BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Deskripsi
singkat tentang kurikulum apa saja yang pernah dikembangkan dalam program
pendidikan di negeri tercinta Indonesia. Salah satu konsep terpenting untuk
maju adalah “melakukan perubahan”, tentu yang kita harapkan adalah perubahan
untuk menuju keperbaikan dan sebuah perubahan selalu di sertai dengan
konsekuensi-konsekuensi yang sudah selayaknya di pertimbangkan agar tumbuh
kebijakan bijaksana. Ini adalah perkembangan Kurikulum Pendidikan Kita.
Konsep
terpenting yang perlu mendapatkan penjelasan dalam teori kurikulum adalah
konsep kurikulum. Karena kurikulum dapat sebagai suatu subtansi, suatu
kurikulum dipandang orang sebagai suatu rencana kegiatan belajar bagi
murid-murid di sekolah atau sebagai suatu perangkat tujuan yang ingin dicapai.
Konsep kedua
kurikulum sebagai suatu sistem, yaitu sistem kurikulum yang merupakan bagian
dari sistem persekolahan, pendidikan bahkan sistem masyarakat.
Konsep yang
terakhir kurikulum sebagai suatu bidang study kurikulum yang merupakan bidang
kajian para ahli kurikulum dan ahli pendidikan dan pengajaran.
Model konsep
kurikulumpun berlainan macamnya, yang semua itu berasal dari teori pendidikan,
yang termasuk model atau konsep kurikulum meliputi kurikulum humanistic dan
rekontruksi sosial. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini akan dibahas lebih
terperinci lagi tentang kurikulum humanistic dan rekontruksi sosial.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan kurikulum?
2.
Program kurikulum pendidikan apa saja yang telah dikembangkan di Indonesia?
3.
Bagaimana konsep dari kurikulum pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kurikulum
Perkataan
kurikulum dikenal sebagai suatu istilah dalam dunia pendidikan sejak kurang
dari satu abad yang lampau. Perkataan ini belum terdapat dalam kamus Webster
tahun 1812 dan baru timbul untuk pertama kalinya dalam kamusnya tahun 1856.
Artinya pada
waktu itu artinya ialah:
- A race course ; a place for
running ; a chariot.
- A courase in general ; applied
particulary to the course of study in a university.
Jadi dengan
“kurikulum” dimaksud jarak yang harus di tempuh oleh pelari atau kereta dalam
perlombaan, dari awal sampai akhir. “kurikulum” juga berarti “chariot” semacam
kereta pacu pada zaman dahulu, yakni suatu alat yang membawa seseorang dari
“start” sampai “finish”.
Disampaing
penggunaan “kurikulum” semula dalam bidang olah raga, kemudian dipakai
dalam bidang pendidikan, yakni sejumlah mata kuliah di perguruan tinggi.
Di Indonesia
istilah “kurikulum” boleh dikatakan baru menjadi popular sejak tahun lima
puluhan yang dipopulerkan oleh mereka yang memperoleh pendidikan di America
serikat. Sebelumnya yang lazim digunakan ialah “rencana pelajaran” pada
hakikatnya kurikulum sama artinya dengan rencana pelajaran.
Dalam teori
praktik, pengertian kurikulum yang lama sudah banyak ditinggalkan. Para
ahli-ahli pendidikan kebanyakan memberi arti atau istilah yang lebih luas.
Perubahan
ini terjadi karena ketidakpuasan dengan hasil pendidikan di sekolah dan ingin
selalu memperbaiki.
Selain itu
yang mempengaruhi perubahan dari makna atau arti kurikulum adalah perkembangan
teknologi dan ilmu pengetahuan yang dapat mengubah perkembangan dan kebutuhan
masyarakat.
Disamping
itu banyak timbul pendapat-pendapat baru, tentang hakikat dan perkembangan
anak, cara belajar, tentang masyarakat dan ilmu pengetahuan yang memaksa
diadakannya perubahan dalam kurikulum. Pengembangan kurikulum adalah proses
yang tak hentinya, yang harus dilakukan secara kontinu.
Namun,
mengubah kurikulum bukanlah pekerjaan yang mudah, praktek pendidikan disekolah
senantiasa jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan teori kurikulum. Bukan
suatu yang aneh. Bila suatu teori kurikulum baru menjadi kenyataan setelah 50
sampai 75 tahun kemudian.
Dengan
bertambahnya tanggung jawab sekolah timbulah berbagai macam definisi kurikulum,
sehingga semakin sukar memastikan apakah sebenarnya kurikulum itu.
Akhirnya setiap pendidikan, setiap guru harus menentukan sendiri apakah
kurikulum itu bagi dirinya. Pengertian yang dianut oleh seseorang akan
mempengaruhi kegiatan belajar mengajar dalam kelas maupun diluar kelas.
Dibawah ini
beberapa kurikulum menurut beberapa kurikulum menurut beberapa ahli kurikulum.
1.
J. Galen Taylor dan William M. Alexander dalam buku curriculum planning for
better teaching and learning (1956). Menjelaskan arti kurikulum sebagai berikut
“segala usaha untuk mempengaruhi anak belajar, apakah dalam ruang kelas, di
halaman sekolah atau diluar sekolah termasuk kurikulum.
Kurikulum
meliputi juga apa yang disebut kegiatan extra kurikuler
2.
Harold B. Albertycs. Dalam reorganizing the high school curriculum (1965).
Memandang kurikulum sebagai “all school”. Seperti halnya dengan definisi saylor
dan Alexander, kurikulum tidak terbatas pada mata pelajaran akan tetapi juga
meliputi kegiatan-kegiatan lain, di dalam dan diluar kelas, yang berada dibawah
tanggung jawab sekolah.
3.
B. Othanel Smith, w.o. Stanley, dan J. Harjan Shores. Memandang kurikulum
sebagai “a sequence of potential experience set up in the school for the
purpose of diseliping ehildren and youth in group ways of thinking and
acthing”. Mereka melihat kurikulum sebagai sejumlah pengalaman yang secara
potensial dapat diberikan kepada anak dan pemuda, agar mereka dapat
berfikir dan berbuat sesuai dengan masyarakatnya.
4.
William B Ragan, dalam buku modern elementary curriculum (1966) menjelaskan
arti kurikulum sebagai berikut:
Ragan
menggunakan kurikulum dalam arti luas, yang meliputi seluruh program dan
kehidupan dalam sekolah, yakni segala pengalaman anak dibawah tanggung
jawab sekolah.
Kurikulum
tidak hanya meliputi bahan pelajaran tetapi meliputi seluruh kehidupan dalam
kelas. Jadi hubungan social antara guru dan murid, metode pembelajaran, cara
mengevaluasi termasuk kurikulum.
5.
J. Lloyd Trump dan Dalmes F. Miller dalam bukunya secondary school improfement
(1973). Juga menganut definisi kurikulum yang luas, menurut mereka dalam
kurikulum juga termasuk metode mengajar dan belajar, cara mengevaluasi murid
dan seluruh program, perubahan tenaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan,
supervise dan administrasi dan hal-hal structural mengenai waktu, jumlah
ruangan serta kemungkinan memilih mata pelajaran.
6.
Alice Miel juga menganut pendirian yang luas mengenai kurikulum. Dalam bukunya
changing the curriculum : a social process (1946) ia mengemukakan bahwa kurikulum
juga meliputi keadaan gedung, suasana sekolah, keinginan, keyakinan,
pengetahuan dan sikap orang-orang melayani dan dilayani sekolah, yakni anak
didik, masyarakat, para pendidik, dan personalia. Definisi Miel tentang
kurikulum sangat luas yang mencakup yang meliputi bukan hanya
pengetahuan, kecakapan, kebiasaan-kebiasaan, sikap, aspirasi, cita-cita serta
norma-norma melainkan juga pribadi guru, kepala sekolah serta seluruh pegawai
sekolah.
7.
Edward A, Krug dalam secondary school curriculum (1960) menunjukan pendirian
yang terbatas tapi realities tentang kurikulum, kurikulum dilihatnya sebagai
cita-cita dan usaha untuk mencapai tujuan persekolahan. Ia membedakan tugas
sekolah mengenai perkembangan anak dan tanggung jawab lembaga pendidikan lainnya
seperti rumah tangga, lembaga agama, masyarakat, dan lain-lainnya.
Berbagai
tafsiran tentang kurikulum dapat kita tinjau dari segi lain, sehingga kita
peroleh penggolongan sebagai bertikut:
1)
Kurikulum dapat dilihat sebagai produk, yakni sebagai hasil karya para
pengembangan kurikulum, biasanya dalam suatu panitia.
2)
Kurikulum yang pula dipandang sebagai program, yakni alat yang dilakukan oleh
sekolah untuk mencapai tujuannya.
3)
Kurikulum dapat pula dipamdang sebagai hal-hal yang diharapkan akan dipelajari
siswa, yakni pengetahuan, sikap, keterampilan tertentu.
4)
Kurikulum sebagai pengalaman siswa. Ketiga pandangan di atas berkenaan dengan
perencanaan kurikulum sedangkan pandangan ini mengenai apa yang secara
actual menjadi kenyataan pada setial siswa.
B. Program
Kurikulum Pendidikan
1. Rencana
Pelajaran 1947
Kurikulum
pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam
bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum
(bahasa Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari
orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan
ditetapkan Pancasila.
Rencana
Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan
menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya
memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus
garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan
pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan
bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari,
perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
2. Rencana
Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum
ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai
1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata
pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode
1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan
Tanjung Pinang, Riau.
Di
penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum
1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral
(Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang
studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan
jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan
fungsional praktis.
3. Kurikulum
1968
Kelahiran
Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang
dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia
Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi
pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan
khusus. Jumlah pelajarannya 9.
Djauzak
menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran
pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak
mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi
apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
4. Kurikulum
1975
Kurikulum
1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang
melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO
(management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi,
Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas.
Metode,
materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem
Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana
pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk
umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran,
kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru
dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan
pembelajaran.
5. Kurikulum
1984
Kurikulum
1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses,
tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum
1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari
mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini
disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh
penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan,
Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP
Jakarta — sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA
yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang
diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara
nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang
terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini
ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah.
Penolakan CBSA bermunculan.
6. Kurikulum
1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum
1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya.
“Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984,
antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan.
Sayang,
perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban
belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi
muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa
daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan
kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam
kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat.
Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999.
Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.
7. Kurikulum
2004
Bahasa
kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar
kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila
dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah
maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang
ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian
yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa.
Meski baru
diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar
di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun
tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum.
(sumber: depdiknas.go.id)
8. KTSP 2006
Awal 2006
ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian
target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak
perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru
lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan
lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan
karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan
kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan
telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan
perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan
kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi
pemerintah Kabupaten/Kota. (TIAR).
C. Konsep
Kurikulum
Konsep
kurikulum yakni: kurikulum Humanistik, kurikulum rekontruksi sosial kurikulum
teknologi, dan kurikulum subyek akademis.
Tetapi pada
pembahasan ini lebih ditonjolkan pada pembahasan kurikulum humanistik dan
rekontruksi sosial.
1. Kurikulum
Humanistik
Kurikulum
Humanistik dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistic. Kurikulum ini
berdasarkan konsep aliran pendidikan pribadi. Dalam pandangan humanisme,
kurikulum sebagai sesuatu yang dapat menunjang perkembangan anak dalam aspek
memenuhi kebutuhan individu untuk mencapai integrafi perkembangan dalam menuju
aktualisasi diri.
Kurikulum
Humanistik menitik beratkan pada pendidikan yang integrative antara aspek
afektif (emosi, sikap, dan nilai) dengan aspek kognitif (pengetahuan dan
kecakapan intelektual) atau menambah aspek emosional ke dalam kurikulum yang
berorientasi pada subyek metter (mata pelajaran). Pendidikan humanistic
menekankan peranan siswa. Tugas guru adalah menciptakan situasi yang permisif
dan mendorong siswa untuk mencari dan mengembangkan pemecahan sendir atau
bagaimana merasakan atua bersikap terhadap sesuatu.
Aliran yang
termasuk dalam pendidikan humanistic yaitu pendidikan konfluen, kritikisme
radikal dan mistikisme modern.
a.
Pendidikan konfluen
Pendidikan
yang memandang anak sebagai satu keseluruhan diri. Pendidikan konfluen kurang
menekankan pengetahuan yang mengandung segi efektif. Menurut mereka kurikulum
tidak menyiapkan pendidikan tentang sikap perasaan dan nilai yang harus
dimiliki murid.
- Ciri-ciri kurikulum konkluen:
1.
Partisipasi => partisipasi dalam belajar
2.
Integrasi => interaksi dari pemikiran perasaan dan juga tindakan
3.
Relavansi => keterkaitan
4.
pribadi anak (self) => memberi tempat utama pada anak
5.
Tujuan => mengembangkan pribadi yang utuh yang serasi baik di dalam dirinya
maupun dengan lingkungannya.
Kurikulum
konfluen menyatukan pengetahuan abyektif dan subyektif berhubungan dengan
kehidupan siswa dan bermanfaat baik bagi individu maupun masyarakat.
- Metode-metode belajar konfluen
Dalam
kurikulum konfluen telah disusun kurikulum untuk berbagai bidang pengajaran
mencakup tujuan, topic yang akan dipelajari, alat-alat pelajaran dan buku teks
yang tersusun dalam bentuk rencana-rencana pelajaran. Unit-unit pelajaran yang
telah dujicobakan kebanyakkan bahan ini dengan teknik afektif.
Teknik
kofluen di antaranya: dyads yang merupakan latihan komunikasi afektif antara 2
orang, fantasi body trips merupakan pemahaman tentang badan dan diri individu,
ritual, suatu kegiatan untuk menciptakan kebiasaan, kegiatan/ritual baru.
b.
Pendidikan kritikisme radikal
Pendidikan
sebagai upaya untuk membantu anak mengembangkan sendiri potensi yang dimiliki.
Bersumber dari aliran naturalisme/ romantisme rousseau.
Dalam
pendidikan ini tidak ada pemaksaan yang ada adalah dorongan dan rangsangan
untuk berkembang.
c.
Mistikisme modern
Aliran yang
menekankan pada latihan dan pengembangan kepekaan perasaan, kehalusan budi
pekerti melalui sensitivity training, yoga, dan meditasi.
2.
Karakteristik Kurikulum Humanistik
a.
Tujuan
Fungsi
kurikulum memberikan pengalaman kepada setiap siswa untuk menunjang secara
intrinsik tercapainya perkembangan dan kemerolekaan pribadi.
Tujuan
pendidikan sebagai proses dinamika pribadi yang berhubungan dengan integrasi
dan otonomi pribadi yang ideal. Aktualisasi diri merupakan inti kurikulum
humanistik, artinya perwujudan diri yang ideal sebagai suatu kebutuhan.
b.
Metode
Kurikulum
humanistic menuntut hubungan emosiaonal antara guru dengan anak didik melalui
suasana belajar yang menyenangkan. Materi pelajaran hendaknya merangsang anak
belajar sedangkan guru mendorong para siswa untuk saling mempercayai dalam
proses.
c.
Organisasi
Salah satu kekuatan
besar kurikulum humanistik adalah terletak dalam integrasi, yang artinya
pencapaian kesatuan tingkah laku anak didik baik emosi pikiran dan tindakan.
Organisasi bertujuan untuk mengatasi kelemahan kurikulum tradisional yang
berorientasi pada materi yang gagal dalam menghubungankan psikologi anak.
d.
Evaluasi
Kurikulum
konvensional bertujuan sebagai kriteria hasil belajar. Kurikulum humanistik
lebih mengutamakan proses dari pada hasil artinya apakah aktifitas belajar yang
dapat membantu anak didik menjadi manusia yang lebih terbuka dan mandiri.
3. Kurikulum
Rekontruksi Sosial
Kurikulum
rekontruksi sosial lebih memusatkan perhatian pada problema-problema yang
dihadapinya dalam masyarakat. Kurikulum ini bersumber pada aliran pendidikan
interaksional. Menurut mereka pendidikan bukan upaya sendiri melainkan,
kegiatan bersama, interaksi, kerjasama, kerjasama. Kerjasama atau interaksi
bukan hanya terjadi antara siswa dengan guru tetap juga antara siswa dengan
siswa, siswa dengan orang dilingkungannya dan dengan sumber belajar lainnya.
Melalui kerjasama dan interaksi ini siswa berusa memecahkan problema-problema
yang dihadapinya dalam masyarakat menuju masyarakat yang lebih baik.
Para ahli
rekontruksi sosial memandang kurikulum harus mampu menolong membantu siswa
untuk menyesuaikan diri dengan masyarakatnya dengan ketrampilan-ketrampilan
yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan perubahan sosial. Kurikulum ini lebih
menekankan kepentingan individu dalam perubahan sosial.
Mereka ingin
menyakinkan murid-murid bagaimana masyarakat memuat warganya seperti yang ada
sekarang dan bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhan pribadi warganya melalui
kosensus sosial. Perubahan sosial tersebut harus dicapai melalui prosedur
demokrasi.
Para
rekontruksianis sosial menentan intimidasi, menakut-nakuti dan kompromi semu.
Mereka mendorong agar para siswa mempunyai pengetahuan yang cukup tentang
masalah-masalah sosial yang mendesak dan kerja sama atau bergotong royong untuk
memecahkannya.
a.
Desain kurikulum rekontruksi sosial
Ada beberapa
ciri desain kurikulum:
1)
Asumsi
Tujuan utama
kurikulum rekontruksi sosial adalah menhadapkan para siswa pada tantangan,
ancaman hambatan-hambatan atau gangguan-gangguan yang dihadapi manusia.
Tantangan-tantangan, ancaman-ancaman tersebut yang perlu didekati dalam bidang
ekonomi, sosiologi psikologi dan lain-lain.
2)
Masalah-masalah sosial yang mendesak
Merupakan
pemusatan kegiatan belajar yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan. Misalnya,
dapatkah kehidupan seperti sekarang ini memberikan kekuatan untuk menghadapi
ancaman-ancaman yang akan mengganggu integritas kemanusiaan?
Pertanyaan
tersebut mengundang pengungkapan lebih mendalam bukan saja dibuku-buku
melainkan yang dari kehidupan nyata dalam masyarakat.
3)
Pola-pola organisasi
Pada tingkat
sekolah menengah pola organisasi kurikulum disusun seperti sebuah roda.
Ditengahnya merupakan masalah yang menjadi tema utama dan dibahas secara pleno.
Dari tema dijabarkan sejumlah topik yang dibahas dalam diskusi.
b.
Karakteristik Kurikulum Rekontruksi Sosial
1)
Tujuan
Tujuan utama
kurikulum ini adalah untuk menghadapkan anak didik dengan tantangan-tantangan
hidup yang dihadapi manusia.
Isi
kurikulum diharapkan memberikan bekal kepada anak didik agar mampu menghadapi
tantangan kemanusiaan.
2)
Metode
Guru dapat
membantu anak didiknya untuk menemukan minatnya dan para membuat kurikulum
menghubungkan tujuan nasional/tujuan dunia dengan tujuan anak didik.
Dengan
begitu, anak didik dapat menggunakan minatnya untuk memecahkan masalah-masalah
sosial.
3)
Evaluasi
Ditujukan
kepada penilaiana terhadap kecakapan anak-anak didik dalam menghadapi
tujuan-tujuan kualitatif kurikulum rekontruksi sosial. Bentuk evaluasi yang
lebih ketat yakni ujian komprehansip yang diadakan akhirnya tahun ajaran yang
bertujuan untuk mensistensakan dan melihat keseluruhan pengetahuan, ketrampilan
dan sikap selama masih belajar.
4)
Pelaksanaan pengajaran rekontruksi sosial
Dilaksanakan
di daerah-daerah yang tergolong belum maju dan tingkat ekonominya juga belum
tinggi. Pelaksanaan pengajaran ini diarahakan untuk meningkatkan kondisi
kehidupan mereka. Sesuai dengan pontensi yang ada dalam masyarakat, sekolah
mempelajari potensi-potensi tersebut dengan bantuan biaya dari pemerintah
sekolah berusaha mengembangkan potensi tersebut.
Para ahli
kurikulum menyarankan agar isi kurikulum difokuskan pada penggalian-penggalian
sumber-sumber alam dan bukan alam, populasi kesejahteraan masyarakat dan
lain-lain.
4. Kurikulum
Tradisional Atau Progresif
Menjalankan
kurikulum tradisional atau progresif akan banyak mendapat tantangan, antara
lain dari pihak guru yang dikenal karena sikap koservatifnya, juga orang tua
yang mengecap pendidikan tradisional dan merasakan manfaatnya.
Menganut
kurikulum tradisional berpegang pada kurikulum yang di dasarkan atas subyek
atau mata pelajaran yang biasanya diberikan secara terpisah-pisah. Bahan mata
pelajaran di ambil dari berbagai disiplin ilmu yang dibina dan senantiasa
dikembangkan para ilmuwan dank arena itu mendapat penghargaan tinggi dari
masyarakat.
Penganut
kurikulum progresif atau modern tidak menolak ilmu, akan tetapi tidak
dipelajari demi ilmu itu sendiri, akan tetapi untuk dipergunakan dalam
memecahkan suatu masalah. Sambil memecahkan masalah siswa mengumpulkan ilmu yang
diperlukan.
Kurikulum
tradisional menyamaratakan semua siswa baik mengenai bahan, metode
belajar-mengajar, maupun evaluasi. Kurikulum progresif memperhatikan bahkan
membantu perkembangan keunikan individu. Kurikulum tradisional menerima
kenyataan dalam masyarakat sebagaimana adanya, sedangkan kurikulum progresif
berusaha untuk mengubah lingkungan untuk membentuk dunia yang lebih baik.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Di Indonesia
istilah “kurikulum” boleh dikatakan baru menjadi popular sejak tahun lima puluhan
yang dipopulerkan oleh mereka yang memperoleh pendidikan di America serikat.
Program
Kurikulum Pendidikan ada beberapa pereode antara lain; Rencana Pelajaran 1947,
Rencana Pelajaran Terurai 1952, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984,
Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum 2004, KTSP 2006.
Kurikulum
Humanistik adalah kurikulum yang menitik beratkan pada pendidikan yang
integrative antara aspek afektif dengan aspek kognitif atau menambahkan aspek
emosional ke dalam kurikulum pada mata pelajaran. Kurikulum rekontruksi sosial
kurikulum yang memusatkan perhatian pada masalah yang dihadapi masyarakat yang
bertanggung jawab untuk memperbaiki keadaan sosial. Lebih menekankan
kepentingan individu dalam perubahan sosial.
Daftar Pustaka
Syarief. A.
Hamid. Pengembangan Kurikulum, Pasuruan: Bauna Indah, 1993 .
Sukmadinata,
Nana Syaadih, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya,1997.
Baca Juga Artikel Di Bawah Ini: