayah, terhalangnya hak waris
cucu karena adanya anak, terhalangnya hak waris saudara seayah karena adanya
saudara kandung, terhalangnya hak waris seorang nenek karena adanya ibu, dan
seterusnya.
Adapun hujub
nuqshan (pengurangan hak) yaitu penghalangan terhadap hak waris seseorang untuk
mendapatkan bagian yang terbanyak. Misalnya, penghalangan terhadap hak waris
ibu yang seharusnya mendapatkan sepertiga menjadi seperenam disebabkan pewaris
mempunyai keturunan (anak).
Demikian
juga seperti penghalangan bagian seorang suami yang seharusnya mendapatkan
setengah menjadi seperempat, sang istri dari seperempat menjadi seperdelapan
karena pewaris mempunyai anak, dan seterusnya.
Satu hal
yang perlu diketahui di sini, dalam dunia faraid apabila kata al-hujub
disebutkan tanpa diikuti kata lainnya, maka yang dimaksud adalah hujub hirman.
Ini merupakan hal mutlak dan tidak akan dipakai dalam pengertian hujub nuQShan.
Ahli Waris
yang Tidak Terkena Hujub Hirman
Ada
sederetan ahli waris yang tidak mungkin terkena hujub hirman. Mereka terdiri
dan enam orang yang akan tetap mendapatkan hak waris. Keenam orang tersebut
adalah :
1. Anak
kandung laki-laki
2. Anak
kandung perempuan
3. Ayah
4. Ibu
5. Suami
6. Istri
Bila orang
yang mati meninggalkan salah satu atau bahkan keenamnya, maka mereka ini pasti
mendapat warisan. Sebab tidak ada penghalang antara mereka dengan almarhum yang
wafat.
Ahli Waris
yang Dapat Terkena Hujub Hirman
Ada 16 orang
yang dapat terkena hujub hirman ada enam belas, sebelas terdiri dari laki-laki
dan lima dari wanita. Mereka ini mungkin mendapat warisan tapi mungkin juga
terhalang sehingga tidak mendapatkan warisan.
Ashhabul
Furudh
Ashabul
furudh adalah para ahli waris yang nilai haknya telah ditetapkan secara
langsung dan mendapatkan harta waris terlebih dahulu, sebelum para ashabah.
Jumlah
bagian yang telah ditentukan Al-Qur’an ada enam macam, yaitu :
§ setengah
(1/2)
§ seperempat
(1/4)
§
seperdelapan (1/8)
§ dua per
tiga (2/3)
§ sepertiga
(1/3)
§ seperenam
(1/6).
Kini mari
kita kenali pembagiannya secara rinci, siapa saja ahli waris yang termasuk
ashhabul furudh dengan bagian yang berhak ia terima.
Ashabah
Kata
‘ashabab dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak bapak. Disebut
demikian, dikarenakan mereka –yakni kerabat bapak– menguatkan dan melindungi.
Dalam
kalimat bahasa Arab banyak digunakan kata ‘ushbah sebagai ungkapan bagi
kelompok yang kuat. Demikian juga di dalam Al-Qur’an, kata ini sering kali
digunakan, di antaranya dalam firman Allah berikut:
قَالُواْ لَئِنْ أَكَلَهُ الذِّئْبُ وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّا إِذًا لَّخَاسِرُونَ
“Mereka
berkata: ‘Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan (yang
kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi.’” (QS.
Yusuf: 14)
Maka jika
dalam faraid kerabat diistilahkan dengan ‘ashabah hal ini disebabkan mereka
melindungi dan menguatkan. Inilah pengertian ‘ashabah dari segi bahasa.
Sedangkan
pengertian ‘ashabah menurut istilah para fuqaha ialah : ahli waris yang tidak
disebutkan banyaknya bagiannya dengan tegas.
Sebagai
contoh, anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara
kandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah, dan paman (saudara kandung
ayah). Kekerabatan mereka sangat kuat dikarenakan berasal dari pihak ayah.
Pengertian
‘ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid ialah orang yang
menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga
menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashhabul furudh menerima dan
mengambil bagian masing-masing.
Dalil yang
menyatakan bahwa para ‘ashabah berhak mendapatkan waris kita dapati di dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur’an yang dimaksud ialah :
وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ
Dan untuk
dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga” (an-Nisa’: 11).
Dalam ayat
ini disebutkan bahwa bagian kedua orang tua (ibu dan bapak) masing-masing
mendapatkan seperenam (1/6) apabila pewaris mempunyai keturunan. Tetapi bila
pewaris tidak mempunyai anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi milik
kedua orang tua.
Ayat
tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris tidak mempunyai anak, maka
ibu mendapat bagian sepertiga (1/3). Namun, ayat tersebut tidak menjelaskan
berapa bagian ayah.
Dari sini
dapat kita pahami bahwa sisa setelah diambil bagian ibu, dua per tiganya (2/3)
menjadi hak ayah. Dengan demikian, penerimaan ayah disebabkan ia sebagai
‘ashabah.
Dalil
Al-Qur’an yang lainnya ialah :
إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَآ إِن لَّمْ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ
Jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,
maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak. (QS. An-Nisa’: 176).
Pada ayat
ini tidak disebutkan bagian saudara kandung. Namun, yang disebutkan justru
saudara kandung akan menguasai (mendapatkan bagian) seluruh harta peninggalan
yang ada bila ternyata pewaris tidak mempunyai keturunan.
Kemudian,
makna kalimat “wahuwa yaritsuha” memberi isyarat bahwa seluruh harta
peninggalan menjadi haknya. Inilah makna ‘ashabah.
Sedangkan
dalil dari As-Sunnah adalah apa yang disabdakan Rasulullah saw.:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ t قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r أَلْحِقُوا الفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَلأَِوْلَى رَجُلٍ ذَكَر.
“Bagikanlah
harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi
hak laki-laki yang paling utama. ” (HR Bukhari)
Hadits ini
menunjukkan perintah Rasulullah saw. agar memberikan hak waris kepada ahlinya.
Maka jika masih tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang paling
utama dari ‘ashabah.
Ada satu
keistimewaan dalam hadits ini menyangkut kata yang digunakan Rasulullah dengan menyebut
“dzakar” setelah kata “rajul”, sedangkan kata “rajul” jelas menunjukkan makna
seorang laki-laki.
Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari salah paham, jangan sampai menafsirkan kata ini
hanya untuk orang dewasa dan cukup umur. Sebab, bayi laki-laki pun berhak
mendapatkan warisan sebagai ‘ashabah dan menguasai seluruh harta warisan yang
ada jika dia sendirian. Inilah rahasia makna sabda Rasulullah saw. dalam hal
penggunaan kata “dzakar”.
Macam-macam
‘Ashabah
‘Ashabah
terbagi dua yaitu: ‘ashabah nasabiyah (karena nasab) dan ‘ashabah sababiyah
(karena sebab). Jenis ‘ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan budak.
Oleh sebab itu, seorang tuan (pemilik budak) dapat menjadi ahli waris bekas
budak yang dimerdekakannya apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan.
Sedangkan
‘ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu:
§ ‘ashabah
bin nafs (nasabnya tidak tercampur unsur wanita),
§ ‘ashabah
bil ghair (menjadi ‘ashabah karena yang lain)
§ ‘ashabah
ma’al ghair (menjadi ‘ashabah bersama-sama dengan yang lain).
3.1.
‘Ashabah bin nafs
‘Ashabah bin
nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri kaum
wanita, mempunyai empat arah, yaitu:
1. Arah
anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai cucu, cicit,
dan seterusnya.
2. Arah
bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya dari pihak
laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.
3. Arah
saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki
seayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki
keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah ini hanya terbatas
pada saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk keturunan mereka,
namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk
‘ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.
4. Arah
paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun yang seayah,
termasuk keturunan mereka, dan seterusnya.
Keempat arah
‘ashabah bin nafs tersebut kekuatannya sesuai urutan di atas. Arah anak lebih
didahulukan (lebih kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat daripada
arah saudara.
3.3.Hukum
‘Ashabah bin nafs
Telah saya
jelaskan bahwa ‘ashabah bi nafsihi mempunyai empat arah, dan derajat kekuatan
hak warisnya sesuai urutannya. Bila salah satunya secara tunggal (sendirian)
menjadi ahli waris seorang yang meninggal dunia, maka ia berhak mengambil
seluruh warisan yang ada. Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari
ashhabul furudh, maka sebagai ‘ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan
kepada ashhabul furudh. Dan bila setelah dibagikan kepada ashhabul furudh
ternyata tidak ada sisanya, maka para ‘ashabah pun tidak mendapat bagian.
Sebagai misal, seorang istri wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung
perempuan, saudara laki-laki seayah.
Sang suami
mendapat bagian setengah (1/2), saudara perempuan mendapat bagian setengah
(1/2). Saudara seayah tidak mendapat bagian disebabkan ashhabul furudh telah
menghabiskannya.
Catatan
Dalam dunia
faraid, apabila lafazh ‘ashabah disebutkan tanpa diikuti kata lainnya (tanpa
dibarengi bil ghair atau ma’al ghair), maka yang dimaksud adalah ‘ashabah bin
nafs.
Ahli Waris
Kita urutkan
pada nomor satu dalam daftar struktur keluarga adalah anak laki-laki. Mengingat
kedudukan anak laki-laki sangat berpengaruh kepada nasib ahli waris yang lain.
Untuk seterusnya agar memudahkan, kita tinggal menggunakan nomor urut satu
sebagai id buat anak laki-laki.
þ Asabah (sisa harta) bila ada
ahli waris lain yang telah mengambil bagian masing-masing, dengan ketentuan
anak laki-laki mendapat 2 kali bagian anak perempuan.
|
Seorang anak
laki-laki mendapat warisan dengan cara ashabah, yaitu sisa harta yang
sebelumnya diambil oleh ahli waris lain. Karena mendapat sisa, maka besarannya
tidak pasti, tergantung seberapa besar sisa yang ada.
Contoh yang
sederhana adalah seorang laki-laki wafat meninggalkan ahli waris : anak
laki-laki dan istri. Maka hak anak laki-laki adalah sisa harta yang telah
diambil terlebih dahulu oleh istri. Istri adalah ashabul furudh yang jatahnya
sudah ditetapkan.
Dalam hal
ini istri mendapat 1/8. Berarti sisanya adalah 7/8 bagian. Maka bagian yang
didapat oleh anak laki-laki adalah 7/8.
Apabila
almarhum juga meninggalkan anak perempuan, maka anak perempuan juga mendapat
sisa seperti anak laki-laki, dimana jumlah sisa itu dibagi rata kepada anak
perempuan, dengan ketentuan bahwa anak perempuan hanya mendapat setengah dari
apa yang didapat anak laki-laki. Atau dengan kata lain, yang diterima anak
laki-laki 2 kali lipat lebih besar dari anak perempuan.
Contoh, anak
laki-laki ada 2 orang dan anak perempuan ada 3 orang. Pembagiannya adalah tiap
anak laki-laki mendapat 2/8 bagian dari sisa itu dan tiap anak perempuan
mendapat 1/8. Sehingga jumlahnya menjadi 2/8 + 2/8 + 1/8 + 1/8 + 1/8 = 7/8.
Ahli Waris
|
§ id
|
§ saudara seayah-ibu
§ saudari seayah-ibu
§ saudara seayah
§ saudari seayah
§ keponakan : anak saudara
seayah-ibu
§ keponakan : anak saudara
seayah
§ paman : saudara ayah
seayah-ibu
§ paman : saudara ayah seayah
§ sepupu : anak laki paman
seayah-ibu
§ sepupu : anak laki paman
seayah
§ cucu : anak laki dari anak
laki
§ cucu : anak wanita dari anak
laki
§ saudara & saudari seibu
|
§ 9
§ 10
§ 11
§ 12
§ 13
§ 14
§ 15
§ 16
§ 17
§ 18
§ 19
§ 20
§ 22
|
Sebagaimana
sudah dijelaskan sebelumnya bahwa anak laki-laki tidak dihijab oleh siapa pun.
Karena posisinya yang langsung berhubungan dengan muwarrits.
Anak
perempuan yang dimaksud adalah anak perempuan dari muwarrits yang telah
meninggal dunia. Kita letakkan pada nomor urut dua, karena posisinya yang sangat
dekat dengan muwarrits, serta bersisian dengan anak lak-laki yang berada pada
nomor urut satu.
þ 1/2 =
menjadi satu-satunya anak almarhum
þ 2/3 = dua
orang atau lebih dan almarhum tidak punya anak laki-laki
þ ashabah =
almarhum punya anak laki-laki dengan ketentuan bagiannya 1/2 dari bagian anak
laki-laki
|
Anak
perempuan bisa punya tiga kemungkinan dalam menerima waris dari orang tuanya.
Pertama, dia mendapat 1/2 atau separuh dari semua harta warisan. Syaratnya, dia
menjadi anak tunggal dari muwarritsnya. Artinya, dia tidak punya saudara satu
pun baik saudara laki-laki atau pun saudara perempuan.
وَإِن
كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
Dan apabila
ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia mendapat separuh harta warisan yang
ada..(QS. An-Nisa : 11)
Kedua, dia mendapat 2/3 dari semua harta. Syaratnya, dia tidak sendirian. Dia
punya saudara perempuan sehingga minimal mereka berdua. Dan mereka semua akan
mendapat jatah total (bukan masing-masing) 2/3 bagian, selama semuanya
perempuan dan tidak ada saudara laki-laki satu pun.
فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ
Dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang
ditinggalkan …” (QS. An-Nisa’: 11)
Ketiga, kalau dia punya saudara laki-laki, dia bersama anak laki-laki akan
mendapat ashabah atau sisa. Harta sisa itu dibagi rata dengan semua saudara
atau saudarinya dengan ketentuan dia mendapat 1/2 dari jatah yang diterima
saudara laki-lakinya.
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي
أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ
Allah mensyariatkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak
lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. (QS. An-Nisa : 11)
o cucu : anak wanita dari anak
laki
o saudara & saudari seibu
|
20
22
|
Ada 2 orang
yang dihijab oleh anak perempuan. Pertama, saudara atau saudari seibu tidak
seayah. Kedua, cucu perempu-an almarhum, dengan syarat jumlah anak perempuan
itu dua orang atau lebih dan tidak ada cucu laki-laki yang menjadikan cucu
perempuan sebagai ashabah bersamanya.
Seorang anak
perempuan tidak pernah dihijab oleh siapa pun, karena tidak ada penghalang
antara dirinya dengan muwarritsnya, yaitu ayah kandungnya sendiri.
Seorang
wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, maka dia menjadi ahli waris, berhak
menerima sebagian harta yang sebelumnya milik suaminya.
Sedangkan
harta yang dimiliki bersama antara suami istri, tidak dibagi waris begitu saja,
namun dipisahkan terlebih dahulu. Yang menjadi bagian istri, tentu tidak dibagi
waris. Yang dibagi waris hanya yang menjadi bagian suami.
Seorang
istri punya dua kemungkinan dalam menerima bagian, yaitu 1/4 atau 1/8
sebagaimana disebutkan di dalam ayat 11 surat A-Nisa’.
Pertama,
bila suami yang meninggal itu tidak punya fara’ waris[1],
maka hak istri adalah 1/4 bagian dari harta peninggalan almarhum suaminya.
وَلَهُنَّ
الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ
“Dan mereka mendapat 1/4 dari
apa yang kamu tinggalkan bila kamu tidak mempunyai anak (QS. An-Nisa’: 12)
Kedua, kalau
suami punya fara’ waris, artinya dia punya keturunan yang mendapatkan
warisan, maka bagian istri adalah adalah 1/8 dari harta peninggalan suami.
فَإِن كَانَ
لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا
تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“… Jika kamu mempunyai anak,
maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu …” (QS.
An-Nisa’: 12)
Kedudukan
seorang istri tidak menghijab siapa pun dari ahli waris suami. Keberadaannya
hanya sekedar mengurangi harta saja, tetapi tidak membuat seseorang menjadi
kehilangan haknya.
Karena
hubungan langsung antara istri dan suami, maka tidak ada seorang pun yang bisa
menjadi penghalang antara mereka. Dengan demikian, istri tidak dihijab oleh
siapa pun.
Seorang
laki-laki yang ditinggal mati oleh istrinya, maka dia menjadi ahli waris,
berhak menerima sebagian harta yang sebelumnya milik istrinya.
Sedangkan
harta yang dimiliki bersama antara suami istri, tidak dibagi waris begitu saja,
namun dipisahkan terlebih dahulu. Yang menjadi bagian suami, tentu tidak dibagi
waris. Yang dibagi waris hanya yang menjadi bagian istri.
Seorang
suami punya dua kemungkinan bagian, yaitu 1/2 atau 1/4 sebagaimana disebutkan
di dalam ayat 11 surat A-Nisa’.
Pertama, bila istri yang meninggal itu tidak punya fara’ waris, maka hak suami 1/2
bagian dari harta peninggalan almarhumah istrinya.
وَلَكُمْ
نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن
لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ
“… dan bagi kalian (para
suami) mendapat separuh dari harta yang ditinggalkan istri-istri kalian, bila
mereka (para istri) tidak mempunyai anak …” (QS. An-Nisa’: 12)
Kedua, kalau
istri punya fara’ waris, artinya dia punya keturunan yang mendapatkan warisan,
maka bagian suami adalah adalah 1/4 dari harta peninggalan istri.
فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ
“… Jika istri-istrimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
(QS. An-Nisa’: 12)
Kedudukan
seorang suami tidak menghijab siapa pun dari ahli waris istri. Keberadaannya
hanya sekedar mengurangi harta saja, tetapi tidak membuat seseorang menjadi
kehilangan haknya.
Karena
hubungan langsung antara istri dan suami, maka tidak ada seorang pun yang bisa
menjadi penghalang antara mereka. Dengan demikian, suami tidak dihijab oleh
siapa pun.
Seorang ayah
yang ditinggal mati oleh anaknya, baik anak itu laki-laki atau perempuan,
termasuk orang yang berhak mendapatkan warisan. Tentu saja syaratnya adalah
ayah masih hidup saat sang anak meninggal dunia. Kalau ayah sudah meninggal
dunia terlebih dahulu, tidak menjadi ahli waris.
Seorang ayah
punya tiga macam kemungkinan dalam menerima hak warisnya.
þ 1/6 =
almarhum punya fara’ waris laki-laki
þ 1/6 + sisa
= almarhum punya fara’ waris wanita, tidak punya fara’ waris laki-laki
þ Ashabah =
almarhum tidak punya fara’ waris
|
Pertama, dia menerima 1/6 bagian dari harta anaknya yang meninggal. Syaratnya,
almarhum anaknya itu punya fara’ waris laki-laki. Misalnya anak
laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.
وَلأَبَوَيْهِ
لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا
تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ
Dan untuk dua orang ibu bapak,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak …” (QS. An-Nisa’: 11)
Kedua, dia menerima 1/6 dan ditambah lagi dengan sisa harta yang ada. Hal itu
terjadi manakala almarhum yaitu anaknya yang meninggal itu punya fara’ waris
perempuan[2]
dan tidak punya fara’ waris laki-laki.
Bahwa
sisanya itu menjadi hak ayah, karena dalam hal ini ayah menjadi ahli waris
laki-laki yang lebih utama atau lebih dekat kedudukannya kepada almarhum
dibandingkan dengan ahli waris lainnya. Rasulullah SAW bersabda :
عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ t قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r أَلْحِقُوا الفَرَائِضَ
بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَلأَِوْلَى رَجُلٍ ذَكَر.
“Bagikanlah harta peninggalan
(warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang
paling utama. ” (HR Bukhari)
Contohnya, seseorang
wafat meninggalkan anak perempuan dan seorang ayah. Anak perempuan mendapat 1/2
bagian, sedangkan ayah mendapatkan 1/6 sebagaimana disebut dalam dalil berikut
:
وَلأَبَوَيْهِ
لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ
وَلَدٌ
Dan untuk dua orang ibu bapak,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak …” (QS. An-Nisa’: 11)
Harta yang
telah diambil ayah dan anak perempuan itu tentu masih bersisa. Siapakah yang
berhak atas harta ini?
Jawabnya
adalah ayah.
Mengapa?
Karena ayah
dalam hal ini menjadi ahli waris yang merupakan ashabah juga. Meski pun pada
dasarnya ada lagi ahli waris lain yang juga berhak menjadi ashabah, namun ayah
telah menghijab mereka dan mengambil hak asabah itu untuk dirinya, dengan dasar
dalil di atas.
Ketiga, ayah mendapat seluruh harta dengan cara ashabah, setelah ashabul furudh
mengambil bagiannya. Syaratnya, almarhum tidak punya fara’ waris, baik
laki-laki atau pun perempuan.
فَإِن لَّمْ
يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ
فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ
Bila dia tidak punya anak,
maka ayah ibunya mewarisi hartanya dimana bagian ibu adalah sepertiga.” (QS.
An-Nisa’: 11)
Di ayat ini
tidak tertera kalimat yang secara langsung menyebutkan bahwa ayah mendapat sisanya.
Hanya disebutkan bahwa ayah dan ibu itu menerima warisan dari anak mereka
bersama-sama. Dan yang menjadi bagian buat ibu adalah 1/3. Logikanya, kalau
bagian ibu sudah disebutkan maka bagian ayah pasti diketahui, yaitu sisanya.
Contohnya,
seseorang wafat meninggalkan hanya seorang istri dan seorang ayah. Maka istri
adalah ahli waris dari kalangan ashabul furud, jatahnya adalah 1/4 bagian,
karena almarhum tidak punya fara’ waris. Sisanya yang 3/4 bagian menjadi hak
ayah sebagai ashabah bi nafsihi.
Ayah
termasuk orang yang cukup banyak menghijab ahli waris yang lain, selain anak
laki-laki. Ada 12 ahli waris yang dihijab dan tidak mendapatkan harta warisan,
karena keberadaan ayah dari almarhum.
Mereka yang
terhijab oleh ayah adalah :
o kakek : ayahnya ayah (menurut
pendapat yg kuat)
o Nenek : ibunya ayah
o saudara seayah-ibu
o saudari seayah-ibu
o saudara seayah
o saudari seayah
o keponakan : anak saudara
seayah-ibu
o keponakan : anak saudara
seayah
o paman : saudara ayah
seayah-ibu
o paman : saudara ayah seayah
o sepupu : anak laki paman
seayah-ibu
o sepupu : anak laki paman
seayah
|
o 7
o 8
o 9
o 10
o 11
o 12
o 13
o 14
o 15
o 16
o 17
o 18
|
Seorang ayah
tidak terhijab oleh siapa pun dari para ahli waris yang lain. Karena hubungan
ayah dengan anaknya yang menjadi muwarrits adalah hubungan langsung.
Ibu adalah
orang yang juga dekat dengan anaknya yang meninggal dunia. Bila saat
meninggalnya, ibu masih ada, sudah dipastikan ibu mendapat warisan.
Seorang ibu
punya tiga macam kemungkinan dalam menerima hak warisnya.
þ 1/6 = almarhum punya fara’
waris
þ 1/3 = almarhum tidak punya
fara’ waris
þ 1/3 dari sisa = bila
almarhum punya fara’ waris (hanya dalam kasus umariyatain)
|
Pertama, ibu mendapat 1/6 dari harta almarhum anaknya yang wafat, bila anaknya itu
punya fara’ waris.
وَلأَبَوَيْهِ
لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ
لَهُ وَلَدٌ
Dan untuk dua orang ibu bapak,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak …” (QS. An-Nisa’: 11)
Kedua, seorang ibu mendapat 1/3 dari harta peninggalan almarhum anaknya, bila
anaknya tidak punya fara’ waris.
فَإِن لَّمْ
يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ
فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ
Bila dia tidak punya anak,
maka ayah ibunya mewarisi hartanya dimana bagian ibu adalah sepertiga.” (QS.
An-Nisa’: 11)
Ketiga, ibu mendapatkan 1/3 dari sisa harta yang sudah diambil oleh para ashabul
furudh, namun haknya yang 1/3 tidak berlaku.
Pembagian
ini hanya terjadi bila seseorang wafat dengan meninggalkan hanya 3 orang ahli
waris, yaitu suami/istri, ayah dan ibu. Kasus ini terjadi di zaman khalifah
Umar bin al-Khattab dan dikenal dengan istilah kasus Umariyatain.[3]
Seorang ibu
menghijab 2 orang ahli waris lainnya, yaitu nenek dari pihak ibu dan nenek dari
pihak ayah. Atau dengan kata lain, dia menghijab ibunya sendiri (21) dan ibu
dari suaminya (8).
Seorang
wanita yang ditinggal mati oleh anaknya, maka posisinya tidak akan terhijab
oleh siapa pun. Karena mereka punya hubungan langsung tanpa diselingi oleh
orang lain.
Yang
dimaksud dengan kakek disini adalah ayahnya ayah. Seorang kakek yang ditinggal
mati oleh cucunya, baik cucu itu laki-laki atau perempuan, termasuk orang yang
berhak mendapatkan warisan.
Syaratnya
adalah ayah anak itu sudah meninggal dunia saat si cucu meninggal dunia. Kalau
ayah anak itu masih hidup, maka kakek (ayahnya ayah) terhijab, sehingga kita
tidak bicara tentang warisan buat kakek.
Semua
hitungan untuk warisan buat kakek, selalu dalam kondisi bahwa ayah almarhum
sudah meninggal terlebih dahulu.
Seorang
kakek punya tiga macam kemungkinan dalam menerima hak warisnya.
þ 1/6 =
almarhum punya fara’ waris laki-laki
þ 1/6 + sisa
= almarhum punya fara’ waris wanita, tidak punya fara’ waris laki-laki
þ Ashabah =
almarhum tidak punya fara’ waris
|
Pertama, dia menerima 1/6 bagian dari harta anaknya yang meninggal. Syaratnya,
almarhum cucunyanya itu punya fara’ waris laki-laki. Misalnya anak
laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.
وَلأَبَوَيْهِ
لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا
تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ
Dan untuk dua orang ibu bapak,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak …” (QS. An-Nisa’: 11)
Kedua, dia menerima 1/6 dan ditambah lagi dengan sisa harta yang ada. Hal itu
terjadi manakala almarhum yaitu cucunya yang meninggal itu punya fara’ waris
perempuan[4]
dan tidak punya fara’ waris laki-laki.
Bahwa
sisanya itu menjadi hak kakek, karena dalam hal ini kakek sebagai gantinya ayah
menjadi ahli waris laki-laki yang lebih utama atau lebih dekat kedudukannya
kepada almarhum dibandingkan dengan ahli waris lainnya. Rasulullah SAW bersabda
:
عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ t قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r أَلْحِقُوا الفَرَائِضَ
بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَلأَِوْلَى رَجُلٍ ذَكَر.
“Bagikanlah harta peninggalan
(warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang
paling utama. ” (HR Bukhari)
Contohnya,
seseorang wafat meninggalkan anak perempuan dan seorang kakek, yaitu ayahnya
ayah. Anak perempuan mendapat 1/2 bagian, sedangkan ayahnya ayah mendapatkan
1/6 sebagaimana disebut dalam dalil berikut :
وَلأَبَوَيْهِ
لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ
لَهُ وَلَدٌ
Dan untuk dua orang ibu bapak,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak …” (QS. An-Nisa’: 11)
Ketiga, kakek sebagai ayahnya ayah mendapat seluruh harta dengan cara ashabah,
setelah ashabul furudh mengambil bagiannya. Syaratnya, almarhum tidak punya fara’
waris, baik laki-laki atau pun perempuan.
فَإِن لَّمْ
يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ
فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ
Bila dia tidak punya anak,
maka ayah ibunya mewarisi hartanya dimana bagian ibu adalah sepertiga.” (QS.
An-Nisa’: 11)
Contohnya,
seseorang wafat meninggalkan hanya seorang istri dan seorang kakek (ayahnya
ayah). Maka istri adalah ahli waris dari kalangan ashabul furud, jatahnya adalah
1/4 bagian, karena almarhum tidak punya fara’ waris. Sisanya yang 3/4 bagian
menjadi hak kakek sebagai ganti dari ayah yang sudah meninggal terlebih dahulu.
Kakek
(ayahnya ayah) termasuk orang yang cukup banyak menghijab ahli waris yang lain,
selain anak laki-laki. Ada 10 ahli waris yang dihijab dan tidak mendapatkan
harta warisan, karena keberadaan ayah dari almarhum.
Mereka yang
terhijab oleh ayah adalah :
o saudara seayah-ibu
o saudari seayah-ibu
o saudara seayah
o saudari seayah
o keponakan : anak saudara
seayah-ibu
o keponakan : anak saudara
seayah
o paman : saudara ayah
seayah-ibu
o paman : saudara ayah seayah
o sepupu : anak laki paman
seayah-ibu
o sepupu : anak laki paman
seayah
o saudara/i yang hanya seibu
(rajih)
|
o 9
o 10
o 11
o 12
o 13
o 14
o 15
o 16
o 17
o 18
o 22
|
Seorang
kakek tidak terhijab oleh siapa pun dari para ahli waris yang lain, kecuali
oleh ayah, yang dalam hal ini tidak lain adalah anaknya sendiri.
Yang
dimaksud dengan nenek disini adalah ibu dari ayahnya almarhum. Adapun ibu dari
ibunya almarhum akan kami jelaskan pada point selanjutnya, yakni point ke-21.
Dalam hal
ini nenek atau ibunya ayah hanya punya satu kemungkinan dalam mendapat bagian
warisnya, yaitu 1/6. Syaratnya, almarhum tidak punya ibu dan ayah.
Contoh,
seseorang wafat meninggalkan istri, anak laki-laki, dan nenek (ibunya ayah).
Maka, istri mendapat 1/8 karena ada fara’ waris, nenek mendapat 1/6
bagian, dan anak laki-laki mendapat seluruh sisanya sebagai ashabah.
Akan tetapi,
jika almarhum juga meninggalkan seorang ayah, maka pembagiannya menjadi: istri
mendapat 1/8, ayah mendapat 1/6, dan anak laki-laki mendapat seluruh sisa
harta. Sedangkan nenek atau ibunya ayah tidak mendapat apapun karena terhijab
oleh ayah.
Nenek tidak
menghijab siapa pun
Nenek
dihijab oleh 2 orang yaitu ayah.
Saudara
disini bisa saja lebih tua (kakak) atau bisa saja lebih muda (adik). Yang
penting, hubungan antara dirinya dengan almarhum adalah bahwa mereka punya ayah
dan ibu yang sama. Kita menghindari penggunaan istilah saudara sekandung,
karena konotasinya bisa keliru. Lebih pastinya kita gunakan istilah saudara
seayah dan seibu.
Saudara
seayah seibu mendapat waris dari almarhum dengan cara ashabah, yaitu sisa harta
waris yang sebelumnya dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris secara fardh.
Dengan syarat, kedudukannya tidak terhijab oleh orang-orang yang menghijabnya.
Dalam hal ini almarhum tidak meninggalkan anak, cucu, ayah atau kakek. Saat
itulah saudara seayah seibu baru mendapat jatah warisan.
Contoh,
seseorang wafat meninggalkan ahli waris hanya : istri dan saudara laki-laki
seayah seibu. Maka pembagiannya warisannya adalah istri mendapat 1/4 dan
saudara mendapatkan sisanya, yaitu 3/4 bagian.
Apabila
saudara laki-laki juga punya saudara perempuan yang sama-sama seayah dan seibu,
maka bagian yang diterimanya harus 2 kali lipat lebih besar.
Contoh,
seseorang wafat meninggalkan istri, saudara laki-laki dan saudara wanita. Maka
pembagian warisannya adalah istri mendapat 1/4, sisanya yang 3/4 itu dibagi dua
dengan saudarinya, saudara mendapatkan 2/4 dan saudarinya mendapat 1/4.
o saudara seayah
o saudari seayah
o keponakan : anak saudara
seayah-ibu
o keponakan : anak saudara
seayah
o paman : saudara ayah
seayah-ibu
o paman : saudara ayah seayah
o sepupu : anak laki paman
seayah-ibu
o sepupu : anak laki paman
seayah
|
o 11
o 12
o 13
o 14
o 15
o 16
o 17
o 18
|
o Anak laki-laki
o Ayah
o Ayahnya ayah (kakek)
o Cucu laki-laki
|
o 1
o 5
o 7
o 19
|
Saudari
seayah dan seibu juga termasuk yang mendapat warisan, asalkan posisinya tidak
terhijab.
þ 1/2 = almarhum tidak
punya fara’ waris (1-2-19-20) tidak punya ashlul waris laki-laki
(5-7) tidak punya saudara laki-laki seayah seibu (9) tidak punya
saudari seayah seibu (10)
þ 2/3 = almarhum tidak
punya fara’ waris (1-2-19-20) tidak punya ashlul waris laki-laki
(5-7) tidak punya saudara laki-laki seayah seibu (9) punya
saudari seayah seibu (10)
þ Ashabah = almarhum tidak
punya fara’ waris (1-2-19-20) tidak punya ashlul waris laki-laki
(5-7) punya saudara laki-laki seayah seibu (9)
|
Saudari
seayah seibu dengan almarhum bisa mendapatkan warisan dengan tiga kemungkinan.
Pertama, dia mendapat 1/2 bagian dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh :
seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah, kakek, dan saudara
laki-laki. Yang dia punya hanya seorang saudari perempuan seayah seibu. Maka
saudarinya itu mendapat 1/2 dari semua harta warisan almarhum.
Kedua, dia mendapat 2/3 bagian dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh :
seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah, kakek, dan saudara
laki-laki. Yang dia punya hanya 2 orang saudari perempuan seayah seibu. Maka
kedua saudaranya itu total mendapat 2/3 dari semua harta warisan almarhum
saudaranya. 2/3 bagian itu kemudian dibagi 2 lagi secara sama besar.
Ketiga, dia mendapat waris secara ashabah dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh :
seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah atau kakek. Yang dia
punya seorang saudara laki-laki seayah seibu. Maka mereka berdua mendapat
warisan secara ashabah, dengan perbandingan bahwa saudara laki-lakinya itu
mendapat 2/3 bagian dan dirinya mendapat 1/3 bagian.
Saudara
disini bisa saja lebih tua (kakak) atau bisa saja lebih muda (adik). Yang
penting, hubungan saudara ini dengan almarhum bahwa mereka punya ayah yang sama
tapi ibu mereka berbeda. Atau dalam bahasa lebih sederhana, hubungan antara
almarhum dengan dirinya adalah saudara tiri.
Saudara
seayah mendapat waris dari almarhum dengan cara ashabah, yaitu sisa harta waris
yang sebelumnya dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris secara fardh.
Dengan
syarat, kedudukannya tidak terhijab oleh orang-orang yang menghijabnya.
Artinya, almarhum tidak meninggalkan anak, cucu, ayah atau kakek, termasuk
almarhum tidak punya saudara/i yang seayah dan seibu. Saat itulah saudara
seayah baru kebagian jatah warisan.
Contoh,
seseorang wafat meninggalkan ahli waris hanya : istri dan saudara laki-laki
seayah. Maka pembagiannya warisannya adalah istri mendapat 1/4 dan saudara
seayah mendapat sisanya, yaitu 3/4 bagian.
Apabila
saudara laki-laki seayah itu juga punya saudara perempuan yang juga seayah,
maka bagian yang diterimanya harus 2 kali lipat lebih besar dari saudari
perempuannya itu.
Contoh,
seseorang wafat meninggalkan istri, saudara laki-laki dan saudara wanita
seayah. Maka pembagian warisannya adalah istri mendapat 1/4, sisanya yang 3/4
itu dibagi dua dengan saudarinya, saudara laki-laki mendapatkan 2/4 dan saudari
perempuannya mendapat 1/4.
o keponakan : anak saudara
seayah-ibu
o keponakan : anak saudara
seayah
o paman : saudara ayah
seayah-ibu
o paman : saudara ayah seayah
o sepupu : anak laki paman
seayah-ibu
o sepupu : anak laki paman
seayah
|
o 13
o 14
o 15
o 16
o 17
o 18
|
o Anak laki-laki
o Ayah
o Ayahnya ayah (kakek)
o Saudara laki-laki seayah
seibu
o Saudara perempuan seayah
seibu *
o Cucu laki-laki
|
o 1
o 5
o 7
o 9
o 10
o 19
|
Yang
dimaksud dengan saudari perempuan seayah bahwa dirinya punya ayah yang sama
dengan almarhum, tapi ibu mereka berbeda. Dengan mudah juga bisa kita sebut
saudari perempuan tiri. Saudari tiri juga termasuk yang mendapat warisan,
asalkan posisinya tidak terhijab.
þ 1/2 = almarhum tidak
punya fara’ waris (1-2-19-20) tidak punya ashlul waris laki-laki
(5-7) tidak punya saudara laki-laki seayah seibu (9) tidak punya
saudari seayah seibu (10)
þ 2/3 = almarhum tidak
punya fara’ waris (1-2-19-20) tidak punya ashlul waris laki-laki
(5-7) tidak punya saudara laki-laki seayah seibu (9) punya
saudari seayah seibu (10)
þ Ashabah = almarhum tidak
punya fara’ waris (1-2-19-20) tidak punya ashlul waris laki-laki
(5-7) punya saudara laki-laki seayah seibu (9)
|
Saudari
seayah seibu dengan almarhum bisa mendapatkan warisan dengan tiga kemungkinan.
Pertama, dia mendapat 1/2 bagian dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh :
seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah atau kakek, saudara
laki-laki. Yang dia punya hanya seorang saudari perempuan seayah seibu. Maka
dia mendapat 1/2 dari semua harta warisan almarhum saudaranya.
Kedua, dia mendapat 2/3 bagian dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh :
seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah atau kakek, saudara
laki-laki. Yang dia punya hanya 2 orang saudari perempuan seayah seibu. Maka
kedua saudaranya itu total mendapat 2/3 dari semua harta warisan almarhum
saudaranya. 2/3 bagian itu kemudian dibagi 2 lagi secara sama besar.
Ketiga, dia mendapat waris secara ashabah dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh :
seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah atau kakek. Yang dia
punya seorang saudara laki-laki seayah seibu. Maka mereka berdua mendapat
warisan secara ashabah, dengan perbandingan bahwa saudara laki-lakinya itu
mendapat 2/3 bagian dan dirinya mendapat 1/3 bagian.
Keponakan
dalam sub-bab ini bermakna anak dari saudara seayah-seibu, adapun anak dari
saudara seayah (beda ibu) akan dijelaskan di sub-bab selanjutnya. Dalam hal
ini, ketika seseorang ditinggal wafat oleh pamannya, maka sebagai keponakan
almarhum ia berhak mendapatkan warisan dengan syarat-syarat tertentu. Perlu
dicatat bahwa pamannya yg wafat tadi merupakan saudara ayahnya yang
seayah-seibu.
þ Ashabah (sisa harta) bila
ada ahli waris lain yang telah mengambil bagian masing-masing, dengan syarat
tidak ada ahli ashabah lain yang lebih berhak dari dirinya.
|
Anak dari
saudara seayah-seibu mendapat waris dari almarhum dengan cara ashabah, yaitu
sisa harta waris yang sebelumnya dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris
secara fardh. Dengan syarat, kedudukannya tidak terhijab oleh orang-orang yang
dapat menghijabnya. Yakni, apabila almarhum tidak meninggalkan anak/cucu
laki-laki, ayah atau kakek, saudara seayah-seibu, saudara seayah, dan saudari
seayah-seibu atau saudari seayah yang mendapat bagian dengan cara ashabah. Saat
itulah anak dari saudara seayah-seibu baru mendapat jatah warisan.
Contoh,
seseorang wafat meninggalkan ahli waris: istri dan anak dari saudara seayah
seibu. Maka pembagiannya warisannya adalah istri mendapat 1/4 dan anak dari
saudara seayah-seibu (keponakan) mendapatkan sisanya, yaitu 3/4.
Namun,
apabila almarhum juga memiliki anak laki-laki, maka istri mendapat 1/8 karena
adanya fara’ waris, lalu anak laki-laki mendapatkan seluruh sisanya, yaitu 7/8.
sedangkan anak dari saudara seayah-ibu (keponakan) tidak mendapat apapun karena
terhijab oleh anak laki-laki.
o keponakan : anak saudara
seayah
o paman : saudara ayah
seayah-ibu
o paman : saudara ayah seayah
o sepupu : anak laki paman
seayah-ibu
o sepupu : anak laki paman
seayah
|
o 14
o 15
o 16
o 17
o 18
|
o Anak laki-laki
o Ayah
o Ayahnya ayah (kakek)
o Cucu laki-laki
o Saudara seayah-seibu
o Saudara seayah
o Saudari seayah-seibu (yang
mendapat bagian dengan cara ashabah)
o Saudari seayah (yang
mendapat bagian dengan cara ashabah)
|
o 1
o 5
o 7
o 19
o 9
o 11
o 10
12
|
Keponakan
dalam sub-bab ini bermakna anak dari saudara seayah (tidak seibu). Ketika
seseorang ditinggal wafat oleh pamannya, maka sebagai keponakan almarhum ia
berhak mendapatkan warisan dengan syarat-syarat tertentu. Perlu dicatat bahwa
pamannya yg wafat tadi merupakan saudara ayahnya yang seayah (beda ibu).
þ Ashabah (sisa harta) bila
ada ahli waris lain yang telah mengambil bagian masing-masing, dengan syarat
tidak ada ahli ashabah lain yang lebih berhak dari dirinya.
|
Anak dari
saudara seayah mendapat waris dari almarhum dengan cara ashabah, yaitu sisa
harta waris yang sebelumnya dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris secara
fardh. Dengan syarat, kedudukannya tidak terhijab oleh orang-orang yang dapat
menghijabnya. Yakni, apabila almarhum tidak meninggalkan anak/cucu laki-laki,
ayah, kakek, saudara seayah-seibu, saudara seayah, anak dari saudara
seayah-seibu, dan saudari seayah-seibu atau saudari seayah yang mendapat bagian
dengan cara ashabah. Saat itulah anak dari saudara seayah baru mendapat jatah
warisan.
Contoh,
seseorang wafat meninggalkan ahli waris: suami dan anak dari saudara seayah.
Maka pembagiannya warisannya adalah istri mendapat ½ dan anak dari saudara
seayah (keponakan) mendapatkan sisanya, yaitu ½.
Namun,
apabila almarhumah juga memiliki anak laki-laki, maka suami almarhumah mendapat
¼ karena adanya fara’ waris, lalu anak laki-laki mendapatkan seluruh sisanya,
yaitu ¾ . Sedangkan anak dari saudara seayah (keponakan) tidak mendapat apapun
karena terhijab oleh anak laki-laki.
o paman : saudara ayah
seayah-ibu
o paman : saudara ayah seayah
o sepupu : anak laki paman
seayah-ibu
o sepupu : anak laki paman
seayah
|
o 15
o 16
o 17
o 18
|
o Anak laki-laki
o Ayah
o Ayahnya ayah (kakek)
o Cucu laki-laki
o Saudara seayah-seibu
o Saudara seayah
o Anak dari saudara seayah
(keponakan I )
o Saudari seayah-seibu (yang
mendapat bagian dengan cara ashabah)
o Saudari seayah (yang
mendapat bagian dengan cara ashabah)
|
o 1
o 5
o 7
o 19
o 9
o 11
o 13
o 10
12
|
Paman disini
bermakna saudaranya ayah yang seayah-seibu.Ketika seseorang ditinggal wafat
oleh keponakannya, maka sebagai paman almarhum ia berhak mendapatkan warisan
dengan syarat-syarat tertentu. Perlu dicatat bahwa keponakannya yg wafat tadi
merupakan anak dari saudara laki-lakinya yang seayah-seibu.
þ Ashabah (sisa harta) bila
ada ahli waris lain yang telah mengambil bagian masing-masing, dengan syarat
tidak ada ahli ashabah lain yang lebih berhak dari dirinya.
|
Saudara ayah
yang seayah-seibu (paman I ) mendapat waris dari almarhum dengan cara ashabah,
yaitu sisa harta waris yang sebelumnya dibagikan terlebih dahulu kepada ahli
waris secara fardh. Dengan syarat, kedudukannya tidak terhijab oleh orang-orang
yang dapat menghijabnya. Yakni, apabila almarhum tidak meninggalkan anak/cucu
laki-laki, ayah atau kakek, saudara seayah-seibu, anak dari saudara
seayah-seibu, saudara seayah, anak dari saudara seayah, dan saudari
seayah-seibu atau saudari seayah yang mendapat bagian dengan cara ashabah
Contoh,
seseorang wafat meninggalkan ahli waris: ibu dan saudara ayah yang seayah seibu
(paman). Maka pembagiannya warisannya adalah ibu mendapat 1/3 dan saudara ayah
yang seayah-seibu (paman) mendapatkan sisanya, yaitu 2/3.
Namun,
apabila almarhum juga memiliki ayah, maka ibu mendapat 1/3, lalu ayah
mendapatkan seluruh sisanya, yaitu 2/3. sedangkan saudara ayah yang
seayah-seibu (paman) tidak mendapat apapun karena terhijab oleh ayah.
o paman : saudara ayah seayah
o sepupu : anak laki paman
seayah-ibu
o sepupu : anak laki paman
seayah
|
o 16
o 17
o 18
|
o Anak laki-laki
o Ayah
o Ayahnya ayah (kakek)
o Cucu laki-laki
o Saudara seayah-seibu
o Anak dari saudara
seayah-seibu (keponakan I )
o Saudara seayah
o Anak dari saudara seayah
(keponakan II )
o Saudari seayah-seibu (yang
mendapat bagian dengan cara ashabah)
o Saudari seayah (yang
mendapat bagian dengan cara ashabah)
|
o 1
o 5
o 7
o 19
o 9
o 13
o 11
o 14
o 10
12
|
Paman disini
bermakna saudaranya ayah yang seayah (tidak seibu). Ketika seseorang ditinggal
wafat oleh keponakannya, maka sebagai paman almarhum ia berhak mendapatkan
warisan dengan syarat-syarat tertentu. Perlu dicatat bahwa keponakannya yg
wafat tadi merupakan anak dari saudara laki-lakinya yang seayah, tidak seibu.
þ Ashabah (sisa harta) bila
ada ahli waris lain yang telah mengambil bagian masing-masing, dengan syarat tidak
ada ahli ashabah lain yang lebih berhak dari dirinya.
|
Saudara ayah
yang seayah (paman II) mendapat waris dari almarhum dengan cara ashabah, yaitu
sisa harta waris yang sebelumnya dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris
secara fardh. Dengan syarat, kedudukannya tidak terhijab oleh orang-orang yang
dapat menghijabnya. Yakni, apabila almarhum tidak meninggalkan anak/cucu
laki-laki, ayah atau kakek, saudara seayah-seibu, anak dari saudara
seayah-seibu, saudara seayah, anak dari saudara seayah, saudara ayah yang
seayah-seibu (paman I ), dan saudari seayah-seibu atau saudari seayah yang
mendapat bagian dengan cara ashabah
Contoh,
seseorang wafat meninggalkan ahli waris: istri dan saudara ayah yang seayah
(paman). Maka pembagiannya warisannya adalah istri mendapat 1/4 dan saudara
ayah yang seayah (paman) mendapatkan sisanya, yaitu 3/4.
Namun,
apabila almarhum juga memiliki ayah, maka istri mendapat 1/4, lalu ayah
mendapatkan seluruh sisanya, yaitu 3/4. sedangkan saudara ayah yang seayah
(paman) tidak mendapat apapun karena terhijab oleh ayah almarhum.
o Sepupu : anak laki paman
seayah-ibu
o sepupu : anak laki paman
seayah
|
o 17
o 18
|
o Anak laki-laki
o Ayah
o Ayahnya ayah (kakek)
o Cucu laki-laki
o Saudara seayah-seibu
o Anak dari saudara
seayah-seibu (keponakan I )
o Saudara seayah
o Anak dari saudara seayah
(keponakan II )
o Saudari seayah-seibu (yang
mendapat bagian dengan cara ashabah)
o Saudari seayah (yang
mendapat bagian dengan cara ashabah)
o Saudara ayah yang seayah-seibu
(paman I )
|
o 1
o 5
o 7
o 19
o 9
o 13
o 11
o 14
o 10
12
15
|
Anak
laki-laki dari paman yang seayah-seibu (sepupu) berhak mendapat warisan dari
sepupunya dengan syarat-syarat tertentu. Perlu dicatat bahwa sepupunya yg wafat
tadi merupakan anak dari pamannya (saudara ayahnya) yang seayah-seibu.
þ Ashabah (sisa harta) bila
ada ahli waris lain yang telah mengambil bagian masing-masing, dengan syarat
tidak ada ahli ashabah lain yang lebih berhak dari dirinya.
|
Anak dari
paman seayah-seibu mendapat waris dari almarhum dengan cara ashabah, yaitu sisa
harta waris yang sebelumnya dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris secara
fardh. Dengan syarat, kedudukannya tidak terhijab oleh orang-orang yang dapat
menghijabnya (lihat tabel).
Contoh,
seseorang wafat meninggalkan ahli waris: ibu dan Anak laki-laki dari paman yang
seayah-seibu (sepupu). Maka pembagiannya warisannya adalah ibu mendapat 1/3 dan
anak laki-laki dari paman yang seayah-seibu (sepupu) mendapatkan sisanya, yaitu
2/3.
Namun,
apabila almarhum juga memiliki anak laki-laki, maka ibu mendapat 1/3, lalu anak
laki-laki mendapatkan seluruh sisanya, yaitu 2/3. sedangkan anak laki-laki dari
paman yang seayah-seibu (sepupu) tidak mendapat apapun karena terhijab oleh
anak laki-laki almarhum.
o sepupu :
anak laki paman seayah
|
o 18
|
o Anak laki-laki
o Ayah
o Ayahnya ayah (kakek)
o Cucu laki-laki
o Saudara seayah-seibu
o Anak dari saudara seayah-seibu
(keponakan I )
o Saudara seayah
o Anak dari saudara seayah
(keponakan II )
o Saudari seayah-seibu (yang
mendapat bagian dengan cara ashabah)
o Saudari seayah (yang
mendapat bagian dengan cara ashabah)
o Saudara ayah yang
seayah-seibu (paman I)
o Saudara ayah yang seayah
(paman II)
|
o 1
o 5
o 7
o 19
o 9
o 13
o 11
o 14
o 10
12
15
16
|
Anak
laki-laki dari paman seayah (sepupu) mendapat warisan dari sepupunya dengan
syarat-syarat tertentu. Perlu dicatat bahwa sepupunya yg wafat adalah anak dari
pamannya (saudara ayahnya) yang seayah, tidak seibu.
þ Ashabah (sisa harta) bila
ada ahli waris lain yang telah mengambil bagian masing-masing, dengan syarat
tidak ada ahli ashabah lain yang lebih berhak dari dirinya.
|
Anak dari
paman seayah mendapat waris dari almarhum dengan cara ashabah, yaitu sisa harta
waris yang sebelumnya dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris secara fardh.
Dengan syarat, kedudukannya tidak terhijab oleh orang-orang yang dapat
menghijabnya (lihat tabel).
Contoh,
seseorang wafat meninggalkan ahli waris: suami dan anak laki-laki dari paman
yang seayah (sepupu). Maka pembagiannya warisannya adalah suami mendapat 1/2
dan anak laki-laki dari paman yang seayah (sepupu) mendapatkan sisanya, yaitu
1/2.
Namun,
apabila almarhumah juga memiliki anak laki-laki, maka suami mendapat ¼ karena
ada fara’ waris, lalu anak laki-laki mendapatkan seluruh sisanya, yaitu ¾ .
sedangkan anak laki-laki dari paman yang seayah(sepupu) tidak mendapat apapun
karena terhijab oleh anak laki-laki almarhumah.
Anak laki paman seayah (sepupu II) tidak menghijab siapapun
|
o Anak laki-laki
o Ayah
o Ayahnya ayah (kakek)
o Cucu laki-laki
o Saudara seayah-seibu
o Anak dari saudara
seayah-seibu (keponakan I )
o Saudara seayah
o Anak dari saudara seayah
(keponakan II )
o Saudari seayah-seibu (yang
mendapat bagian dengan cara ashabah)
o Saudari seayah (yang
mendapat bagian dengan cara ashabah)
o Saudara ayah yang seayah-seibu
(paman I)
o Saudara ayah yang seayah
(paman II)
o Anak saudara ayah yang
seayah-seibu (paman I)
|
o 1
o 5
o 7
o 19
o 9
o 13
o 11
o 14
o 10
12
15
16
17
|
Cucu yang
dimaksud disini adalah anak laki-laki dari anak laki-laki. Sedangkan cucu dari
anak perempuan tidak termasuk ahli waris. Keberadaan cucu ini baru berarti
manakala almarhum tidak punya anak laki-laki saat meningal dunia. Sebaliknya,
bila almarhum punya anak laki-laki, meski posisinya bukan ayah dari cucu,
misalnya sebagai paman dari cucu itu, maka cucu itu tidak mendapatkan hak
waris, karena terhijab olehnya.
Bagian yang
menjadi hak seorang cucu mirip seperti apa yang diterima seorang anak
laki-laki. Karena kedudukannya memang sebagai pengganti anak laki-laki.
Ashabah (sisa harta) bila ada ahli waris lain yang telah mengambil bagian
masing-masing, dengan ketentuan cucu laki-laki mendapat 2 kali bagian cucu
perempuan.
|
Seorang cucu
laki-laki mendapat warisan dengan cara ashabah, yaitu sisa harta yang
sebelumnya diambil oleh ahli waris lain. Karena mendapat sisa, maka besarannya
tidak pasti, tergantung seberapa besar sisa yang ada.
Contoh yang
sederhana adalah seorang laki-laki wafat meninggalkan ahli waris: cucu
laki-laki dan anak perempuan. Maka hak cucu laki-laki adalah sisa harta yang
telah diambil terlebih dahulu oleh anak perempuan. Anak perempuan tunggal
adalah salah satu ashabul furudh yang jatahnya sudah ditetapkan.
Dalam hal
ini anak perempuan mendapat 1/2. Berarti sisanya adalah 1/2 bagian. Maka bagian
yang didapat oleh cucu laki-laki adalah 1/2.
Apabila
almarhum juga meninggalkan cucu perempuan, maka dia juga mendapat sisa
sebagaimana halnya cucu laki-laki, yaitu jumlah sisa itu (1/2) dibagi rata di
antara para cucu, dengan ketentuan bahwa cucu perempuan hanya mendapat setengah
dari apa yang didapat cucu laki-laki. Atau dengan kata lain, yang diterima cucu
laki-laki 2 kali lipat lebih besar dari anak perempuan.
Maka
pembagiannya sebagai berikut :
Ahli Waris
|
Bagian
|
Anak Perempuan
|
½
|
3/6
|
Cucu Laki-laki
|
Sisa = 1/2
|
2/6
|
Cucu Perempuan
|
1/6
|
§ Saudara seayah-ibu
§ Saudari seayah-ibu
§ Saudara seayah
§ Saudari seayah
§ Keponakan : anak saudara seayah-ibu
§ Keponakan : anak saudara seayah
§ Paman : saudara ayah seayah-ibu
§ Paman : saudara ayah seayah
§ Sepupu : anak laki paman seayah-ibu
§ Sepupu : anak laki paman seayah
§ Saudara & saudari seibu
|
9
10
11
12
13
14
15
16
13
14
22
|
Cucu
laki-laki hanya dihijab oleh anak laki-laki.
Cucu yang
dimaksud disini adalah anak perempuan dari anak laki-laki. Sedangkan cucu
perempuan dari anak perempuan tidak termasuk ahli waris, ia hanya masuk dalam
daftar dzawil arham[5].
Keberadaan cucu baru berarti manakala almarhum tidak punya anak laki-laki saat
meningal dunia.
Jika
almarhum mempunyai anak laki-laki, maka cucu perempuan tidak mendapat apapun
karena terhijab oleh anak laki-laki. Dalam hal ini, anak laki-laki bisa jadi
merupakan ayah atau paman dari si cucu perempuan tersebut.
þ 1/2 = almarhum
tidak punya fara’ waris yg lebih utama (1-2),
tidak punya cucu laki-laki (19),
punya cucu perempuan hanya 1 orang
þ 2/3 = almarhum tidak punya fara’ waris yg lebih utama (1-2)
tidak punya cucu laki-laki (19)
punya cucu perempuan 2 orang atau lebih
þ 1/6 = almarhum
tidak punya anak laki-laki (1)
tidak punya cucu laki-laki (19)
punya 1 anak perempuan yg berhak atas ½ bagian
þ Ashabah = almarhum
tidak punya fara’ waris yg lebih utama (1-2)
punya cucu laki-laki (19)
|
Cucu
perempuan bisa punya tiga kemungkinan dalam menerima waris dari almarhum kakek
atau almarhumah neneknya.
Pertama, dia mendapat 1/2 atau separuh dari semua harta warisan. Syaratnya,
almarhum tidak mempunyai anak laki-laki atau anak perempuan. Mereka bisa jadi
ayah dan ibu si cucu perempuan, ataupun paman dan bibinya. Syarat kedua,
almarhum tidak memiliki cucu laki-laki dan tidak pula memiliki cucu perempuan
yg lain. Artinya, dirinya menjadi cucu satu-satunya dari almarhum.
Kedua, mendapat 2/3 dari semua harta. Syaratnya, dia bukan cucu perempuan
satu-satunya. Artinya, almarhum memiliki 2 cucu perempuan atau lebih, tapi
tidak punya cucu laki-laki. Para cucu perempuan akan mendapat jatah total
(bukan masing-masing) 2/3 bagian yang dibagi rata.
Ketiga, mendapat 1/6 dari semua harta warisan. Syaratnya, tidak ada anak/cucu
laki-laki. Kemudian ada anak perempuan yang berhak mendapat 1/2 bagian harta.
Bagian ini
berdasar pada ketentuan 2/3 bagian yang tersedia untuk 2 anak perempuan atau
lebih. Ketika almarhum meninggalkan anak perempuan dan cucu perempuan, maka
almarhum dianggap seakan-akan memiliki 2 anak perempuan yang berhak mendapatkan
jatah 2/3 dari harta warisan.
Dalam Ilmu
Faraidh, ketentuan ini disebut Takmilatan Li-Tsulutsaini (melengkapi 2/3
bagian). Ketentuan ini berlaku juga dalam kasus ketika almarhum meninggalkan 2
orang saudari perempuan, yakni satu saudari seayah-seibu dan satu saudari
seayah. Dengan syarat-syarat tertentu, kedua saudari tersebut berhak atas
bagian 2/3 dari harta warisan. Akan tetapi karena kedudukan keduanya tidak
sama, maka 1/2 bagian diberikan pada saudari seayah-seibu, sedangkan 1/6 bagian
diberikan kepada saudari seayah. Jika diakumulasi, maka 1/2 + 1/6 = 2/3.
Keempat, Ashabah. Seorang cucu
perempuan mendapat warisan dengan cara ashabah, yaitu sisa harta yang
sebelumnya diambil oleh ahli waris lain. Karena mendapat sisa, maka besarannya
tidak pasti, tergantung seberapa besar sisa yang ada.
Contoh:
seseorang wafat meninggalkan seorang istri, 2 cucu laki-laki dan 3 orang cucu
perempuan. Maka, istri mendapatkan 1/8 karena ada fara’ waris, sedangkan para
cucu itu mendapatkan sisanya yakni 7/8. jumlah sisa itu kemudian dibagi kepada
masing-masing dengan ketentuan bagian cucu laki-laki 2 kali bagian cucu
perempuan.
Maka
pembagiannya sebagai berikut :
Ahli Waris
|
Bagian
|
Istri
|
Fardh: 1/8
|
1/8
|
Cucu Laki-laki I
Cucu laki-laki II
|
Sisa = 7/8
|
2/8
2/8
|
Cucu Perempuan I
Cucu Perempuan II
Cucu Perempuan III
|
1/8
1/8
1/8
|
§ Anak laki-laki
§ Anak perempuan:
- ada 2 anak perempuan atau
lebih
- tidak ada cucu laki-laki
|
1
2
|
Yang
dimaksud dengan nenek disini adalah ibu dari ibunya almarhum, dalam kata lain
ia adalah nenek dari pihak ibu.
Nenek
(ibunya ibu) hanya punya satu kemungkinan dalam mendapat bagian warisnya, yakni
1/6. Bagian yang didapat oleh ibunya ibu sama dengan ibunya ayah. Beda antara
keduanya adalah bahwa ibunya ibu dapat dihijab oleh ibu saja, sedangkan ibunya
ayah dihijab oleh ibu dan ayah.
Contoh,
seseorang wafat meninggalkan seorang ibu, nenek (ibunya ibu) dan anak
laki-laki. Maka, ibu mendapatkan 1/6 karena ada fara’ waris dan anak laki-laki
mendapatkan sisanya, yakni 5/6. Adapun nenek (ibunya ibu) tidak mendapat apapun
karena terhijab oleh ibu.
Contoh
kedua, seseorang wafat meninggalkan seorang ayah dan nenek dari pihak ibu
(ibunya ibu). Maka, nenek dari pihak ibu tetap mendapat bagian 1/6 dari harta
dan tidak terhijab oleh ayah. Sedangkan ayah mendapatkan sisanya yakni 5/6
sebagai ashabah bi nafsihi.
Nenek atau
ibunya ibu tidak menghijab siapa pun
þ 1/3 = almarhum
tidak punya fara’ waris (1-2-19-20),
tidak punya ashl waris laki-laki (5-7)
saudara/ri seibu berjumlah 2 orang atau lebih
þ 1/6 = almarhum tidak punya fara’ waris (1-2-19-20)
tidak punya ashl waris laki-laki (5-7)
saudara/ri seibu 1 orang saja
|
Pertama, mendapat 1/3 dengan syarat
bahwa almarhum tidak meninggalkan fara’ waris atau keturunan dan juga ashl
waris laki-laki yakni ayah atau kakek. Syarat kedua, saudara/ri seibu yang
menjadi ahli waris berjumlah 2 orang atau lebih, baik laki-laki, perempuan, atau
keduanya.
§ ayah
§ kakek
§ anak laki-laki
§ anak perempuan
§ cucu laki-laki
§ cucu perempuan
|
5
7
1
2
19
20
|
Dari langkah
ini akan segera bisa didapat nilai nominal harta almarhum/almarhumah. Tentu
harta itu bukan hanya uang, tetapi bisa berbentuk rumah, tanah, kendaraan atau
apapun.
Namun untuk
memudahkan penghitungan, biasanya dilakukan penaksiran atas semua asset beliau
dalam besaran nominal. Meski benda-benda itu tidak harus langsung dijual kepada
pihak lain.
Langkah
kedua adalah mengumpulkan semua daftar ahli waris dan memilahnya. Pengumpulan
daftar ahli waris ini untuk memisahkan siapa saja yang berhak atas warisan dan
siapa saja yang tidak mendapat hak. Paling tidak ada dua pemilahan.
Pada langkah
ini tugas kita berikutnya adalah memilah antara ahli waris yang sesungguhnya
dengan yang bukan ahli waris.
Misalnya,
anak tiri, ayah diri, mantan istri, mantan suami, anak angkat, ayah atau ibu
angkat dan lainnya, mereka semua sesungguhnya tidak pernah terdaftar sebagai
ahli waris.
Anak tiri
meski sudah diperlakukan sebagai anak sendiri, tapi secara hukum syariah tidak
pernah mendapatkan harta lewat warisan. Namun bila lewat jalan lain masih
dimungkginkan. Misalnya lewat hibah dari almarhum sebelum wafat, atau lewat
wasiat. Demikian juga istri yang sudah dicerai suami dan telah habis masa
iddahnya, bila sang suami wafat, maka mantan istri itu sudah bukan lagi ahli
waris.
Contoh :
Seseorang wafat meninggalkan seorang mantan istri yang telah diceraikan sebulan
yang lalu, seorang istri yang masih sah dan seorang istri yang telah
diceraikannya secara 2 tahun lalu. Siapakah diantara mereka yang dapat warisan
?
Jawaban :
Yang mendapat warisan adalah istri yang telah diceraikan sebulan yang lalu dan
istri yang masih sah. Sedangkan istri yang telah diceraikan 2 tahun sebelumnya,
tidak mendapat warisan. Karena hubungannya dengan mantan istri itu sudah bukan
istri lagi. Sedangkan yang baru diceraikan 1 bulan yang lalu mendapatkan
warisan, lantaran masa iddahnya belum berakhir. Sebagaimana diketahui bahwa
masa iddah seorang wanita yang diceraikan suaminya adalah 3 kali masa suci dari
haidh.
Meski
seseorang termasuk daftar ahli waris, namun belum tentu dalam sebuah pembagian
warisan dia pasti mendapat warisan. Sebab bisa jadi hubungannya dengan
almarhum/almarhumah terhijab. Sehingga dia tidak boleh menerima warisan akibat
adanya hijab.
Prinsipnya,
bila hubungan seorang ahli waris dengan almarhum masih melewati ahli waris
lainnya, maka bila ahli waris yang yang ada diantara keduanya masih ada, maka
ahli waris yang berada pada lapis keduanya tidak akan mendapat warisan.
Kenyataannya,
hanya ada 6 orang yang tidak mungkin terhalangi, bahkan untuk memudahkan
mengingatnya, kita susun saja menjadi anak, orang tua dan pasangan. Dengan
rincian yaitu :
· anak baik laki atau perempuan
· orang tua yaitu ayah dan ibu
· pasangan yaitu suami atau istri
Selain
keenam orang di atas, mungkin terhalang dan mungkin tidak.
Contoh 1 : Seorang wafat dengan meninggalkan ayah kandung dan paman yang merupakan
saudara ayah. Hubungan almarhum dengan pamannya diselingi dengan adanya ayah,
maka paman tidak mendapat warisan bila ayah masih ada. Namun bila ayah tidak
ada, paman mendapatkan warisan. Posisi paman dalam hal ini sama
dengan posisi kakek, seandainya ayah tidak ada sedangkan kakek masih ada, maka
kakek mendapatkan warisan dari cucunya.
Contoh 2 : Saudara kandung laki-laki akan terhalang oleh adanya ayah dan keturunan
laki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
Contoh 3 : Saudara laki-laki seayah akan terhalang dengan adanya saudara kandung
laki-laki, juga terhalang oleh saudara kandung perempuan yang menjadi ‘ashabah
ma’al Ghair, dan terhalang dengan adanya ayah serta keturunan laki-laki (anak,
cucu, cicit, dan seterusnya).
Contoh 4 : Saudara laki-laki dan perempuan yang seibu akan terhalangi oleh pokok
(ayah, kakek, dan seterusnya) dan juga oleh cabang (anak, cucu, cicit, dan
seterusnya) baik anak laki-laki maupun anak perempuan.
Hasil atas
langkah kedua ini adalah daftar orang-orang yang pasti mendapat warisan, baik
sebagai ashabul furudh ataupun sebagai ashahabah.
Contoh :
Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, ibu, paman, kakek, bibi, saudara
laki-laki, saudara perempuan dan anak laki-laki. Siapa diantara mereka
yang mendapat warisan dan siapakah yang terhijab?
Jawab : Pada
awalnya semua memang termasuk ahli waris, namun ada beberapa mereka yang
termahjub karena keberadaan ahli waris lainnya. Yang memahjub anak
laki-laki yang menghijab paman, keponakan, saudara laki-laki dan saudara
perempuan. Kakek terhijab oleh adanya ayah. Sehingga yang menerima warisan
hanyalah anak laki-laki, ayah, ibu saja.
Langkah
ketiga adalah menentukan pokok masalah. Persoalan pokok masalah ini di
kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah at-ta’shil, yang berarti usaha
untuk mengetahui pokok masalah.
Untuk apa
kita mengetahui pokok masalah? Apa gunanya? Apa tujuannya?
Sebenarnya
urusan ini hanya sekedar untuk menemukan nilai yang didapat oleh para ahli
waris. Hal itu disebabkan Al-Quran dan As-sunnah menyebutkan bilangan pecahan
untuk menetapkan bagian yang didapat oleh para ahli waris. Bilangan pecahan itu
adalah setengah (1/2), sepertiga (1/3), seperempat (1/4), seperenam (1/6),
seperdelapan (1/8) dan duapertiga (2/3).
Seandainya
dalil-dalil itu menggunakan besaran prosentase, mungkin kita tidak perlu bicara
tentang ashlul-masalah ini. Misalnya dalam kasus seorang laki-laki wafaat
meninggalkan seorang seorang istri dan ayah. Isstri mendapat bagian 1/8 dan
ayah 1/6, maka agak sulit buat kita untuk menghitung langsung 1/8 + 1/6.
Tapi kalau
angka 1/8 dan 1/6 itu disebutkan dengan besaran prosentase, maka lebih mudah
untuk menjumlahkannya. 1/8 sebenarnya sama dengan 12,5 % dan 1/6 sama dengan
16,66 %. Jadi jumlah keduanya adalah 12,5% + 16,66 % = 29,16 %.
Sedangkan
menjumlahkan 1/8 dengan 1/6, perlu sedikit teknik untuk mendapatkan hasilnya.
Dengan metode hitungan sederana sebenarnya mudah saja bagi kita untuk
menjumlahkan beberapa bilangan pecahan, dimana “penyebutnya ” tidak sama. Dalam
bilangan pecahan kita mengenal dua istilah, yaitu pembilang dan penyebut.
Dimana kedua bilangan itu ditulis dengan dipisahkan menggunakan garis miring.
Pembilang adalah angka sebelum garis miring dan penyebut dalam bilangan setelah
garis miring.
Contoh,
bilangan setengah itu ditulis [1/2], maka bilangan 1 adalah pembilang dan
bilangan 2 adalah penyebut. Demikian juga dengan [2/3], maka bilangan 2 adalah
pembilang dan bilangan 3 adalah penyebut.
Secara
sederhana, kita bisa menjumlahkan bilangan pecahan dengan cara menjumlahkan
pembilangnya saja tanpa menjumlahkan penyebutnya, asalkan penyebutnya sama.
Misalnya 1/2 + 1/2 = 2/2. Atau 2/4 + 1/4 + 1/4 = 4/4.
Namun akan
sedikit bermasalah ketika kita harus menjumlahkan beberapa bilangan pecahan
yang berbeda penyebutnya. Misalnya, 1/8 + 1/6. Berapakah jumlahnya ?.
Untuk
menjumlahkannya, kita terpaksa harus menyamakan dulu penyebutnya. Caranya
dengan mengganti masing-masing penyebut dengan sebuah bilangan terkecil yang
habis dibagi oleh masing-masing penyebut. Kalau kita pilih bilangan 16, memang
16 itu bisa habis dibagi 8, tapi tidak bisa dibagi 6, jadi angka 16 tidak
cocok.
Demikian
juga bila kita pilih bilangan 12, memang 12 itu bisa habis dibagi 6, tapi tidak
bisa dibagi 8. Pilihannya adalah 24, sebab 24 itu bisa habis dibagi 8 dan 6.
Jadi kita sama dulu penyebut masing-masing menjadi angka 12. Lalu pembilangnya
kita sesuaikan agar nilainya tetap sama.
Caranya
dengan mengalikan pembilang dengan hasil bagi penyebut yang telah disamakan
dengan penyebut asalnya. Lalu masing-masing pembilang yang telah disesuaikan
dijumlahkan, sedangkan penyebutnya tidak perlu dijumlahkan.
§ Maka bilangan 1/8 itu kita ubah penyebutnya menjadi 24. Lalu kita membagi
24 dengan 8, hasilnya adalah 3. Lalu kita kalikan 3 dengan pembilangnya yaitu
1. Hasilnya adalah 3. Maka 1/8 sama dengan 3/24.
§ Bilangan 1/6 itu kita ubah penyebutnya menjadi 24 juga. Lalu kita membagi
24 dengan 6, hasilnya adalah 4. Lalu kita kalikan 4 dengan pembilangnya yaitu
1. Hasilnya adalah 4. Maka 1/6 sama dengan 4/24.
Jadi hasil
akhir penjumlahan itu adalah 3/24 + 4/24 = 7/24. Kalau kita perhatikan,
sebenarnya 7/24 ini sama besarnya dengan 29,16 %.
Metode Yang
Digunakan Dalam Kitab Klasik
Tapi yang
berkembang di masa lalu bukan dengan prosentase, juga bukan dengan penyamaan
pembilang dan penyebut, melainkan dengan metode pencarian ashlul-masalah.
Dalam hal ini, yang perlu diketahui adalah bagaimana dapat memperoleh angka
pembagian hak setiap ahli waris tanpa melalui pemecahan yang rumit. Karena itu,
para ulama ilmu faraid tidak mau menerima kecuali angka-angka yang jelas dan
benar (maksudnya tanpa menyertakan angka-angka pecahan).
Untuk
mengetahui pokok masalah, terlebih dahulu perlu kita ketahui siapa-siapa ahli
warisnya. Artinya, kita harus mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya
hanya termasuk ‘ashabah, atau semuanya hanya dari ashhabul furudh, atau
gabungan antara ‘ashabah dengan ashhabul furudh.
Apabila
seluruh ahli waris yang ada semuanya dari ‘ashabah, maka pokok masalahnya
dihitung per kepala –jika semuanya hanya dari laki-laki. Misalnya, seseorang
wafat dan meninggalkan lima orang anak laki-laki, maka pokok masalahnya dari
lima. Atau seseorang wafat meninggalkan sepuluh saudara kandung laki-laki, maka
pokok masalahnya dari sepuluh.
Bila
ternyata ahli waris yang ada terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, maka
satu anak laki-laki kita hitung dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu
kepala. Hal ini diambil dari kaidah qur’aniyah: bagian anak laki-laki dua kali
bagian anak perempuan. Pokok masalahnya juga dihitung dari jumlah per kepala.
Misalnya,
seseorang wafat dan hanya meninggalkan lima orang anak, dua laki-laki dan tiga
perempuan. Maka pokok masalahnya berarti tujuh (7). Contoh lain, bila mayit
meninggalkan lima anak perempuan dan tiga anak laki-laki, maka pokok masalahnya
sebelas, dan demikian seterusnya.
Kemudian,
jika ternyata ahli waris yang ada semuanya dari ashhabul furudh yang sama,
berarti itulah pokok masalahnya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan
seorang suami dan saudara kandung perempuan. Maka pokok masalahnya dari dua
(2). Sebab, bagian suami setengah (1/2) dan bagian saudara kandung perempuan
juga setengah (1/2). Secara umum dapat dikatakan bahwa bila ahli waris semuanya
sama –misalnya masing-masing berhak mendapat seperenam (1/6)– maka pokok
masalahnya dari enam (6). Bila semuanya berhak sepertiga (1/3), maka pokok
masalahnya dari tiga (3). Bila semuanya seperempat (1/4) atau seperdelapan
(1/8), maka pokok masalahnya dari empat atau delapan, begitu seterusnya.
Sedangkan
jika para ahli waris yang ditinggalkan pewaris terdiri dari banyak bagian
–yakni tidak dari satu jenis, misalnya ada yang berhak setengah, seperenam, dan
sebagainya– kita harus mengalikan dan mencampur antara beberapa kedudukan,
yakni antara :
· angka-angka yang mutamatsilah (sama)
· angka-angka yang mutadaakhilah (saling berpadu)
· angka-angka yang mutabaayinah (saling berbeda).
Untuk
memperjelas masalah ini, baiklah kita simak kaidah yang telah diterapkan oleh
para ulama ilmu faraid. Kaidah ini sangat mudah sekaligus mempermudah kita
untuk memahami pokok masalah ketika ahli waris terdiri dari berbagai sahib fardh
yang mempunyai bagian berbeda-beda.
Para ulama
faraid membagi kaidah tersebut menjadi dua bagian:
Pertama: bagian setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8).
Kedua: bagian dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).
Apabila para
ashhabul furudh hanya terdiri dari bagian yang pertama saja (yakni 1/2, 1/4,
1/8), berarti pokok masalahnya dari angka yang paling besar. Misalnya, bila
dalam suatu keadaan, ahli warisnya dari sahib fardh setengah (1/2) dan
seperempat (1/4), maka pokok masalahnya dari empat (4).
Misal lain,
bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari para sahib fardh setengah
(1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8) –atau hanya seperempat dengan
seperdelapan– maka pokok masalahnya dari delapan (8). Begitu juga bila dalam
suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari sahib fardh sepertiga (1/3) dengan
seperenam (1/6) atau dua per tiga (2/3) dengan seperenam (1/6), maka pokok
masalahnya dari enam (6). Sebab angka tiga merupakan bagian dari angka enam.
Maka dalam hal ini hendaklah diambil angka penyebut yang terbesar.
Akan tetapi,
jika dalam suatu keadaan ahli warisnya bercampur antara sahib fardh kelompok
pertama (1/2, 1/4, dan 1/8) dengan kelompok kedua (2/3, 1/3, dan 1/6)
diperlukan kaidah yang lain untuk mengetahui pokok masalahnya. Kaidah yang
dimaksud seperti tersebut di bawah ini:
1. Apabila
dalam suatu keadaan, sahib fardh setengah (1/2) –yang merupakan kelompok
pertama– bercampur dengan salah satu dari kelompok kedua, atau semuanya, maka
pokok masalahnya dari enam (6).
2. Apabila
dalam suatu keadaan, sahib fardh seperempat (1/4) yang merupakan kelompok
pertama– bercampur dengan seluruh kelompok kedua atau salah satunya, maka pokok
masalahnya dari dua belas (12).
3. Apabila
dalam suatu keadaan, sahib fardh seperdelapan (1/8) yang merupakan kelompok
pertama– bercampur dengan seluruh kelompok kedua, atau salah satunya, maka
pokok masalahnya dari dua puluh empat (24).
Untuk lebih
memperjelas kaidah tersebut, mari kita buat beberapa contoh.
Contoh :
Kasus Pertama
Misalnya,
seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara laki-laki seibu, ibu, dan paman
kandung. Maka pembagiannya sebagai berikut:
· suami mendapat setengah (1/2)
· saudara laki-laki seibu seperenam (1/6)
· ibu sepertiga (1/3)
sedangkan
paman sebagai ‘ashabah, ia akan mendapat sisa yang ada setelah ashhabul furudh
menerima bagian masing-masing. Bila tidak tersisa, maka ia tidak berhak
menerima harta waris.
Dari contoh
tersebut tampak ada campuran antara kelompok pertama (yakni 1/2) dengan
sepertiga (1/3) dan seperenam (1/6), yang merupakan kelompok kedua. Berdasarkan
kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh tersebut adalah enam (6).
Lihat
diagram:
Pokok
masalah dari enam (6)
Suami setengah (1/2)
|
3/6
|
3
|
Saudara laki-laki seibu seperenam (1/6)
|
1/6
|
1
|
Ibu sepertiga (1/3)
|
2/6
|
2
|
Paman kandung, sebagai ‘ashabah
|
0
|
nomor-id-ahli-waris
|
Dalam contoh
ini, kebetulan harta habis dibagi untuk semua ashhabul furudh tanpa sisa,
dengan demikian maka paman tidak mendapat apa-apa alias nol, lantaran statusnya
hanya sebagai ahli waris ashabah. Namun dalam seandainya salah satu dari
ashhabul furudh di atas tidak ada, misalnya tidak ada saudara laki-laki yang
jatahnya (1/6), maka sisa itu menjadi milik paman sebagai ashabah.
Contoh :
Kasus Kedua
Seseorang
wafat dan meninggalkan istri, ibu, dua orang saudara laki-laki seibu, dan
seorang saudara laki-laki kandung. Maka pembagiannya seperti berikut:
§ bagian istri seperempat (1/4)
· ibu seperenam (1/6)
· dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3)
· dan saudara kandung laki-laki sebagai ‘ashabah.
Pada contoh
ini tampak ada campuran antara bagian seperempat (1/4) –yang termasuk kelompok
pertama– dengan seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3). Maka berdasarkan kaidah,
pokok masalahnya dari dua belas (12). Angka tersebut merupakan hasil perkalian
antara empat (yang merupakan bagian istri) dengan tiga (sebagai bagian kedua
saudara laki-laki seibu). Tabelnya tampak berikut ini:
Pokok
masalah dari dua belas (12)
Istri seperempat (1/4))
|
3/12
|
3
|
Ibu seperenam (1/6)
|
2/12
|
2
|
Dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3)
|
4/12
|
4
|
Saudara kandung laki-laki sebagai ‘ashabah (sisanya)
|
3/12
|
3
|
Dalam contoh
kasus kali ini, saudara kandung laki-laki sebagai ashabah beruntung, karena
masih ada sisa dari para ashhabul furudh, sehingga dia mendapatkan sisanya yang
masih lumayan besar, yaitu 3/12 dari total harta atau 1/4 bagian atau 25% dari
seluruh harta yang dibagi waris.
Contoh :
Kasus Ketiga
Seseorang
kakek wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, cucu perempuan keturunan
anak laki-laki, ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya sebagai
berikut:
· istri mendapat seperdelapan (1/8)
· anak perempuan setengah (1/2)
· cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) sebagai
penyempurna dua per tiga (2/3)
· bagian ibu seperenam (1/6)
· Sedangkan saudara kandung laki-laki sebagai ‘ashabah, karenanya ia mendapat
sisa harta waris bila ternyata masih tersisa.
Pada contoh
ini tampak ada percampuran antara seperdelapan (1/8) sebagai kelompok pertama
dengan seperenam (1/6) sebagai kelompok kedua. Maka berdasarkan kaidah yang
ada, pokok masalah pada contoh ini dari dua pulah empat (24). Berikut ini
tabelnya:
Pokok
masalah dari 24
Bagian istri seperdelapan (1/8)
|
3/24
|
3
|
Bagian anak perempuan setengah (1/2)
|
12/24
|
12
|
Cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam (1/6)
|
4/24
|
4
|
Bagian ibu seperenam (1/6)
|
4/24
|
4
|
Saudara kandung laki-laki, sebagai ‘ashabah (sisa)
|
1/24
|
1
|
Angka dua
puluh empat (24) yang dijadikan sebagai pokok masalah timbul sebagai hasil
perkalian antara setengah dari enam (yakni 3) dengan delapan (6 : 2 x 8 = 24).
Atau setengah dari delapan (yakni empat) kali enam (6), (8 : 2 x 6 = 24). Hal
seperti ini disebabkan setengah dari dua angka tersebut (yakni enam dan
delapan) ada selisih, karenanya kita ambil setengah dari salah satu angka tadi,
kemudian kita kalikan dengan angka yang lain dengan sempurna. Begitulah
seterusnya.
[1] Diantara fara’ waris antara lain : anak laki-laki, anak perempuan, juga anak laki-laki
atau anak perempuan dari anak laki-laki (cucu). Sedangkan anak laki atau anak
perempuan dari anak perempuan, meski termasuk cucu juga, namun kedudukannya
bukan termasuk fara’ waris, karena cucu dari anak perempuan tidak termasuk
dalam daftar ahli waris penerima warisan.
[2] Fara’ waris perempuan adalah
anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Fara’ waris laki adalah
anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.
[3] Istilah kasus Umariyatain adalah dua kasus yang ditetapkan oleh Umar bin
al-Khattab radhiyallahuanhu. Kasus pertama melibatkan 3 orang ahli
waris, yaitu suami, ayah dan ibu. Kasus kedua melibatkan 3 orang juga yaitu
istri, ayah dan ibu.
Dalam hal ini ada perbedaan
pendapat dalam menafsirkan firman Allah pada kata : وورثه أبواه.
Menurut Khalifah Umar dan
kebanyakan para shahabat nabi serta didukung oleh jumhur ulama, kata itu punya
makna bahwa ayah dan ibu menerima warisan dari sisa warisan yang diambil oleh
suami atau istri secara fardh. Ayah dan ibu tidak menerima waris secara fardh
(1/3) dari asal harta.
Sebaliknya, menurut Ibnu Abbas
radhiyallahuanhu, ibu mendapat 1/3 dari asal harta sebagaimana
disebutkan dalam ayat ini. Sisanya, menjadi hak ayah. Dalam pandangan Khalifah Umar, kalau demikian,
tidak ada arti kata tersebut.
Maka dalam kasus ini, suami
yang ditinggal mati istrinya tanpa fara’ waris mendapat 1/2 harta. Sisanya,
yaitu 1/2 menjadi hak ayah dan ibu berdua secara ashabah, dengan ketentuan ibu
mendapat 1/3 dari jatah mereka berdua dan ayah mendapat sisanya yaitu 2/3.
Kasus Pertama
Ahli Waris
|
Bagian
|
Istri
|
¼
|
1/4
|
Ibu
|
¾
|
1/4
|
Ayah
|
2/4
|
Kasus Kedua
Ahli Waris
|
Bagian
|
Suami
|
½
|
3/6
|
Ibu
|
½
|
1/6
|
Ayah
|
2/6
|
[4] Fara’ waris perempuan adalah
anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Fara’ waris laki adalah
anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.
[5]Keluarga almarhum/ah yang
tidak masuk dalam daftar ahli waris (Ashabul furudh dan Ashabah) disebut Dzawil
Arham. Mereka hanya bisa mendapat bagian dalam warisan apabila almarhum/ah
tidak memiliki ahli waris.
Baca Juga Artikel Di Bawah Ini: