Bahan:
1. Teori
belajar.
Sebelum merancang pembelajaran,
seorang guru harus menguasai sejumlah teori atau filsafat tentang belajar,
termasuk beberapa pendekatan dalam pembelajaran. Teori belajar tersebutsebagian
sudah dikenal dalam pelaksanaan Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, dan Kurikulum
2004. Sebagian bahkan sudah dikenal dalam mata kuliah tentang pendidikan dan
pengajaran. Penguasaan teori itu dimaksudkan agar guru mampu
mempertanggungjawabkan secara ilmiah perilaku mengajarnya di depan kelas.
a. Behaviorisme.
Teori ini di dalam linguistik
diikuti antara lain oleh L.Bloomfield dan B.F.Skinner. Dalam hal belajar,
termasuk belajar bahasa, teori ini lebih mementingkan faktor eksternal
ketimbang faktor internal dari individu, sehingga terkesan siswa hanya pasif
saja menunggu stimulus dari luar (guru). Belajar apa saja dan oleh siapa
saja (manusia atau binatang) sama saja, yakni melalui mekanisme stimulus –
respons. Guru memberikan stimulus, siswa merespons, seperti tampak pada
latihan tubian (drill) dalam pelajaran bahasa Inggris. Pelajaran yang
mementingkan kaidah tatabahasa, struktur bahasa (fonem, morfem, kata, frasa,
kalimat) dan bentuk-bentuk kebahasaan merupakan penerapan behaviorisme, karena
behaviorisme lebih mementingkan bentuk dan struktur bahasa ketimbang makna dan
maksud.
b. Gestalt.
Berbeda dengan behaviorisme yang
bersifat fragmentaris (mementingkan bagian demi bagian, sedikit demi sedikit),
teori belajar ini melihat pentingnya belajar secara keseluruhan. Jika Anda
mempelajari sebuah buku, bacalah dari awal sampai akhir dulu, baru kemudian bab
demi bab. Dalam linguistik dan pengajaran bahasa, aliran ini melihat bahasa
sebagai keseluruhan utuh, melihat bahasa secara holistik, bukan bagian
demi bagian. Belajar bahasa tidak dilakukan setapak demi setapak,dari fonem,
lalu morfem dan kata, frasa, klausa sampai dengan kalimat dan wacana. Bahasa
adalah sesuatu yang mempunyai staruktur dan sistem, dalam arti bahasa terdiri
atas bagian-bagian yang saling berpengaruhdan saling bergantung.
c. Kognitivisme.
Dalam belajar, kognitivisme mengakui
pentingnya faktor individu dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau
lingkungan. Bagi kognitivisme, belajar merupakan interaksi antara individu dan
lingkungan, dan hal itu terjadi terus-menerus sepanjang hayatnya. Kognisi
adalah suatu perabot dalam benak kita yang merupakan “pusat” penggerak berbagai
kegiatan kita: mengenali lingkungan, melihat berbagai masalah, menganalisis
berbagai masalah, mencari informasi baru, menarik simpulan dan sebagainya.
Pakar kognitivisme yang besar pengaruhnya ialah Jean Piaget, yang pernah
mengemukakan pendapatnya tentang perkembangan kognitif anak yang terdiri
atas beberapa tahap. Dalam hal pemerolehan bahasa ibu (B1) Piaget
mengatakan bahwa (i) anak itu di samping meniru-niru juga aktif dan kreatif
dalam menguasai bahasa ibunya; (ii) kemampuan untuk menguasai bahasa itu
didasari oleh adanya kognisi; (iii) kognisi itu memiliki struktur dan fungsi.
Fungsi itu bersifat genetif, dibawa sejak lahir, sedangkan struktur kognisi
bisa berubah sesuai dengan kemampuan dan upaya individu.
Di samping itu, teori ini pun
mengenal konsep bahwa belajar ialah hasil interaksi yang terus-menerus antara
individu dan lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi.
(Lihat strategi pembelajaran!).
d. Konstruktivisme.
Teori Piaget di atas melahirkan
teori konstruktivisme dalam belajar. Piaget mengatakan bahwa struktur kognisi
itu dapat berubah sesuai dengan kemampuan dan upaya individu sendiri. Menurut
konstruktivisme, pebelajar (learner, orang yang sedang belajar)
akan membangun pengetahuannya sendiri berdasarkan apa yang sudah diketahuinya.
Karena itu belajar tentang dan mempelajari sesuatu itu tidak dapat diwakilkan
dan tidak dapat “diborongkan” kepada orang lain. Siswa sendiri harus proaktif
mencari dan menemukan pengetahuan itu, dan mengalami sendiri proses
belajar dengan mencari dan menemukan itu. Di sini diperlukan pemahaman guru
tentang “apa yang sudah diketahui pebelajar”, atau apa yang disebut pengetahuan
awal (prior knowledge), sehingga guru bisa tepat menyajikan bahan
pengajaran yang pas: Jangan memberikan bahan yang sudah diketahui siswa, jangan
memberikan bahan yang terlalu jauh bisa dijangkau oleh siswa. Patut diingat
bahwa sebelum belajar bahasa Indonesia siswa sudah mempunyai bahasa ibu (bahasa
daerah) sebagai “pengetahuan awal” mereka. Pengetahuan, pengalaman, dan
keterampilannya dalam bahasa daerahnya itu harus dimanfaatkan oleh guru untuk
belajar berbahasa Indonesia dengan lebih baik.
e. CBSA.
Sebenarnya CBSA sudah kita kenal
sejak 1981 yang menyertai Kurikulum 1984 juga. CBSA itu suatu pendekatan yang
lahir untuk mengatasi keadaan kelas yang siswanya serba pasif. Adalah pandangan
yang salah jika dikatakan CBSA itu mengaktifkan siswa dan “membuat guru diam”
(tidak aktif). Juga salah jika CBSA itu mesti berdiskusi secara kelompok, mesti
memindahkan bangku dan kursi. Yang penting sebenarnya ialah CBSA itu menuntut
agar ada keterlibatan mental-psikologis pada siswa sepanjang proses
belajar-mengajar. Hanya saja keterlibatan mental-psikologis itu kadang-kadang
harus diwujudkan dalam perilaku fisik, misalnya bertanya, memberikan jawaban
dan tanggapan, memberikan pendapat, dsb. Dalam hal pelajaran bahasa Indonesia,
CBSA itu harus mewujud dalam kegiatan siswa untuk banyak berbicara dan menulis,
pokoknya harus aktif-produktif ketimbang pasif-reseptif. Dalam hal-hal tertentu
CBSA itu mengharuskan siswa banyak terlibat dalam proses belajar-mengajar,
siswa mengalami belajarnya sendiri, mendalami materi, dsb. Dalam pembelajaran
bahasa Indonesia CBSA amat bisa sejalan dengan pendekatan komunikatif.
f. Keterampilan Proses.
Sebenarnya keterampila proses itu
serupa dan senafas dengan CBSA karena roh dari kedua pendekatan itu sama yaitu
bagaimana agar siswa itu terlibat aktif dalam proses belajar-mengajar di dalam
kelas. Keterampilan proses ini lahir antara lain karena guru sering hanya
memperhatikan hasil belajar dan kurang memperhatikan proses untuk mencapai
hasil itu. Dengan kata lain, guru (dan murid) menghalalkan segala cara agar
memperoleh hasil yang “baik” tanpa melihat cara (teknik, metode, pendekatan,
teori) memperoleh hasil itu. Akibatnya, guru berlaku kurang jujur, misalnya
dengan membuat soal-soal yang sangat-saangat mudah, membiarkan murid menyontek,
dan sebagainya; murid pun berlaku tidak jujur, yakni sengaja menyiapkan
sontekan, turunan, dan sebagainya. Sebenarnya, sejak kurikulum 1975 kita sudah
mengenal TIK (Tujuan Instruksional Khusus) yang rumusannya mencantumkan
cara-cara untuk mencapai hasil belajar yang bisa diamati dan diukur. Dalam
rumusan yang kira-kira sama, KBK pun merumuskan “kompetensi” dengan
deskriptor-deskriptor tertentu. Dalam bahasa Indonesia pendekatan ini dapat
secara langsung digunakan untuk menilai perilaku berbhasa sehari-hari di
dalam kelas secara terus-menerus.
g. Belajar secara Sosial.
Istilah Inggrisnya ialah social
learning, dan sekarang dikenal dengan istilah belajar secara gotong
royong. Pendekatan ini menekankan pentingnya belajar bersama, secara
berkelompok atau berpasangan, mengingat di dalam kehidupan bermasyarakat pun
orang
selalu bekerja sama untuk melakukan
sesuatu. Dalam pelajaran bahasa Indonesia pendekatan ini bisa diterapkan
misalnya dalam menyusun karya tulis (membuat laporan, membuat sinopsis,
meringkas bacaan, dan sebagainya), berdiskusi, berdialog, mendengarkan, dan
sebagainya.
h. CTL.
Seiring dengan diperkenalkannya KBK,
muncul gagasan tentang CTL, singkatan dari Contextual Teaching and Learning,
atau mengajar dan belajar secara kontekstual. Pendekatan ini sebenarnya
diilhami oleh filsafat konstruktivisme. Sebenarnya siswa itu bisa didorong
untuk aktif melakukan tindak belajar jika apa yang dipelajari itu sesuai dengan
konteks. Konteks ini tidak sekadar diartikan lingkungan belajar. Konteks
itu bisa berupa konteks siswa (usia, kondisi sosial-ekonomi, potensi
intelektual, keadaan emosi, dsb), konteks isi (materi pelajaran), konteks
tujuan (tujuan belajarnya, kompetensi yang hendak dicapai), konteks
sosial-budaya, konteks lingkungan, dsb. Ada beberapa unsur dalam CTL
yang harus diterapkan di dalam proses belajar-mengajar, antara lain, pertanyaan,
inkuiri, penemuan, pengalaman. Dalam pelajaran bahasa dan sastera Indonesia
guru hendaknya memperhatikan kondisi kebahasaan siswa: apakah siswa Anda
berasal dari pedesaan atau perkotaan, dari keluarga ekonomi lemah atau keluarga
mampu, ada di SMP atau SMA. Guru hendaknya juga memperhatikan besar-kecilnya pengaruh
bahasa daerah terhadap bahasa Indonesia dalam pemakaian bahasa Indonesia
sehari-hari. Hal ini sering menyulitkan guru karena guru dan murid mempunyai
latar belakang kebahsaan yang sama sehingga kedua pihak bisa melakukan
“kesalahan” yang sama dalam berbahasa Indonesia. Guru yang berlatar belakang
bahasa Bali tentu sulit mengidentifikasi kesalahan dalam berbahasa Indonesia
yang dilakukan murid-muridnya yang juga berkatar belakang bahasa Bali, karena
guru tidak menyadari kesalahannya sendiri. Minat siswa dalam sastra dan
kesastraan juga bisa bergantung kepada latar belakang di atas.
i. Pendekatan Komunikatif.
Ini adalah pendekatan khas dalam
belajar berbahasa. Intinya pendekatan ini menuntut agar (i) siswa diberi
kebebasan berbicara tanpa beban (wajib berbahasa Indonesia yang baik dan
benar); (ii) siswa mampu mengomunikasikan gagasannya kepada orang lain dan
mampu menangkap dana memahami gagasan orang lain; (iii) siswa lebih banyak belajar
berbahasa (empat keterampilan berbahasa) ketimbang belajar
bahasa (teori, kaidah tatabahasa, struktur bahasa,dsb); (iv) guru tidak
perlu banyak menyalahkan ujaran siswa, apalagi menginterupsi ketika siswa
sedang berbicara, karena hal itu dapat mematikan motivasi siswa untuk
berbicara. Bahasa harus kita pandang secara holistik (menyeluruh), bukan
serpih-serpih (bagian demi bagian). Pendekatan komunikatif hakikatnya juga
sejalan dengan prinsip-prinsip dalam pragmatik.
j. Pendekatan Tematik-Integratif.
Sebenarnya pendekatan ini sudah kita
kenal pada kurikulum 1984. Intinya, tiap pelajaran harus berpijak pada tema
atau subtema tertentu. Dan tiap bahan pelajaran tidaklah berdiri sendiri
melainkan dipadukan (diintegrasikan) dengan bahan pelajaran yang lain. Dalam
belajar berbahasa Indonesia, bahan pelajaran dapat dipadukan secara internal,
misalnya keterampilan berbicara dengan tema pariwisata dengan keterampilan
menulis, dengan aspek kebahasaan seperti kalimat dan frasa. Dapat pula secara eksternal
dipadukan dengan sastra. Bahkan bahasa Indonesia dapat dipadukan dengan
mata pelajaran yang lain. Misalnya, untuk pelajaran kalimat majemuk, guru dapat
memadukan kalimat majemuk dengan keterampilan membaca, dan bacaan itu diambil
dari buku teks Sejarah, Ekonomi, Biologi, IPA, IPS, dsb. Artinya, siswa dapat
ditugasi untuk mencari dan menemukan contoh-contoh kalimat majemuk di dalam
buku-buku teks itu.
2 Penerapan Teori Belajar.
Dalam hal penerapan teori belajar,
guru hendaknya memperhatikan dulu kompetensi dasar yang hendak dicapai oleh
siswa, indikator, deskriptor, dan bahan ajarnya. Misalnya, jika untuk
kompetensi K, indikator I, dan deskriptor D, serta
bahan ajar fakta dan kosep frasa, guru akan menggunakan pendekatan
tematik-integratif, bagaimana wujudnya dalam Rencana Pembelajaran?
Untuk menjawab pertanyaan ini guru
hendaknya menentukan dulu temanya, misalnya lalu-lintas. Jika kompetensi
yang hendak dicapai ialah keterampilan membaca pemahaman, maka
ditentukan bacaan bertema lalu-lintas yang dipastikan mengandung sekian banyak frasa.
Jika Anda mengajar di SMP, bacaan seperti itu dapat dicari dalam buku teks IPS
tentang transportasi. Di situ Anda sudah melakukan integrasi antardisiplin atau
antarmata pelajaran. Di dalam bacaan itu siswa diperkenalkan dengan fakta
tentang frasa dan bukan frasa. Lalu guru melakukan diskusi untuk
mencapai pemahaman tentang konsep frasa. Siswa kemudian bisa diajak mengalami
belajar dengan cara mencari dan menemukan frasa-frasa lain dalam novel
atau cerpen. Lagi-lagi ini adalah pendekatan integratif. Siswa akhirnya
diminta membuat laporan singkat secara tertulis. Artinya, Anda telah
melakukan integrasi internal: aspek kebahasaan (yakni konsep frasa),
keterampilan membaca, dan keterampilan menulis.
Cobalah buat Rancangan Pembelajaran,
dengan kondisi seperti di atas tetapi dengan menggunakan teori konstruktivisme!
3 Beberapa
Catatan.
a. Fakta: dalam pelajaran
bahasa dan sastra Indonesia bisa mengacu kepada fakta-fakta kebahasaan seperti
bahasa terdiri atas bunyi-bunyi; sebuah kata terdiri atas fonem-fonem; kalimat
terdiri atas beberapa kata, dsb.
b. Konsep: mengacu kepada
batasan, definisi, atau deskripsi (perian) tentang fon, fonem, morf, morfem,
kata, frasa, klausa, kalimat, dsb.
c. Prosedur: mengacu kepada
langkah-langkah dalam mempelajari suatu pengetahuan atau keterampilan tertentu.
Misalnya, bagaimana prosedur menulis surat resmi, membuka dan menutup diskusi,
cara mengajukan pertanyaan dalam diskusi, dsb.
d. Prinsip: mengacu kepada
teori, rumus, hukum, dsb.yang bersifat aksiomatis. Misalnya, dalam bahasa Indonesia
ada hukum D-M, ada prinsip kerjasama dalam percakapan, ada kaidah tentang
giliran berbicara, dsb.
Masing-masing itu merupakan bahan
ajar yang sedikit banyak mempunyai ciri khas, sehingga teori dan pendekatannya
pun bisa berbeda. Misalnya, agak sulit kita mengajarkan prinsip atau konsep
jika kita harus menggunakan teori behaviorisme.
b. Indikator Esensial:
Menentukan strategi pembelajaran Bahasa dan sastra Indonesia berdasarkan
karakteristik peserta didik, kompetensi yang ingin dicapai, dan materi pelajaran.
Deskriptor:
1)
Mendeskripsikan berbagai strategi pembelajaran.
2)
Memilih strategi pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang sesuai dikaitkan
dengan karakteristik peserta didik, dan materi ajar.
Bahan:
1 Strategi
Pembelajaran.
Dalam dunia militer, strategi ialah
cara memenangkan perang (war), dengan mempertahankan keadaan dan
kekuatan lawan dan membandingkannya dengan keadaan dan kekuatan sendiri. Dalam
proses belajar-mengajar, strategi itu harus “memenangkan” perjuanagn guru dan
siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Untuk itu tiga hal harus diperhatikan
guru, yaitu (i) karakteristik siswa, (ii) kompetensi yang hendak dicapai, dan
(iii) bahan ajar.
Menurut Raka Joni (1984), strategi,
atau sering disebut model-model mengajar (teaching models),
berarti “pola umum perbuatan guru-murid di dalam perwujudan kegiatan
belajar-mengajar”. Sifat “umum” dari pola itu mengacu kepada jenis dan urutan
perilaku tersebut tampak dipergunakan dan atau diperagakan guru-murid dalam
bermacam-macam peristiwa belajar. Jadi konsep strategi ini mengacu kepada karaktersitik
abstrak rentetan perbuatan guru-murid di dalam peristiwa belajar-mengajar.
Implisit di balik karakteristik abstrak itu adalah penalaran (rasionel) yang
membedakan strategi yang satu dengan strategi yang lain secara mendasar. Patut
diingat juga bahwa istilah strategi ini sering dikacaukan dengan pendekatan.Berikut
ini dikemukakan berbagai strategi pembelajaran sebagaimana dikemukakan oleh
Raka Joni (1984).
2.
Berbagai Strategi
Berbagai strategi dapat dimunculkan
dari beberapa dasar penggolongan.
(1) Berdasarkan pengaturan
guru-siswa.
Dari segi pengaturan guru, dapat
dibedakan strategi pembelajaran oleh seorang guru atau oleh tim
pengajar. Lalu, berdasarkan hubungan guru-siswa, dapat dibedakan strategi
pembelajaran tatap muka atau dengan media pembelajaran, misalnya
melalui media cetak, audiovisual (televisi, CD, VCD). Dari sudut siswa, dapat
dibedakan pembelajaran klasikal (seluruh kelas) atau kelompok kecil
(5-7 orang), atau individual.
(2) Struktur peristiwa
belajar-mengajar.
Dari sudut struktur ini dapat
dibedakan strategi pembelajaran tertutup, dalam arti segala sesuatunya
telah ditentukan secara relatif ketat dalam rancangan pembelajaran, dan
strategi yang relatif terbuka. Dalam hal ini tujuan khusus (kompetensi
yang hendak dicapai) dan bahan ajar serta prosedur yang akan ditempuh untuk
mencapai tujuan itu ditentukan ketika proses belajar-mengajar berlangsung.
Dalam model kedua itu peranan siswa bisa teramat besar. Penejlasan agak terperinci
tentang pembelajaran inkuiri akan disajikan kemudian.
(3) Peran
pembelajar-pebelajar di dalam mengolah pesan.
Tiap proses belajar-mengajar tentu
mempunyai tujuan atau kompetensi yang hendak dicapai, selalau ada pesan
yang bisa berupa pengetahuan (knowledge), wawasan, keterampilan, atau
isi pengajaran lainnya. Pesan itu dapat disajikan melalaui strategi ekspositoris
atau strategi heuristik atau hipotetis. Dalam strategi
ekspositoris pembelajar (guru) sudah mengolah tuntas sebelum proses
belajar-mengajar berlangsung lalu disampaikan kepada pebelajar (siswa).
Sebaliknya, dalam strategi heuristik pesan itu diolah sendiri oleh pebelajar
dengan bantuan, sedikit atau banyak, gurunya. Yang tergolong heuristik ialah
penemuan (discovery) dan inkuiri (inquiry). Dalam hal penemuan
siswa menemukan prinsip atau hubungan yang sebelumnya tidak diketahuinya
sebagai akibat dari pengalaman belajarnya yang sudah diatur oleh guru.
Contohnya ialah percobaan di dalam laboratorium. Di dalam inkuiri, struktur
peristiwa belajar benar-benar bersifat terbuka, dalam arti siswa sepenuhnya
dilepas untuk menemukan sesuatu melalui proses asimilalsi, yaitu proses
“memasukkan” hasil pengamatannya ke dalam struktur kognitifnya yang telah
tersedia, dan proses akomodasi, yaitu dengan mengadakan
perubahan-perubahan (modifikasi) atau penyesuaian-penyesuaian di dalam struktur
kognitifnya yang lama sehingga cocok dengan gejala (pengetahuan) baru yang
diamati.
(4) Proses pengolahan pesan.
Bagaimanapun yang namanya belajar
itu mesti melibatkan proses berpikir, khususnya dalam mengolah pesan, melalui
pengalaman belajarnya. Proses berpikir ini tidak sama dari orang ke orang, juga
tidak sama bagi bahan ajar yang berbeda-beda. Ada proses pengolahan pesan yang
berpangkal pada yang umum (generik), berupa teori, hukum, prinsip,
rumus, kepercayaan, dsb. untuk dilihat keberlakuan atau akibatnya pada
gejala-gejala yang khusus. Strategi ini disebut strategi deduktif.
Sebaliknya, ada peristiwa belajar-mengajar yang pengolahan pesannya
bertolak dari conntoh-contoh atau gejala-gejala konkret menuju ke perampatan
(generalisasi) atau prinsip yang bersifat umum. Strategi belajar yang
bergerak dari khusus ke umum ini disebut strategi induktif.
Bruce Joyce dan Marsha Weil (1972)
mengadakan pengelompokan lain yang dianggap para pakar lebih komprehensif,
dalam arti bahwa penggolongan ini dilakukan dengan memperhatikan beberapa
faktor sekaligus, seperti wawasan tentang manusia dan dunianya, tujuan belajar,
dan lingkungan belajar. Mereka mengemukakan empat kelompok model atau strtaegi
pembelajaran.
(1) Kelompok model-model
interaksi sosial.
Kelompok model-model ini didasarkan
kepada dua asumsi pokok, yaitu (a) masalah-masalah sosial diidentifikasi dan
dipecahkan atas dasar dan melalui kesepakatan yang diperolah di dalam, dan
dengan menggunakan proses-proses sosial, dan (b) proses sosial yang demokratis
perlu dikembangkan untuk melakukan perbaikan masyarakat dalam arti
seluas-luasnya secara built-in dan terus-menerus.
Yang tergolong kelompok ini ialah
pengajaran dengan model yurisprudensi, yasng bertujuan untuk melatih kemampuan
berpikir sebagaimana dibutuhkan di dalam penelitian IPA, meskipun penerapannya
di dalam ilmu-ilmu sosial untuk dapat memahami peristiwa kemasyarakatan juga
diharapkan. Yang lain ialah model kerja kelompok, yang menekankan pembentukan
keterampilan untuk ambil bagian dalam proses-proses kelompok yang menekankan
keterampilan komunikaksi antarpribadi (interpersonal), bekerja dan inkuiri
ilmiah. Pembentukan pribadi di dalam aspek-aspek di atas merupakan hasil
pengiring yang penting yang hendak dicapai. (Lihat pendekatan sosial di atas!).
(2) Kelompok model-model
pengolahan informasi.
Kelompok ini bertolak dari
prinsip-prinsip pengolahan informasi oleh manusia: bagaimana manusia menangani
rangsangan dari lingkungan, mengolah data, mendeteksi masalah, menyusun konsep,
memecahkan masalah, dan menggunakan lambang-lambang. Model-model ini sangat
bermanfaat untuk pembentukan kemampuan berpikir induktif yang banyak diperlukan
dalam kegiatan akademik, tetapi juga bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari.
Model ini juga penting bagi pembentukan konsep, pembentukan kemampuan berpkir
pada umumnya tetapi juga untuk kemampuan sosial-moral, dan untuk proses
berpikir akomodatif.
(3) Kelompok model-model personal
— humanistik.
Model-model ini meletakkan nilai
tertinggi pada perkembangan pribadi di dalam memandang dan membangun realitas,
yang melihat manusia terutama sebagai pembuat makna (meaning maker).
Atau dengan kata lian, kelompok ini mengutamakan proses perngorganisasian
internal yang dilakukan individu serta pengaruhnya terhadap cara dan proses
“pergaulan” individu tersebut dengan lingkungannya dengan dirinya sendiri.
Model-model mengajar dalam kelompok ini sangat mementingkan efek pengiring (nurturent
effects) sistem lingkungan belajar. Contoh dari model ini ialah model
pengajaran non-direktif dari Carl Rogers yang bermanfaat untuk
pembentukan kemampuan belajar mandiri untuk mencapai pemahaman dan penemuan
diri sendiri sehingga terbentuk konsep diri (self-concept). Yang lain
ialah model sinektetik dari William Gordon, bermanfaat untuk pembentukan
kreativitas dan kemampuan secara kreatif.
(4) Kelompok model-model
modifikasi perilaku.
Ini bertolak dari psikologi
behavioristik, yang mementingkan penciptaan sistem lingkungan belajar yang
memungkinkan manipulasi penguatan (reinforcement) terhadap perilaku
secara efektif sehingga terbentuk pola perilaku yang dikehendaki. Istilah
teknis yang digunakan untuk proses pembentukan perilaku dengan manipulasi ini shaping
(Inggris to shape ‘membentuk’). Contohnya ialah model operant
conditioning dari tokoh behaviorisme, B.F.Skinner.
Dari sumber-sumber lain dapat dapat
ditambahkan beberapa strategi pembelajaran yang berikut.
(1) Strategi inkuiri.
Strategi yang sangat dianjurkan oleh
Bruner (1966) ini dapat dipandang sebagai unsur penting dalam teori
konstruktivisme. Dalam strategi inkuiri siswa didorong untuk secara aktif
terlibat dalam kegiatan belajarnya dan membangun konsep-konsep bagi dirinya
sendiri. Ini berarti perilaku guru untuk selalu “menceramahi” dalam bentuk
sajian teori, hukum, prinsip, dsb yang bersifat induktif harus dihindari. Model
inkuiri akan sangat memacu siswa untuk selalu ingin tahu dan memotivasi siswa
untuk mandiri dalam menentukan solusi, dan berpikir kritis. Dari paparan
singkat di atas, kita dapat melihat bahwa strategi ini senafas dengan
pendekatan CBSA, keterampilan proses, dan pendekatan komunikatif. Dalam hal itu
guru dapat membantu dan melatih dengan pertanyaan-pertanyaan pendalaman.Dalam
pembelajaran bahasa Indonesia strategi ini dapat digunakan, misalnya, dalam
membaca pemahaman. Siswa dapat diminta untuk mencari dan menemukan makna
kata-kata tertentu di dalam kamus. Dari situ mereka akan tertantang untuk
“melihat” kata-kata lain. Pelajaran tentang polisemi, homonimi, makna kias, dsb
juga dapat menggunakan strategi ini dengan memanfaatkan kamus. Dalam hal
keterampilan mendengarkan guru dapat memanfaatkan televisi dengan berbagao
ragam bahasanya.
(2) Model pembelajaran berbasis
masalah.
Model pembelajaran yang juga
menekankan pentingnya berpikir kritis, terutama berpikir tingkat tinggi, juga
dianut oleh model ini. Tujuannya agar siswa dapat memperoleh pengetahuan dan
konsep esensial dari bahan ajar. Kadang-kadang strategi ini juga disebut
“pendekatan”, dan sama dengan istilah-istilah seperti Pembelajaran
Berbasis-Proyek (Project-Based Learning), Pendidikan Berbasis
Pengalaman (Experience-Based Education), Pembelajaran Autentik
(Authentic Learning), Pembelajaran Berpijak pada Kenyataan Hidup
(Anchored Instruction).
Salah satu ciri penting dari model
ini ialah penentuan sebuah masalah (problematik) yang dapat dirumuskan dalam
sebuah pertanyaan. Masalah ini akan dikaji dan diteliti, dicarikan
pemecahannya. Dalam hal yang berhubungan dengan masalah sosial dan humaniora,
pemecahannya tentu tidak cukup dari satu aspek tertentu, tetapi diperlukan
perlakuan antardisiplin ilmu. Penelitian ini harus berakhir dengan sebuah
produk atau karya tertulis yang harus disajikan secara lisan atau dipajang.
Tujuan model ini ialah membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir
kritis, kemampuan memecahkan masalah, dan secara umum mengembangkan
keterampilan intelektual.
(3) Model pembelajaran kooperatif.
Kita sudah maklum, tidak ada dua
manusia yang persis sama dalam berbagai hal. Tiap siswa adalah individu yang
unik. Perbedaan inilah yang seharusnya dimanfaatkan oleh dunia pendidikan.
Mereka dapat dimanipulasikan oleh guru untuk belajar secara kooperatif, bekerja
sama. Ini yang disebut belajar secara kooperatif (kooperative
learning) atau belajar secara sosial (social learning).
Dengan cara ini potensi-potensi positif yang ada di dalam diri tiap siswa
dipertemukan dalam kegiatan belajar bersama, dalam kelompok-kelompok kecil (5-7
orang), tidak hanya untuk hal-hal yang bersifat intelektual melainkan juga
untuk urusan sikap dan nilai. Dalam budaya Jawa konsep ini mungkin lebih tepat
dipahami sebagai perilaku yang “serba saling”, yaitu saling asih, saling
asah, dan saling asuh, yang secara sederhana dapat dikatakan bahwa
belajar secara kooperatif itu dapat membangun rasa kasih sayang (yang kuat dan
“pandai” menyayangi dan membantu yang lemah dan “kurang pandai”), membangun
kebiasaan bertukar pikiran, berdiskusi, bermusyawarah dengan sesama teman atau
orang lain, dan membangun kerja sama, kebiasaan saling mengingatkan, saling
melengkapi (bukan saling bersaing dan bertentangan). Dari sini pula ditunjukkan
adanya ketergantungan antarmanusia, perlu dan manfaatnya hubungan dan kontak
pribadi melalui pertemuan tatap muka, sehingga terjalin komunikasi terbuka
sehingga terjalin persaudaraan, pertemanan, dan solidaritas, tetapi juga
terbangun tanggung jawab individu untuk jalinan tersebut. Untuk itu patut
disarankan adanya pengelompokan yang bersifat heterogen. Dalam pelajaran
bahasa dan sastra Indonesia, siswa secara berkelompok bisa, misalnya, menyusun
pantun atau puisi, mengisi teka-teki silang, menulis anekdot atau naskah
pidato, menyusun laporan, dsb.
3. Memilih
Strategi.
Strategi itu boleh saja kita
umpamakan sebagai penggunaan salah satu pendekatan (atau lebih), berikut
metode-metode dan teknik-teknik yang cocok untuk ketiga hal di atas.Dalam dunia
pengajaran bahasa dipahami bahwa pendekatan itu bersifat aksiomatis,
mengacu kepada asumsi, teori, prinsip, hukum, dsb. tentang psikologi belajar
dan tentang bahasa yang kita yakini kebenarannya. Metode bersifat
prosedural, yaitu langkah-langkah pembelajaran yang sesuai dengan pendekatan
yang sudah ditentukan. Teknik merupakan implementasi dari metode itu.
Jika, misalnya, guru sudah menentukan “strategi” CBSA, atau strategi
“semi-terbuka” dan inkuiri, dengan pendekatan komunikatif, maka dia harus
melihat ketiga hal tsb, kemudian mengharmoniskannya dengan strategi terpilih.
Jika pendekatan komunikatif yang dipilih, maka seluruh metode dan teknik tidak
boleh menyimpang dari prinsip-prinsip komunikatif. Misalnya, jangan mengajarkan
struktur bahasa atau kaidah tatabahasa, seperti mempersoaalkan apa kalimat
tanya itu, susunannya bagaimana, intonasinya bagaimana, dst., apalagi membahas
kalimat tanya tanpa mengaitkannya dengan keterampilan berbahasa tertentu,
apalagi paparannya lebih banyak didominasi guru, karena semuanya itu
bertentangan dengan CBSA dan pendekatan komunikatif.
Andaikata Anda mengajar di SMP di
wilayah pedesaan. Cobalah dulu membayangkan seperti apa karateristik mereka
dari segi perkembangan kognitifnya, keadaan sosial-ekonominya, dsb. Yang Anda
hadapi adalah siswa kelas 3 (atau kelas 9). Anda bayangkan berapa rerata usia
mereka, kemampuan berbahasanya seperti apa. Kemampuan yang hendak dicapai ialah
menulis dengan bahan ajar paragraf argumentasi. Bayangkan seperti apa
kira-kira motivasi dan minat mereka untuk menulis, dan kemampuan mereka untuk
berargumentasi. Jika jawaban untuk semua itu “kurang positif”, maka Anda perlu
memakai metode imitasi, yakni minta siswa untuk membaca contoh-contoh
dalam bacaan; gunakan pula teknik pertanyaan atau pancingan,yakni
memancing minat siswa dengan berbagai pertanyaan, memancing dengan pertanyaan
agar siswa memberikan argumen, dst. Dalam seperti agak sulit jika guru memakai
strategi “terbuka”. Mungkin guru perlu memakai strategi pengajaran berkelompok
dengan strategi induktif.
c.
Indikator Esensial:
Menyusun rancangan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
berdasarkan strategi yang telah dipilih.
Deskriptor:
1)
Menyusun silabus dan rencana pembelajaran;
2)
Merancang kerangka pengalaman belajar (tatap muka, terstruktur, dan mandiri)
untuk mencapai kompetensi;
3)
Memilih dan mengorganisasikan materi dan bahan ajar;
4)
Memilih dan merancang media dan sumber belajar yang diperlukan;
5)
Membuat rancangan evaluasi proses dan penilaian hasil belajar.
Bahan:
1. Silabus.
Seorang guru dintuntut menguasai
seluruh isi materi kurikulum sebagai bagian pokok dari kompetensi profesionalnya.
Kurikulum itu menurunkan silabus. Sebenarnya tiap guru wajib menyusun sendiri
silabus bagi sekolah dan siswa-siswanya sendiri. Artinya, silabus merupakan
hasil penyesuaian antara kurikulum nasional dengan kondisi dan karakteristik
sekolah dan siswa. Tetapi, yang sangat mungkin sebagian dari silabus itu,
sedikit atau banyak, sudah disepakati bersama oleh sekelompok guru bidang
studi.
Silabus berisi uraian program yang
mencantumkan bidang studi yang diajarkan, tingkat sekolah, semester, pengelompokan
kompetensi dasar, materi pokok, indikator, tema, strategi pembelajaran, alokasi
waktu, dan strategi asesmennya. Wujudnya serupa dengan GBPP. Dari silabus
diturunkan ke rencana pembelajaran (RP).
2.
Rancangan Pembelajaran.
RP diturunkan dari silabus. RP
merupakan rancangan pembelajaran yang disusun guru untuk satu atau dua
pertemuan untuk mencapai satu kompetensi dasar. RP itu harus merupakan program
yang dapat diterapkan di dalam kelas. Isinya berupa gambaran tentang kompetensi
dasar (yang hendak dicapai), indikator, materi pokok, skenario pembelajaran
tahap demi tahap, dan penilaian belajar.
(1) Merumuskan tujuan/kompetensi
dasar.
Kompetensi dasar atau indikator
hasil belajar harus dirumuskan secara jelas-gamblang. Jika kita menggunakan
model Tujuan Instruksional Khusus (TIK), maka rumusannya harus mengandung
unsur: A (audience), yakni siswa; B (behaviour), yaitu perilaku
yang diharapkan dikuasai siswa; C (condition) yakni syarat atau kondisi
yang diciptakan guru untuk mencapai perilaku yang diharapkan, dan D (degree),
yaitu tingkat atau kriteria keberhasilan belajar. Jika tujuan itu diperinci
dalam beberapa jenjang maka urutannya harus logis, dalam arti dari yang mudah
ke yang sukar, dari yang sederhana ke yang kompleks, dari yang konkret ke yang
abstrak, dari berpikir tingkat rendah ke berpikir tingkat tinggi.
Di samping tujuan, yang hakikatnya
merupakan dampak atau hasil instruksional (instructional effects), guru
juga harus merancang dampak atau hasil pengiring (nurturent effects)-nya.
Hasil atau efek instruksional adalah hasil langsung dari tindak mengajar, yaitu
hasil yang dirumuskan di dalam kompetensi dasar atau tujuan tersebut. Jika
tujuan instruksionalnya dirumuskan “Diberi sebuah topik tentang pariwisata
siswa mampu menyusun sebuah paragraf argumentatif terdiri dari 200 kata.”,
maka hasil instruksionalnya pastilah sesuai dengan rumusan itu. Tetapi, di
balik rumusan itu haruslah dirumuskan juga pengetahuan, keterampilan, sikap,
nilai, atau wawasan yang terbentuk sebagai hasil yang mengiringi tujuan-tujuan
instruksional tadi. Misalnya: mengetahui cara berargumentasi, terampil
berdebat, berbahasa secara logis, bernalar dalam bahasa, berpikir kritis,
santun dalam berargumen, jujur dan bertanggung jawab atas kritik-kritiknya,
dsb. Berbeda dengan hasil instruksional yang segera bisa dilihat setelah,
misalnya, siswa diberi tes hasil belajar, dampak pengiring ini mungkin baru
dapat tercapai dalam beberapa pertemuan.
(2) Mengembangkan dan
mengorganisasikan materi, media pembelajaran, dan sumber belajar.
Pertama harus dibedakan antara media
pembelajaran (bagan, gambar, grafik, jangka,
penggaris, hand-out, LKS,
dsb) dengan sumber belajar (kamus umum, kamus istilah, ensiklopedi, buku teks,
buku sumber, dsb). Media dapat dibagi menjadi media cetak (hand-out, LKS)
dan media elektronik (mesin perekam, televisi, komputer, CD, VCD).Dapat
pula dibedakan antara media pandang atau media visual (bagan,
gambar, grafik), media dengar atau audio (mesin perekam, kaset,
radio), dan media dengar-pandang atau audio-visual (televiisi,
CD, VCD). Kedua unsur di atas, sedikit atau banyak, harus ada dan
tersedia; keduanya harus sesuai dengan kompetensi yang hendak dicapai dan
bahan-ajar. Di dalam RP guru harus secara jelas menyebutkan apa medianya
dan apa sumber belajarnya, difungsikan untuk apa, dan mengapa menggunakan media
ini dan sumber belajar itu. Misalnya, jika kompetensi dasarnya berhubungan
dengan keterampilan mendengarkan, mungkin perlu disediakan media cetak berupa
formulir isian (berisi hal-hal yang perlu diperhatikan) atau hand-out
(lembar pegangan), dan media elektronik berupa radio, mesin perekam, atau
televisi. Sumber belajarnya mungkin berupa buku teks dan kamus (KBBI). Sumber
belajar ini juga harus sesuai dengan tingkat perkembangan siswa, dan dengan
lingkungan siswa, di samping dengan materi.
Dalam hal materi yang perlu
diperhatikan ialah cakupannya, baik secara kuantitas (keluasannya)
maupun secara kualitas (kedalamannya). Sistematika materi harus ditata
(diurut, disusun) secara logis. Materi juga harus disesuaikan dengan kemampuan
dan kebutuhan siswa. Untuk itu diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang
mendalam tentang siswa (Ingat pendekatan kontekstual!). Materi yang “terlalu
mudah” bagi siswa akan membuat siswa jenuh dan tidak bermanfaat bagi mereka;
materi yang “terlalu sulit”, karena terlalu jauh dari pengetahuan-awal mereka,
akan menyebabkan siswa tidak termotivasi untuk mempelajarinya, bahkan bisa
frustrasi. Akhirnya, guru harus memperhatikan kemutakhiran materi itu, berikut
contoh dan ilustrasinya.
(3) Merencanakan skenario
kegiatan pembelajaran.
Skenario adalah sebuah rancangan
berupa kerangka pengalaman belajar, dalam bentuk perilaku belajar sswa.
Pengalaman belajar itu biasanya dilakukan dengan tatap muka antara guru-siswa,
tetapi dapat pula dalam bentuk belajar terstruktur dan mandiri. Belajar
terstruktur ialah belajar untuk mendalami materi sajian, yang dalam kurikulum
lama mungkin disebut kegiatan kokurikuler, wujudnya bisa berupa latihan,
mencari contoh-contoh pendukung, dsb. Belajar mandiri merupakan kegiatan
belajar yang mengarah ke perluasan atau penerapan materi di luar kelas.
(4) Rancangan evaluasi proses dan
hasil belajar.
Penilaian (evaluasi, asesmen) yang
dirancang mencakup dua kegiatan, yaitu penilaian proses dan penilaian hasil
belajar. Penilaian proses menyoroti perilaku siswa selama proses
belajar-mengajar, perilaku yang dapat diamati dan mencakup, misalnya prakarsa
siswa untuk bertanya, menyumbangkan saran/pikiran, menjawab pertanyaan,
memberikan saran perbaikan, mengoreksi kesalahan, kesediaan untuk membantu
teman, dsb. Semua itu menunjukkan aktivitas siswa. Untuk itu barangkali
yang perlu disiapkan guru ialah blanko (form) pengamatan, yang dapat diisi
segera setelah proses belajar-mengajar usai. Di dalam blanko itu dicantumkan
aktivitas-aktivitas apa yang hendak diamati guru sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai, dan semua itu harus sudah dirancang dalam RP. Jadi
penilaian proses itu merupakan penilaian yang bersifat nontes.
Penilaian hasil belajar biasanya
berupa tes. Untuk itu guru harus menentukan dulu jenis dan prosedur
penilaian, serta menyiapkan alat evaluasi. Jika hasil belajar akan
dinilai dengan tes esai, tentukan langkah-langkah yang harus dilakukan
siswa. Tuliskan pertanyaan- pertanyaannya, berikut saran jawabannya. Sertakan pula
skor (termasuk bobotnya, jika ada) untuk masing-masing unsur dari jawaban itu.
Misalnya, jika siswa diminta menulis sebuah paragraf, guru harus sudah
menentukan unsur-unsur apa dari paragraf itu yang akan dinilai: urutan yang
logis, kohesi dan koherensi, diksi, ejaan, dsb. Masing-masing unsur itu dapat
diberi bobot skor yang berbeda-beda. Yang penting syarat-syarat untuk melakukan
tugas itu harus jelas bagi siswa (supaya tidak salah mengerjakan) dan guru
(supaya mudah menskor dan menilai).
Jika penilaian dilakukan dengan tes
objektif, buatlah alatnya, yaitu berupa seperangkat butir tes yang sesuai
dengan tujuan dan materi, yang memang mampu mentes apa yang seharusnya dites,
berikut kunci jawabannya. Tes ini sebaiknya mencakup seluruh materi yang dipelajari
oleh siswa. Perhatikan jenjang kesulitan tes: jangan hanya bersifat hapalan (recall),
melainkan juga pemahaman dan penerapan, syukur bisa lebih.
DAFTAR
BACAAN
Ardiana, Leo Indra.dkk 2003. Penelitian
Tindakan Kelas. Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi Guru mata
pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Ditjen Dikdasmen.
Depdiknas. 2005. Buku Saku
Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Dit.PTK dan KPT.
Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar
dan Pembelajaran. Jakarta: Pusat Perbukuan & Rineka Cipta.
Gulö, W. 2002. Strategi
Belajar-Mengajar. Jakarta: Gramedia.
Joni,T.Raka. 1984. Strategi
Belajar-Mengajar, suatu Tinjauan Pengantar. Jakarta: Ditjen Dikti, P2LPTK.
Joni, T.Raka.1985. Cara Belajar
Siswa Aktif, Implikasinya terhadap Sistem Penyampaian. Jakarta: Ditjen
Dikti, P2LPTK.
Joni,T.Raka, dkk. 1985. Wawasan
Kependidikan Guru. Jakarta: Ditjen Dikti, P2LPTK.
Mappa, Syamsu, dkk. 1984. Teori
Belajar-Mengajar. Jakarta: Ditjen Dikti, P2LPTK.
Nurhadi dkk. 2003. Pembelajaran
Kontekstual. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat
Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Suparno, Paul. 2004. Teori
Inteligensi Ganda, dan Aplikasinya di Sekolah. Yogyakarta: Kanisius.
Sumarsono. 2002. Filsafat Bahasa.
Jakarta: Grasindo
Baca Juga Artikel Di Bawah Ini: