Dalam kitab suci Al-Quran digunakan beberapa term/istilah yang digunakan
untuk mengungkapkan makna keadilan. Lafad-lafad tersebut jumlahnya banyak
dan berulang-ulang. Diantaranya lafad "al-adl" dalam Al-quran dalam berbagai bentuk terulang sebanyak 35 kali. Lafad "al-qisth" terulang sebanyak 24 kali. Lafad "al-wajnu" terulang sebanyak 23 kali. Dan lafad "al-wasth" sebanyak 5 kali (Muhamad Fu`ad Abdul Bagi dalam Mu`jam Mupathos Lialfaadhil Qur`an).
Dr. Hamzah Yakub membagi keadilan-keadilan menjadi dua bagian.
Allah berfirman dalam Al-Quran: "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang menegakan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap satu kaum, mendorong untuk kamu berbuat tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan". (Al-Maidah [5] : 8)
Keadilan adalah ketetapan Allah bagi kosmos atau alam raya ciptaan-Nya, karena menurut ajaran Islam keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh hajat raya. Oleh karenanya melanggar keadilan adalah melanggar hukum kosmos dan dosa ketidak adilan akan mempunyai dampak kehancuran tatanan masyarakat manusia. (Nurcholish Majid).
Sebagai gambaran dari keadilan Rasululah saw memberi contoh kepada kita, kalau beliau ingin pergi jauh beliau undi antara isteri-isterinya. Siapa yang kena undian maka itulah yang dibawanya. Sebagai kepala negara dan hakim, beliau selalu menerapakan keadilan dengan betul, hingga beliau pernah menyatakan: "Jika sekiranya Fatimah binti Muhamad mencuri, niscaya aku potong tangannya". (HR. Bukhori).
Ada beberapa faktor yang menunjang keadilan, diantaranya:
a. Tentang di dalam mengambil keputusan. Tidak berat sebelah dalam tindakan
karena pengaruh hawa nafsu, angkara murka ataupun karena kecintaan kepada seseorang. Rasululah saw dalam salah satu sabdanya mengingatkan agar janganlah seorang hakim memutuskan perkara dalam keadaan marah. Emosi yang tidak stabil biasanya seseorang tidak adil dalam putusan.
b. Memperluas pandangan dan melihat persoalannya secara obyektif.
Mengumpulkan data dan fakta, sehingga dalam keputusan seadil mungkin.
Jika adil adalah sifat dan sikap Fadlilah (utama) maka sebagai kebalikannya adalah sikap zalim. Zalim berarti menganiaya, tidak adil dalam memutuskan perkara, berarti berat sebelah dalam tindakan, mengambil hak orang lain lebih dari batasnya atau memberikan hak orang lain kurang dari semestinya.
Sikap zalim itu diancam Allah dalan firmannya: "Tidakkah bagi orang zalim itu sahabat karib atau pembela yang dapat ditakuti". (Al-mu`min : 18).
Dalam ayat lain Allah berfirman lagi : "Dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun".(Ali Imran[3] : 192).
Dalam hal ini, ahli-ahli akhlak mengemukakan hal-hal yang mendorong seseorang berlaku zalim:
a. Cinta dan benci. Barang siapa yang mencintai seseorang, biasanya ia berlaku berat sebelah kepadanya. Misalnya orang tua yang karena cinta kepada anak-anaknya, maka sekalipun anaknya salah, anak itu dibelanya. Demikian pula kebencian kepada seseorang, menimbulkan satu sikap yang tidak lagi melihat kebaikan orang itu, tetapi hanya menonjolkan kesalahannya.
b. Kepentingan diri sendiri. Karena perasaan egois dan individualis, maka keuntungan pribadi yang terbayang menyebabkan seseorang berat sebelah, curang dan culas.
c. Pengaruh luar. Adanya pandangan yang menyenangkan, keindahan pakaian,kewibawaan, kepasihan pembicaraan dan sebagainya dapat mempengaruhi seseorang berat sebelah dalam tindakannya. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat menyilaukan perasaan sehingga langkahnya tidak obyektif.
Oleh karena itulah, bisa disimpulkan bahwa keadilan dan kezaliman bisa muncul karena adanya beberapa faktor, diantaranya:
a. Kondisi orang tersebut pada saat itu
b. Luas dan sempitnya pengetahuan yang dimiliki
c. Latar belakan cinta dan benci
d. Terdorong oleh kepentingan sendiri atau golongan
e. Adanya pengaruh dari luar (extern)